Bro, Saya Takut Dibilang Sombong
Kadang, saya pengin ngegigitin pohon
jambu di halaman rumah tetangga saya setiap kali membaca chat dari teman-teman
saya semasa sekolah. Mereka bilang, sekarang saya sombong. Saya tidak pernah
lagi mau menyapa mereka. “Cieee, yang udah sukses jadi cerpenis, sombooong.
Udah kaya ya sekarang, nggak pernah nyapa aku lagi.” Hiiiks! Chat yang dimulai
dengan sapaan seperti itu biasanya tidak langsung saya balas. Andai saja mereka
tahu hidup saya yang sebenarnya, sayalah yang patut untuk
dikasihani.
Cerpenis..... Entahlah, saya tidak
bangga dengan kata yang selalu ditempelkan teman-teman itu pada saya. Bro,
kalian tahu, berapa pendapatan yang saya terima dari menulis cerpen? Baiklah....
Mari kita ngobrol sejenak. Bro... satu cerpen yang dimuat media,
paling mahal dibayar 1 juta lebih. Wow! Iya, itu nominal yang fantastis untuk
bayaran 5 sampai 8 halaman karangan. Tapi, apakah kau tau, Bro? Hanya
orang-orang tertentu yang menerima bayaran sespektakuler itu. Saya tidak
termasuk di dalamnya.
Boleh... sangat boleh bila menyebut
saya cerpenis. Tapi... jangan pakai embel-embel sombong di belakangnya. Hiks!
Saya tidak kaya dengan menulis cerpen, Bro. Satu cerpen yang dimuat di media
massa, paling mahal saya dibayar Rp 300 ribu (catat! Itu kalau dimuat, ya).
Berapa cerpen sih yang mampu saya tulis dalam satu bulan? Berapa kali juga
keberuntungan memihak pada saya, sehingga ada redaktur berbaik hati atau khilaf
meloloskan naskah saya untuk dimuat? Sedikit, Bro. Sedikit sekali. Tapi, tunggu
dulu! Jumlah 300 ribu itu bukan nilai mutlak. Banyak sekali media yang tidak
mau membayar honor penulisnya. Lebih banyak lagi yang membayar di bawah angka
itu. 50 ribu, 75 ribu, 100 ribu, 150 ribu, 200 ribu.... Untuk penulis dengan
jam terbang tinggi, atau yang menjual nama sebagai penulis tersohor, angka itu
mungkin akan menjadi bearti dengan 10 sampai 20 tulisan dimuat dalam satu
bulan. Lagi-lagi, saya tidak termasuk di dalamnya.
Oke, kita fair saja, Bro. Saya
bersyukur, bersyukur sekali, ketika Tuhan masih memberikan kemampuan pada saya
untuk menulis. Dulu, mungkin menulis bagi saya adalah dapur. Dari menulis saya
mengantungkan hidup saya. Pahit, Bro! Sangat pahit perjuangan untuk mendapatkan
kepercayaan. Saya mau bercerita, di awal-awal ketertarikan saya untuk menjadi
seorang ‘penulis’ (sampai saat ini saya tidak berani menyebut diri saya
penulis, saya hanya manusia kecil yang kebetulan suka menulis. Itu saja), dari
7 naskah yang saya kirim ke redaksi media massa, mungkin hanya 1 yang berhasil
terbit. Dua ratus ribu, satu bulan! Alamaaak, untuk saat itu mungkin jumlah yang
sangat berharga untuk saya. Memegang uang dari hasil jerih payah sendiri.
Nilainya lebih kepada rasa. Value! Sensasi!
Memang, seribu langkah selalu dimulai
dari satu langkah kecil. Meski sekarang (alhamdulillah) ada beberapa redaktur
yang memesan tulisan, namun bayaran saya tidaklah sefantastis yang kalian
bayangkan.
Tapi saya bangga dengan hobi menulis,
lalu tulisan saya dibaca banyak orang. Bangga sekali. Dengan menulis, saya
punya banyak teman. Punya saudara di mana-mana. Pun punya musuh di mana saja.
(Dunia kepenulisan itu kejam, Bro. Lelaki dan perempuan sama saja. Suka bergosip!)
Tapi, bila kalian jangan takut! Bila
ada niat untuk menjadi penulis, teruslah.... Kalian bisa! Sangat bisa! Saya
hanya berpesan, tempalah mental dari sekarang. Karena tidak ada profesi yang
luput dari risiko di dunia ini. Tulisan kalian jelek, pasti ada yang merasa
tulisannya bagus akan mencerca kalian. Tulisan kalian bagus, tetap saja pasti
ada cela di mata manusia-manusia syirik di luar sana.
Eh, kenapa obrolan kita jadi bias
begini, Bro? Hahaha. Oke, kita kembali ke persoalan tadi. Tentang predikat ‘sombong’
yang kalian sematkan di dada saya. Jujur, saya tidak terima!
Bro, kalian sudah paham, kan, kalau
saya tidak kaya? (Kalaupun saya kaya, saya tidak mau menjadi sombong. Doakan
saya jadi kaya, Bro. Kaya adalah cita-cita saya. Dengan kaya, saya bisa
mendirikan sekolah, memberi beasiswa buat bocah-bocah malang di luar sana. Ah,
saya ingin kaya!)
Bicara soal kaya, saya mati-matian memperjuangkan
cita-cita saya itu. Bro. Apa pun saya lakukan untuk bisa kaya. Saya teringat,
saya sadar saya tidak akan bisa kaya dengan hanya menulis cerpen—dengan
kualitas dan kuantitas tulisan saya yang kata orang-orang ‘cemen’. Beuh beuh
beuh... saya tidak menjadikan menulis cerpen sebagai jalan untuk mencari
kekayaan. Saat itu.
2011 saya berkenalan dengan seorang
pengusaha asal Bandung. Pak Yusuf namanya. Beliau ini pecinta literasi. Beliau
mengelola sebuah website cerpen dan novelet. Dari beliaulah saya mendapatkan
jalan untuk menjadi seorang editor. Waktu itu saya ditawarkan memeriksa
cerpen-cerpen yang akan diposting di website milik dia. Saya ahli bahasa?
Wiiiih, jangan ditanya, Bro! Titik sama koma saja saya suka salah pakai.
Hahaha. Tapi kesempatan tidak datang dua kali, kan, Bro? Itu kata orang-orang,
meski saya tidak sepenuhnya setuju dengan kata-kata itu. Kesempatan bisa datang
kapan saja. Kesempatan bukan ditunggu, tapi diciptakan. Ya, kesempatan itu
kita yang menciptakan!
Saya langsung menerima tawaran Pak
Yusuf, dengan bayaran 3 ribu untuk satu naskah cerpen. Dalam satu bulan saya
bisa memeriksa tanda baca 50 naskah cerpen. Jadi sebulan saya dapat 150 ribu.
Sudah besar untuk seorang mahasiswa galau seperti saya saat itu. Bulan kedua,
Pak Yusuf mulai memercayakan saya untuk mengedit novelet dengan bayaran 5 ribu
sampai 7 ribu satu naskah. Bulan selanjutnya 30 ribu untuk 70 halaman novel. Begitu
seterusnya. Namun saya hanya bertahan beberapa bulan, dengan alasan tuntutan
Tugas Akhir.
2012 saya ditawarkan Mbak Enno untuk
menjadi asisten editor. Ya, dari perempuan Bandung super inilah saya belajar
banyak tentang dunia editor. Tentang kata baku, tanda baca, kalimat logis,
kalimat bertingkat, kalimat keriting, fitur track changes. Tugas saya hanya
mengoreksi tanda baca, me-rebonding kalimat keriting, lalu mengirimkannya
kembali ke Mbak Enno. Satu bulan saya bisa mendapat jatah 4 samapi 5 naskah
setebal 200 sampai 300 halaman dengan kadar ‘kekurangajaran’ naskah yang
beragam. Bayangkan, Bro, ada ternyata penulis yang semena-mena terhadap editor.
Copy paste tulisan dari blog ke mic. word tanpa dirapikan terlebih dahulu. Aih,
tega!
Saya bertahan 3 bulan saja. Lagi-lagi
dengan alasan tuntutan Tugas Akhir. Hahaha.
Bro... kalian percaya, kan, dengan
kalimat saya sebelumnya? Tentang kesempatan itu diciptakan, bukan ditunggu.
Saya suka berkicau di Twitter. Dari Twitter-lah saya berkenalan dengan Agnes
Davonar, penulis novel fenomenal Surat Kecil untuk Tuhan. Penulis yang masuk
dalam daftar 7 penulis terkaya di Indonesia, dengan penghasilan 200 juta dari
penjualan SKUT (buku dan film). Ah, saya jingkrak-jingkrak ketika Agnes
menawarkan saya untuk jadi editornya. Bukan bayaran selangit yang saya
bayangkan, tapi kesempatan. Kesempatan yang diberikan Agnes untuk kenal dia,
untuk berkomunikasi dengan dia, untuk menjadi sahabat dia.
Novel Bidadari Terakhir adalah debut
perdana saya dengan Agnes. Dalam 10 hari waktu yang diberikan Agnes, novel itu
jadi dan tersebar di toko buku dan sold out dalam 5 hari di beberapa toko buku.
Bro... saya menangis! Saya menangis!
Usai Bidadari Terakhir, kesempatan
kedua datang. Agnes memercayakan saya untuk kembali jadi editor di novel yang
mengangkat kisah nyata Tjong A Fie; sang dermawan dari Medan. Agnes membawa bintang
terang, tawaran lain datang dari Denny Delian, seorang penyanyi ibu kota dan
penulis novel bertema LGBT, pun E.L. Hadiansyah, penulis novel Hujan di Bawah
Bantal, Cinta dalam Secangkir Cappucino, dan Daun yang Terlanjur Jatuh.
Bicara tentang Tjong A Fie, saya
teringat dengan kakak saya, Reni Erina dan Irvan Hq. Ah, Bro. Mereka berdua
adalah manusia berhati malaikat.
Saya ingat awal perkenalan saya
dengan Mbak Erin. Saya yang tertampang culun hadir di pelatihannya, 10 Desember
2010 di Uhamka, Jakarta. Jakarta, Bro.... Jakarta yang masih begitu asing di
mata saya. Mbak Erin adalah guru hebat yang saya punya. Mbak Erinlah yang melahirkan
‘Setiawan Chogah’ untuk pertama kalinya di media nasional dengan cerpen Kiara.
Mbak Erin jaga yang menjadikan saya jurnalis dengan berita kecil perdana di
NewsCeeS Majalah Story. Mbak Erin yang mengajak saya menemani dia hadir di
press conference dan gala premiere Cita-Citaku Setinggi Tanah. Merasakan sensasi
meliput acara besar, dihadiri media nasional; wartawan surat kabar dan stasiun
TV di Jakarta, juga bertemu artis ibu kota. Bah! Saya selalu kehabisan kata untuk
mengurai jasa seorang Reni Erina dalam hidup saya, Bro.
Pun begitu dengan Kak Irvan. ‘Ayah’
yang menerima saya di Banten Muda. Laki-laki yang sangat saya cintai. Ya, saya
mencintai Kak Irvan, Bro. Cinta sekali.
Begini; teman saya, Fandi, Bembi,
suka berkometar aneh tentang diri saya sekarang. Fandi tahu betul bagaimana
saya sebelum menjadi bagian Banten Muda. Fandi kenal aroma kamar 2 x 3 meter persegi
tempat saya tidur di Bhanyangkara. Kenal juga dengan pola hidup saya, makan
saya, ah, kenal luar dan dalam.
“Sekarang lo mewah, ya, Gah. Tidurnya
di spring-bed, euy. Mandi di kamar mandi, gak nimba-nimba lagi kayak di
Bhayangkara. Internet lancar jaya, kulkas penuh makanan. Edian!”
“Ebuset, lo beneran dibayar satu
berita segitu? Enak bangeeeet! Itu kamera dikasih kantor? Yang megang website
BieM lo, Nyet?”
“Kak Chooo... Envyyy!!! Kerjaanya
asyik, ketemu artis. Huwaaa, udah foto sama RAN, Wanda Hamidah. Hiks, pengeeen!”
Irvan Hq—
Bukan alasan ‘perubahan hidup yang
lebih layak’ itu yang membuat saya mencintai dia, Bro. Bukan! Tapi, kesempatan.
Kesempatan yang saya minta, lalu Kak Irvan memberikannya. Di Banten Muda, saya
meng-create dunia saya sendiri. Irvan Hq bukan sekadar atasan. Lebih! Dia adalah
motivator yang ‘membayar’ saya ketika saya menerima asupan semangat dari dia.
“...
ingat, ya, Iwan. Justru pada titik terendah itulah, Allah tidak memberi jalan
dan celah kepada kita, kecuali untuk naik dan bangkit.”
“... enjoying life is often thought
to be a mindset, the result of reflection, action, and gratitude. Semangat3x.”
Seorang Mario Teguh mungkin akan
dibayar puluhan juta rupiah untuk satu kalian bergizi seperti itu. Tapi saya
mendapatkannya cuma-cuma dari Irvan Hq. Lalu, adakah alasan saya untuk tidak
berkata bahwa saya mencintai dia? Nothing!
Bro... saya takut sekali dibilang
sombong. Demi Tuhan, saya takut.
Kota saya sudah renta, Bro. Bagaimana
kota kalian? Kita istirahat sejanak, jangan mau telat menyaksikan perjalanan
matahari ke singgasananya esok pagi. Matahari kalian, matahari saya. Selamat
malam. Obrolan kita jadi semakin bias bila saya teruskan. Hahaha. Selamat tidur
untuk kalian yang pernah mesra, dan saya tidak akan pernah meninggalkan kalian.
Banyak cinta dari Serang.
Banten Muda—9 Mei 2013. 12:44AM
5 Komentar
Gak selamanya perspektif kesombongan itu bersifat negatif, kesombongan dengan tujuan memperbaiki diri akan menjadi bumerang buat yang menilai dengan memandang sebelah mata.
BalasHapusIni yang gw alamin sob setelah pindah ke jakarta. temen gw pada ngomong gw udah jd anak ibu kota, udah lupa sama temen di pekanbaru. padahal gw di sini masih sengsara sob.
BalasHapusmemang semua ini ada pahit nya, semoga apa yg mereka bilang bisa menjadikan gw lebih baik aja deh.
thx sob, tulisan yg bermanfaat. semoga lu bisa menggapai apa yang lu ingingkan (y)
si fandi terus yah yg bawa gw kemana" -_-
tp alhamdulillah membawa gw ke tempat yg positif :D
@Fandi Ardian Dwi Cahyo
BalasHapusIya, Mamah Dedeeeh ^_^
@Andy Z
BalasHapusSemangat, Bro! ^_^
Setiap langkah yg indah pasti ada kekeruhannya ,yg lahir dari sekeliling kalian atau diluar lingkup kalian itulah manusia ada iri ,dengki,maupun lainya .karna mereka tidak bisa seperti yg lainya ada kekurangan dan kelebihan masing .jdi u menanggapi itu biasa saja karna hal lumrah dari
BalasHapusmanusia.semangat yaa
SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)