Andai Uang Tidak Pernah Diciptakan...


Andai Uang Tidak Pernah Diciptakan...



Uang..., uang..., dan uang. *silakan inap renungkan tiga kata serupa itu, Teman!* Well, masing-masing kalian punya definisi sendiri tentang uang. Barangkali di otak kalian uang adalah sejenis alat transaksi yang sah *heuheuehu*, atau ada yang mikir uang adalah tujuan hidup, uang adalah..., uang adalah...

Setiap kali berhadapan dengan uang, saya pasti berubah jadi mahkluk Tuhan paling galau. Hehehe. Oke, oke. Siapa sih yang bisa lepas dari uang? Tidak ada uang tidak makan. Ya kan?

Dari kecil saya sudah terlanjur bermasalah dengan uang. Uang pemorak-porandakan jati diri saya *haseeek*. Gara-gara uang kedua orang tua saya divorce *meibi :p*, gara-gara uang hidup saya jadi seperti bola, menggelinding dari kaki ke kaki. Ya..., kaki-kaki tempat saya menumpang berdiri. Sekolah saya, kuliah saya, hidup saya :).

Kalau dipikir-pikir, saya jadi sangat membenci uang, Teman. Kalian tahu? Uang bisa mengubah ustad jadi bejat, sholehah jadi lacur, hitam menjadi putih, berani menjadi cupu, gaul menjadi kamseupay! Hei, saya tidak sedang mabok lho. Itu fakta.

Tadi, sehabis makan siang pukul 3 *?* saya melewati beberapa tukang becak yang tengah mangkal di gang depan toko saya. Saya perhatikan wajah-wajah mereka, tentunya secara diam-diam. Saya amati dari ujung rambut sampai ujung kaki. Saya jadi diam. Sosok-sosok bangka, tulang bungkuk yang dibaluti kulit keriput dengan tatapan mata sayu. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Mereka bahagia? Atau tengah gundah? Entahlah.

Wahah-wajah yang singgah di retina saya itu lalu berubah wujud jadi sosok lelaki yang saya cintai. Ayah saya. Yaaa, saya jadi ingat ayah...

*Sebentar, saya mau menangis sejenak. Adakalanya menengis itu sangat dibutuhkan, Teman. Seperti posisi saya sekarang ini*. 

Ayah adalah orang yang mulutnya selalu berbusa mengingatkan saya untuk sekolah. Sekolah, sekolah, sekolah, dan jadi sarjana. Waktu itu kata-kata ayah sangat indah di kuping kampung saya ini. Sepulang manyabik rumput untuk sapi kami, sepulang manobang pohon di hutan di belakang lopou kami, sepulang menjemput saya mengaji, atau ketika kami terlibat dalam percakapan ringan di kebun lengkuas; ayah tak bosan-bosannya berpuisi tentang sekolah pada saya. Indah memang, tapi kenyataannya tak seindah puisi ayah. Kami berpisah sebelum saya lulus SMP. Setelah itu ibulah yang menjadi tulang punggung. Semuanya ibu, makan kami, pakaian kami, sekolah kami; hidup mati kami. Lulus SMP saya harus mengambil keputusan paling berat, mau tidak mau, saya melepas diri dari ibu. Saya tidak kuasa melihat 4 mulut kelaparan yang harus disuapi ibu sendiri, lalu ditambah mulut saya? Tidak bisa! Saya tidak bisa.

Pun begitu dengan masa SMA, lalu kuliah. Uang tetap menjadi musuh yang paling saya benci. Saya jadi tahu mengapa berat badan saya tidak pernah naik dari angka 45 Kg. Hei! Kalian sih enak, Teman. Begitu pembayaran SPP datang, tinggal telpon bokap, transferan pun datang. Selamat yaa!

Sedangkan saya..., tidak perlu saya ceritakan. Ceritanya terlalu buruk untuk kalian dengar.

Karena uang saya berkhianat dari teorycal backround saya sebagai mahasiswa teknik. Saya berselingkuh dengan sastra. Awal-awalnya saya hanya suka menulis sastra. Aiiih, kata 'sastra' itu terlalu lebay untuk saya gunakan. Oke, saya sederhanakan lagi, saya menulis cerpen. Tapi akhir-akhir ini saya berani membuat kesimpulan (entah ini kesimpulan yang gegabah atau gaje, suka-suka saya), kalau cerpen tidak bisa membuat saya kaya. Hei uang lagi! Sialan! Uang benar-benar brengsek!

Tahun ini saya tidak lagi mau menulis cerpen. Wedew, saya sombong ya? Suka-suka saya doong. Duhaiii, andai kalian jadi saya :(.

Baca juga:
Saya mencoba fokus pada usaha yang dihibahkan paman pada saya. Saya orang Minang, bagaimanapun usaha saya untuk menghindar dari angka-angka, saya tetap ditakdirkan untuk mencintai angka-angka. *fuaaaah!

Oke, saya gambarkan usaha yang saya kelola semenjak satu semester yang lalu. Pagi-pagi saya sudah buka toko (kalau lagi tidak kuliah, atau kuliah siang, tapi saya sering juga meliburkan diri :)), bekerja sampai jam 10 malam. Sehari bisa mengumpulkan 200 ribu-600ribu. Dari sanalah saya ambil biaya kuliah, listrik, sewa toko, dan tabungan untuk ke kampung. Lumayan, awalnya saya senang, di angan saya sudah terbayang untuk mewujudkan impian ibu yang ingin merenovasi lopou kami di kampung. Tapi sibuknya semester akhir meluluhlantakan semuanya. Saya punya satu karyawan, entah di mana letak kesalahannya, saya lemah kontrol. Dagangan habis, uang tak terkumpul. Whats wrong?Saya hanya mencoba berpikir positif. Uang lagi-lagi membuat saya galau.

Dan hari ini, Udil, karyawan saya selama 3 bulan kemaren mengundurkan diri. Oke, saya tidak mau menahannya. Mungkin dia tidak puas dengan gaji yang saya kasih, mungkin dia tidak mencintai pekerjaannya, mungkin..., banyak kemungkinan.

Mata kuliah saya sudah habis, tinggal mengurus skripsi yang tak tau rimbanya, kabur dan tak kembali setelah saya lupakan saat libur lebaran. Hehehee. Saya lebih interest memburu impian saya yang lain. Sarjana bisa pelan-pelan, tapi uang? Mana bisa mengobati rasa lapar secara pelan-pelan? Pelan-pelan mati mungkin iya. :)

Saya punya cerita sedih ketika lebaran kemeren. Kalian mau tahu? Baiklah akan saya kisahkan sedikit. Sepanjang hidup saya, lebaran tahun ini adalah lebaran paling pilu bagi saya. Saya mungkin lebay. Yaaa, saya lebay. Awalnya saya tidak berniat untuk pulang kampung. Sama seperti lebaran yang sudah-sudah. Tapi beberapa kali ibu selalu meminta untuk pulang via telepon. Dengan niat memenuhi keinginan ibu, saya putuskan untuk pulang dengan uang 300ribu pas di dalam dompet saya. Tidak ada baju lebaran, tidak ada oleh-oleh, saya hanya membawa tubuh buruk saya ke hadapan ibu. Ya..., inilah saya sekarang. Beberapa bulan yang lalu saya masih bisa mengirimkan uang buat ibu dan ayah, tapi hari itu tidak. Saya hanya memberikan setetes air mata ke tangannya. Saya tidak berani menatap matanya. Saya kalah.

Tapi entah kenapa, begitu ibu mengusap bahu saya, saya seakan diberi tahu kalau ibu tidak butuh uang. Ibu hanya butuh anak bujangnya. Yaaa, ibu hanya hanya butuh saya di lebaran ini...

Lebaran kedua saya baru sempat mengunjungi ayah. Dangau kami dan kampung ayah dipisah oleh dua kabupaten. Butuh beberapa jam ke sana. Saya sempat dikuasai oleh pikiran bodoh saya. Saya berencana tidak akan datang menemui beliau. Tapi ketika wajah atuk dan iniak menari-nari di pelupuk mata saya, saya jadi tak kuasa. Tanpa rasa, saya ajak Rafli, si bontot yang kini menjaga ibu.

Saya benar-benar luluh ketika berhadapan dengan sosok tua di hadapan saya. Dia terlihat sangat tua! Jauh lebih tua dari usianya. Ayah..., ayah. Ya..., laki-laki yang darahnya mengalir di tubuh saya itu sangat tua. Ayah sekarang bekerja serabutan, sudah beristri lagi dan punya satu anak laki-laki. Puas melepas haru lalu kami terlibat percakapan panjang. Ayah masih seperti yang dulu, pertanyaaan pertamanya tak jauh-jauh tentang kuliah saya. Saya katakan Mei tahun depan bisa wisuda. Ayah tersenyum. Dia menang, ya..., ada cahaya di wajahnya. Ada bening berpendar di matanya.

Ayah bercerita kalau dia lagi tidak ada pekerjaan. Sehari-hari hanya mengurus seekor kerbau dan sawah mertuanya. Saya merasakan langit jatuh di kepala saya, ketika di pagi hari, ketika bumi dibasahi rinai, ketika gunung Sago menampakkan separuh puncaknya, ayah menyisipkan selembar uang 10 ribu ke tangah Rafli. Oh Tuhaaaaaan. Saya memanggil Tuhan. Sepahit itukah hidup ayahku? Ampuni dosaku, maafkan salahku. Saya kejar langkah ayah di bawah rinai. Saya tangkap tangan keriput dan bau lumpurnya. Saya cium. Saya tatap matanya. Dia terkaget. Maafkan bujangmu, Yah. Saya selipkan harta saya di sela jarinya. Saya bisikkan, “Buat jajan Zaki...,”. Ayah menolak, dia katakan buat kuliah saja, buat ongkos kembali ke Jawa. Saya bisikkan lagi, “Kuliah sudah tidak ada lagi, tiket juga sudah dibeli,”

Saya tinggalkan ayah dalam kakunya. Dalam hati saya merutuk diri. Seharusnya saya bisa memberikan lebih. Satu juta, dua juta, tiga juta, atau bahkan satu milyar. 

Lagi-lagi uang. Kali ini dia membuat saya menangis. Ah, manja sekali!

Sekarang, segala puji bagi Allah, saya menerima job sampingan sebagai editor. Alhamdulillah, butuh waktu 3 tahun bagi saya untuk bisa mengerjakan pekerjaan ini. Bertemu naskah-naskah ‘acak kadut’ persis naskah-naskah cerpen saya waktu awal-awal ‘sok ingin jadi penulis’ dulu :). Kalau cerpen tidak masalah, paling banter 10 halaman. Lalu bagaimana dengan novel yang sampai 400 halaman? Tata tulis seenak penulis, EyD good bye, bisa keder saya. Hahahaa. Seminggu pertama saya sempat sakit. Fobia dengan naskah, tapi kembali saya berpikir. Ini pilihan saya, dan setiap pilihan penyimpan risiko dan konsekuensi yang mau tidak mau, suka tidak suka harus saya terima. Its my work, I must love it.Lagi-lagi itu karena uang, Teman. :)))

Hari ini saya tahu lagi sifat dasar manusia. Manusia itu mata uangan! Tapi kita jangan pernah lagi mau dibikin bodoh, lalu menjadi takut yang berlebihan. Burung saja yang terbang pagi dengan kalimbuan kosong dan sorenya pulang dengan perut kenyang, juga membawakan oleh-oleh untuk anak-anak mereka, lantas kita manusia mau kalah? :D Ora et labora! Obatnya cuma satu; Bersyukur! :D

Hidup uang!!!

28 Agus 2012 – Berdikari kembali dari 0 :))


Posting Komentar

3 Komentar

  1. Tanpa uang manusia masih bisa hidup kok, uang bukan segalanya, tapi hanya pelengkap di kehidupan aja

    BalasHapus
  2. keren bg, nyaris nangis saya dek nyaaa :'(

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)