Cerpen Setiawan Chogah: Botol


Cerpen Setiawan Chogah

(Radar Banten, 1 Juli 2012)

Aku mengenalnya dua minggu yang lalu. Tepatnya bukan ‘kenal’, tapi laki-laki itu memungutku dengan suka rela dan membawaku hidup bersamanya di rumah ini. Aku sungguh beruntung bertemu dengan pria yang belakangan aku ketahui bernama Pak Sobri. Bagaimana tidak, satu minggu yang lalu aku masih terlunta-lunta di pertigaan jalan pasar Ciruas itu, berteman dengan wiroq-wiroq gembel, kecoak miskin yang menggerogoti sampah dan bekas makanan basi. Sebenarnya dari awal aku sudah meronta ingin keluar. Aku tidak terbiasa dengan lingkungan yang benar-benar membuat aku bergidik.

Ah! Malang nian nasibku. Padahal dua minggu sebelum ini aku masih hidup nyaman di sebuah lemari yang ada di ruangan dapur rumah orang mewah di kota ini. Tapi keberuntungan tengah tidak memihak kepadaku, bocah sialan­-anak majikanku melemparku ke tempat ini setelah kemauannya tidak terpenuhi. Dasar bocah tengil! Tidak tahu berterima kasih, padahal kalau boleh aku mengungkit-ngungkit, satu tahun sudah aku habiskan umurku untuk mengabdi kepadanya, menjadi tempat air minum untuknya. Melepaskan dahaganya. Ah! Lagi-lagi aku hanya bisa mengeluh.

Rumah ini tidak mewah. Hanya sebuah gubuk, tapi setidaknya Pak Sobri telah mengangkat derajatku dari sebuah botol terbuang. Aku seperti menemukan dua sisi pribadi yang sangat kontras dengan mantan majikanku sebelumnya. Keluarga Pak Sobri bukan keluarga kaya, gubuk reot dengan lantai tanah, dua bilik kecil, dan dapur yang menjorok di sisi kanan menyatu dengan ruang utama. Tak ada meja makan, lemari es yang adem, ataupun satu set peralatan memasak mewah seperti yang aku temukan dulu di rumah si bocah tengil yang telah membuang aku di bak sampah busuk. Di sisi kiri yang berbatasan dengan jendela kecil, menyatu sebuah meja tua dengan dua kaki. Dua kaki lainnya seperti lenyap pada dinding papan di depannya. Di sanalah aku pertama kali aku menginap saat Pak Sobri menemukanku di gerbang sore lalu membawaku ke rumah ini. 

Hari ini aku ikut Pak Sobri berkeliling mencari botol-botol terbuang lainnya. Ah! Ternyata aku jauh lebih beruntung, Pak Sobri memperlakukanku lebih terhormat. Lelaki paruh baya itu mempercayaiku menjaga bekal minumnya. Aku bangga, aku mengalami sensasi luar biasa, badanku serasa mengembang, pipiku merah stroberi, perutku menggelembung, ketika Pak Sobri meminta istrinya mengisiku dengan air minum tadi pagi.

Ai! Aku baru menyadari ternyata aku pun mempunyai organ-organ seperti itu. Aku seperti mempunyai mulut, mata, hidung, dan juga telinga. Aku merasakan tiba-tiba tubuhku dilengkapi dengan kaki dan tangan layaknya tangan Pak Sobri. Hei! Apakah kau melihat kaki dan tanganku? Ah! Aku percaya kau tidak akan melihatnya! Hanya orang-orang seperti Pak Sobri yang mampu melihat bagian-bagian tubuh baruku ini. Orang-orang yang mampu melihat dengan mata hati. Mata kalbu! Entah aku lupa atau memang tidak pernah menyadari, organ-organ itu baru berfungsi semenjak aku bertemu Pak Sobri dengan segala kesederhanaannya. 

Baca juga: Analisis Maksim Kerja Sama Grice pada Cerpen 'Botol' karya Setiawan Chogah


“Bu, aku mau pake botol ini buat tempat minum. Tolong diisi ya, Bu.” 

“Bapak beneran mau pake botol ini, aih! Kotor atuh, Pak!” jawaban istrinya membuat aku cemberut.

 “Ya dicuci dulu atuh, Bu. Tadi bapak nemuinnya juga gak kotor-kotor amat.” Pak Sobri membelaku. Aku kembali dibuat tersanjung. 

***

Matahari siang tengah berada di ubun-ubun ketika aku dan Pak Sobri sampai di terminal kota. 

 “Bapak! Bapak haus? Minum dulu, geh!” Aku menawarkan minum kepada lelaki pahlawanku itu. Dan lagi-lagi hanya kami yang dapat menyaksikan interaksi ini.  

Pak Sobri menggenggam pinggangku. Aku geli luar biasa, perlahan tangan kokoh lelaki itu membuka katup mulutku, aku ternganga. Sejurus kemudian bibirku telah menyatu dengan bibir Pak Sobri.

Dengan segenap perasaan aku curahkan air putih jernih mengaliri kerongkongannya. Ketika itulah aku menyaksikan deretan gigi putih bersih seraya menghirup aroma napas wangi. Heran! Aku malu pada diriku sendiri, seketika pemikiran skeptisku mengenai orang-orang kelas menengah yang selalu alpa memperhatikan kebersihannya, tiba-tiba hancur lebur setelah aku menyaksikan mulut Pak Sobri. 

Beberapa teguk, Pak Sobri kembali menautkan mulutku. Terkunci rapat. Lalu kami melanjutkan petualangan. 

Baru beberapa langkah Pak Sobri membawaku beranjak, seorang dengan perawakan tua tiba-tiba mencegat langkah tuanku itu. Seorang gembel peminta-minta. 

Lalu perlahan selaput gendangku menangkap rintihan yang seperti dibuat-buat. Kau heran? Beuh! Aku sudah katakan kalau aku mempunyai telinga, tentu saja telingaku dilengkapi selaput gendang, sama dengan telingamu. Mmm, tidak juga sama persis, aku dapat melihat telingamu, sementara kamu tidak bisa melihat telingaku. Masih heran? Tanyakan saja pada Pak Sobri! Lelaki paruh baya dengan gerobak sampah yang bisa kau temui di penghujung jalan utama ini, bila kau ingin bertemu dengannya di tengah hari. Namun bila kau hanya ada waktu setelah ba’da Ashar, maka tunggulah dia di pelataran musola dekat deretan ruko Cina di pasaran Ciruas itu. Di sanalah Pak Sobri beristirahat sejenak sekadar melepas lelah dan tentu saja berdialog khusuk dengan Sang Ghofur.  

“Paaak, kasihini, Paak,” gembel itu menadahkan tangan sambil terus menceracau yang dibuat seiba mungkin. Ya! Aku yakin itu dibuat-buat. Dasar gembel profesional. 

“Aku hanya ada air minum, Kek. Bila kakek haus, silakan diminum beberapa teguk.” 

“Apa? Oh! Pak Sobri menyerahkanku pada gembel ini?” 

Lalu pengemis itu mulai mengulum bibirku. Aku memejam. Aroma busuk seketika menyerangku. Arg! Aroma mulut orang ini benar-benar tidak sedap. Kutangkap bibir hitam yang terbuka lebar tengah meneguk isi perutku. 

“Hei! Hentikan! Ini sudah dua teguk, Bapak tua!” Oh Tuhan! Pandanganku bertaut dengan kerak-kerak nikotin di setiap sela gigi. Benar-benar gembel tak tahu diri. Dia merokok? Alamak! Sungguh sebuah kebiasaan yang tidak tahu diuntung aku kira. Benar dugaanku, lelaki tua ini bukan fakir sungguhan. Gembel dan meminta-minta pasti profesinya. Sungguh memalukan.

“Bawa aku dari sini Pak Sobri! Aku mohon.” Aku meronta-ronta. 

Hanya sepersekian detik kami berlalu dari pengemis tua itu, aku dikejutkan dengan suara ribut-ribut di depan kami. Aku mengintip dari balik badan Pak Sobri. Beuh! Kampanye kepala daerah! Seketika aku melihat mulut-mulut berpidato menjanjikan mimpi hari esok. Basi! Mimpi siapa yang mereka renda? Mimpi sekelumit manusia yang duduk di kursi lalu menyejahterahkan dan membuncitkan tujuh keturunannya ataukan mimpi manusia bodoh kota ini yang mau saja dibodohi keluarga dinasti korup itu. Ah! Aku berkeyakinan, mulut yang berkoar itu tidak akan menang kali ini, sebab aku tahu sekarang ada manusia cerdas dan merakyat tengah bersamanaku. Dialah tuanku kini. Dia adalah Pak Sobri.  

Bah! Aku terperanjat, tiba-tiba saja di sekeliling kami telah menganga ribuan mulut tanpa kata-kata! Dasar manusia bodoh! Kalian mau mengabadikan kekuasaan rezim keluarga itu? Ckckck!

Hei, Calon pejabat! Lihatlah di sekelilingmu, lihatlah mulut-mulut yang menganga! Mulut-mulut tua renta yang keriput ini. Atau yang di sebelah kirimu itu, mulut-mulut bayi yang merengek, mulut-mulut yang menangis. Aku menggeleng, lalu pandangaku menangkap botol-botol terbuang, kantong plastik dan bungkus rokok yang terkapar di sepanjang jalan. Hatiku miris. Duhai, betapa malangnya nasib karibku itu, tapi lebih malang lagi manusia-manusia terlantar ini. Mereka saja masih mengemis perhatian pada penguasa bermulut manis, tetap tak digubris, apalagi karibku yang hanya botol-botol buruk. Terima saja kehidupanmu hai teman, nikmati saja pemandangan kota ini, hirup saja udara berdebu, dan bila kalian haus, merangkaklah ke got-got kumuh di sisi-sisi jalan berlubang. Kecaplah dengan segenap perasaan bersyukur, jangan dengan lidah yang tak pernah puas, maka hidup ini akan terasa sangat manis. Coba kalian perhatikan manusia dengan mulut terbuka dan tangan menengadah itu. Pada siapa mereka menengadah? Pada mulut yang tengah berkoar? Hahaha, perjuangan yang sia-sia.

Mulut mereka menganga bukan saja karena lapar kupikir, tetapi juga karena dahaga, juga perih, perih, dan sedih. Tangis yang tak terucap, lara tak terperi. Menyangkut di tenggorokan. Menohok ke hulu hati.

 Ah, Pak Sobri. Aku muak dengan pemandangan ini. Ayolah kita pulang saja, aku ingin berdiam diri sejenak di gubukmu nan teduh. Gubuk kita. Mulut-mulut ini sungguh membuat aku tiba-tiba merasa tidak betah. Mulut pengemis yang tak tahu diri, mulut pejabat yang hanya bisa berpidato, menyogok, mengumbar janji di hadapan mulut-mulut manusia miskin yang bodoh karena dibodohi. Membujuk bocah-bocah tolol yang ditololi dengan lolipop murahan. Dasar Botol! Bocah tolol. 

Teguklah lagi sisa air di perutku, Pak. Barangkali wangi napasmu mampu menawar perasaan mual yang tiba-tiba menyerangku. (*) 

 

Ditulis di Serang, 10 Mei 2011 & direvisi di Palm Hills-Cilegon, 19 Oktober 2011 02:35 AM

 Kami butuh pemimpin yang tak hanya andal memainkan ‘mulut’

Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar