Sampai Mati pun, Aku Tidak Akan Melupakan Ini, San
Oleh Setiawan Chogah
(Dimuat dalam antologi 'Seorang Nenek di Bawah Pohon Kasturi; 50 Kisah Inspirasi Indahnya Peduli Nikmatnya Berbagi)
Pertengahan Agustus 2011
Aku sungguh galau tak terkira siang ini. Bagaimana tidak? Batas pembayar SPP
tinggal hitungan hari. Sementara di dompetku tak tersimpan uang satu rupiah
pun. Aku sudah pasrah. Sama seperti pengalaman di semester yang sudah-sudah,aku
selalu dibuat pusing dengan masalah SPP. Ah! Tentu kalian akan bingung, baiklah
akan aku ceritakan bagaimana ‘makhluk’ yang namaya SPP itu selalu saja sukses
membuat aku stres di penghujung semester. Begini;
Aku, seorang mahasiswa perantauan yang ‘terlalu berani’ mengambil risiko
berpisah dari orangtua. Ya, tapi aku rasa ini satu-satunya cara yang harus aku
tempuh. Semenjak kedua orangtuaku berpisah saat aku kelas satu es-em-a dulu,
aku seperti menamam ‘dendam’ pada tanah kelahiranku. Kalau aku memilih menetap
di kampung, amat sulit bagiku untuk membunuh kenangan pahit dari perceraian
Ayah dan Ibu. Aku benci bila mengingat itu semua, maka aku putuskan untuk
memilih Pulau Jawa sebagai tempatku untuk melanjutkan kuliah setamat dari
es-em-a tahun 2008 lalu.
Meninggalkan kampung, bukan bearti masalahku selesai begitu saja. Bukan! Justru
aku dihadapkan pada persoalan baru yang mau-tidak mau harus aku hadapi.
Membiayai kuliah dari uang sendiri. Ah! Mungkin kalian tak akan pernah percaya,
tapi sungguh aku tak berbohong, selama aku kuliah dan hari ini pun sudah
menanjaki semester ketujuh, belum ada kisahnya aku menerima kiriman uang dari
Ayah untuk biaya kuliah. SPP aku bayar dari gajiku dari kerja part time sebagai
karyawan fotokopi, kadang kalau tulisanku dimuat media, dan honorku cair, maka
aku tutupi kebutuhan lainnya dengan itu.
Nah, perkara inilah yang tengah menderaku siang ini. Selama Agustus ini aku
melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Mahasiwa di daerah Pandeglang. Kesibukan
agenda KKM membuat waktuku untuk menulis tersita, itu artinya tak satu
puntulisanku dimuat media. Aku pun tak lagi sempat kerja di fotokopi, otomatis
gajiku bulan ini tidak turun. Bah! Sungguh suasana hatiku galau tiada terkira.
22 Agustus 2011
Batas pembayaran SPP tinggal dua hari lagi, sementara aku belum mendapatkan
angin segar yang bisa mengahalau segala kecemasanku. Di suatu sudut siang, aku
menikmati kegalauan yang kini menguasai perasaanku. Dampaknya, aku kehingan
gairah hidup. Tanpa semangat sedikit pun. Program kerja KKM jadi terbengkalai.
“Lo kenapa, Gah?” tiba-tiba Hasan membuyarkan lamunanku. Ya, Hasan, teman satu
kelompokku. Mahasiswa Teknik Kimia, kebetulan satu fakultas denganku. Kami satu
kampus di Cilegon.
Dengan senyum kecut aku jawab pertanyaan Hasan.
“Biasa, Boy. Lagi galau, nih,” jawabku sembari membuang pandangan ke hamparan
kebun sawit di hadapan basecamp kami.
“Ada masalah, tah? Cerita aja, Gah! Siapa tahu gue bisa bantu.” Hasan kembali
menyahuti jawaban klasikku. Ya, galau adalah hal klasik bagi
mahasiswa kost-kostan macam aku ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, tanpa melepaskan pandangan dari hamparan kebun
sawit. Aku berpikir, ada baiknya aku ceritakan deritaku pada Hasan. Toh Hasan juga
begitu terbuka kepadaku. Beberapa kali dia curhat masalah keluarga, kuliah,
sampai masalah percintaannya. Sedangkan aku? Haeduh! Masalahku terlalu
memalukan untuk aku cerikan pada Hasan.
“Udaaah! Ceritain aja! Gue siap jadi pendengar sejati. Heheee,” tangan Hasan
mendarat di bahuku dengan tepukan beberapa kali. Tepukan akrap seorang sahabat.
“Gue belum bayar SPP,” jawabku singkat. Lalu hening.
Aku diam. Pun demikian dengan Hasan. Aku bisa menebak jalan pikirannya. Hasan
pasti akan memintaku sabar dan berdoa. Tapi aku tak persoalkan hal itu, dengan
mau menjadi sahabatku saja, aku sudah begitu senang, apalagi kini Hasan mau
mendengar keluh kesahku.
21 Agustus 2011, pagi hari
Pagi ini aku tidak ada agenda. Maka setelah shalat Subuh, aku memutuskan untuk
tidur lagi dan bangun jam sembilan. Tapi niat itu gagal setelah Hasan
membangunkanku.
"Gah, temenin gue ke Menes, yuk!”
“Sekarang?” tanyaku masih dalam keadaan meringkuk dalam selimut. Udara
Pandeglang memang jauh lebih dingin dibanding Kota Serang.
“Iyalah, mumpung masih pagi. Lo mandi dulu, gih!” jawabnya sembari berlalu.
Akhirnya pagi itu aku dan Hasan berangkat ke Menes. Dalam perjalanan melewati
lika-liku Cibarani-Menes aku bertanya padanya.
“Emangnya kita mau ke mana, San?”
“Ke pasar, lah, kan hari ini giliran gue yang piket,” jawabnya dicampur sedikit
tawa.
“Oooiya, gue lupa.”
Pasar Menes, Sabtu siang
Hasan memarkir motornya di depan ATM BRI Menes.
“Bentar ya, gue mau ngecek duit dulu,” katanya sembari turun dari motor.
"Sip,” balasku singkat.
Beberapa menit, Hasan kembali. Lalu kami kembali merambati aspal hitam dan
menyusup suasana ingar-bingar yang mulai memecah pasar.
"Ke Pos dulu, yuk!” tiba-tiba Hasan berbelok ke arah kanan ketika kami sampai
di persimpangan Cimanying.
“Lo mau bayar listrik?” tanyaku dengan nada bercanda.
Hasan tidak menjawab apa-apa, motor bebeknya terus membawa kami menyusuri
jalanan berlubang. Inilah Menes, sebuah kota kecamatan di Pandeglang. Beberapa
ruas jalan masih dihiasi lubang-lubang, alun-alun yang luput dari perhatian,
dan bangunan-bangunan peninggalan sejarah yang terbengkalai. Miris!
Kami telah sampai di halaman kantor Pos Menes. Aku mengikuti Hasan ke dalam.
“Nih, SPP lo bayar pake ini aja dulu!” Hasan menyerahkan beberapa lembar uang
padaku. Aku terhenyak. Apa-apan ini? Pikirku.
Beberapa saat aku mematung, tanpa menghiraukan Hasan. Aku sungguh didera
perasaan tidak enak.
“Udah sih, Gah! Ini duit gue, kebetulan beasiswa gue cair dan lagi gak butuh
duit. Lo pake aja dulu,” Hasan meletakkan uang itu di tanganku.
“Tapiiii....”
“Lo balikinnya kapan lo ada duit aja, gue gak butuh cepet kok,” Hasan seperti
tahu jalan pikiranku.
Aku tatap wajah sahabatku itu lekat-lekat. Aku menangkap segores senyum
tiba-tiba membayang di ujung bibirnya. Senyum keikhlasan yang begitu bisa
membuatku larut dalam haru yang biru. Aku paksakan untuk tertawa, sekadar
menyembunyikan bening yang tiba-tiba berpendar di kelopak mataku. Aku
tidak mau Hasan sampai mengetahui ketika bening itu benar-benar pecah.
“Thanks, Boy. Gue bakal balikin secepatnya,” ucapku sembari tersenyum yang aku
sendiri tak bisa menerjemahkan artinya. Haru, malu, kaku, dan syukur bercampur
dalam sebuah senyuman yang tiba-tiba saja menguasai syaraf-syaraf di bibirku.
Ah! Sampai mati pun aku tidak akan melupkan ini, San. Sampai mati pun, tak akan
pernah. (*)
1 Komentar
inspiratif sekali. Tetap semangat, Uda. btw, si Hasan masih jomblo? eh :-)
BalasHapusSILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)