(Dimuat dalam Antologi Berjalan Menembus
Batas, A. Fuadi, dkk, Bentang Pustaka, 2012 - Nominasi Buku Non Fiksi
Terfavorit dan Cover Buku Non Fiksi Terfavorit Anugerah Pembaca Indonesia 2012)
Siapa yang mau
dilahirkan di tengah-tengah keluarga serba kekurangan? Aku rasa tidak ada! Pun
begitu denganku. Namun apa daya ketika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi.
Masih segar betul di
kepalaku ini, sebuah negeri nan elok nian, jauh dari hiruk pikuk kota, dengan
suasana bukit-bukit hijau yang dipenuhi tanaman karet. Orang-orang menyebutnya Nagari Atar, Ah! Mungkin kalian tidak tahu
apa itu nagari. Baiklah, akan aku
kisahkan demi kau, Kawan. Semoga ceritaku ini dapat membuka matamu yang bernasib
tak seelok kawan-kawan kita yang manciak[1]
di tengah-tengah keluarga berada. Bagi kalian yang merasa hidup tidak pernah
adil, dengarkanlah kisahku ini;
Kembali kepada kata nagari yang aku sebutkan tadi. Biar lebih
gampang, kalian tentu tahu apa itu kelurahan, kecamatan, ataupun kabupaten.
Nah, begitulah juga dengan nagari di kampungku. nagari satu level dengan kelurahan, atau
boleh juga kita sebut desa. Di Nagari Atar itulah aku terlahir, di sebuah gubuk
reot. Nagari-ku bukan nagari yang maju, berada 125 kilometer dari
Kota Padang, atau biar gampangnya lagi akan aku ceritakan detailnya pada
kalian. Bila kalian datang ke Bukittinggi, dan ingin melihat seperti apa nagari-ku itu, maka naiklah bus
bermerk Doris tujuan Batusangkar, sekitar satu
setengah jam perjalanan kalian akan sampai di sebuah kota yang orang-orang di
Ranah Minang menyebutnya Kota Budaya. Aku rasa itu tidak salah, di kota inilah
kalian bisa menemukan kebudayaan asli Minangkabau. Sebut saja kerajaan
Pagaruyung yang masyur itu, atau Batu Batikam yang melegenda. Nah, dari
terminal yang bernama Piliang, tumpangilah bus bermerek Sitangkai! Katakan
kalian ingin turun di Taratak Duo Baleh, Nagari Atar, persisnya di bengkolan
sebelum sekolah es-em-pe 2 Padang Ganting. Jangan takut, Kawan! Itu satu-satunya
es-em-pe di kampungku, jadi tak perlulah kalian risau akan tersesat. Di
sepanjang perjalanan kalian akan melewati horizon berkelok dan jalan-jalan yang
diapit bukit-bukit. Atau kalian akan terkesiama ketika menyaksikan aliran
sungai yang membelah nagari-ku,
memisahkannya dengan nagari Lintau Buo.
Dari ceritaku,
tentulah kalian ngiler ingin menyaksikannya secara langsung. Ah! Tunggu dulu,
Kawan! Nagari-ku tidaklah
seelok itu.
Masih segar di
ingatanku ini, waktu itu kalender pemberian juragan fotokopi yang menggantung
di dinding gubukku menunjukkan kalau aku tengah berada di tahun 1996. Beruntung
aku mempunyai Amak dan Abak yang mengerti kalau aku butuh pendidikan. Saat itu
usiaku menanjaki umur delapan tahun. Ai! Delapan tahun orangtuaku baru berpikir
kalau aku butuh sekolah? Jangan heranlah, Kawan. Itu memang hal yang biasa di nagari-ku. Yah! Saat itulah aku
mengenyam pendidikan di sebuah es-de satu-satunya di Jorong[2]Taratak Duo Baleh.
Sekolah yang berjarak kurang lebih tiga kilo meter dari gubukku. Kalian pasti
berpikir, apalah arti tiga kilometer, dalam waktu lima belas menit tentulah
bisa ditaklukkan dengan motor, ataupun mobil. Ah! Tak semudah itu, Kawan. Nagari-ku bukanlah sama dengan nagari-nagari lain yang ada di ranah ini. Apalagi
dengan kelurahan maupun desa-desa yang ada di tempat kalian. Nagari-ku termasuk istimewa. Di
tahun itu kami belum mengenal yang namanya ojek ataupun angkutan desa. Motor
pun boleh di hitung dengan jari. Itu barang yang langka.
Tak hanya itu,
kalaupun aku mengatakan keberadaan motor ataupun angkutan kota langka di nagari-ku itu, itu bearti bukan
tidak ada sama sekali. Ya! Barang semacam itu ada, tapi keluargaku tidak punya!
Tiap pagi, dengan
seragam putih merah aku berjalan kaki menyusuri tepi aliran sungai, pematang
sawah, dan bahkan ketika Amak kuatir dengan isu penculikan anak yang berembus
kala itu, aku harus menjelajahi jalan-jalan kampung yang dilalui masyarakat
untuk pergi berkebun. Bisa kalian bayangkan, jalan-jalan yang jarang dilalui
manusia, semak-semak, dan tak jarang aku dikejutkan oleh segerombolan babi
hutan yang numpang lewat di jalan-jalan itu.
Itu demi sekolah, kata
Abak; aku harus kuat. Aku masih ingat, dulu sering sekali Amak membuat hidungku
kembang-kempis ketika sesekali Amak mengantarku ke perbatasan kampung dan
melewati perempuan-perempuan di tengah sawah.
“Wooi, Niar! Kama juo
bakundang Si Awan tu lai?”[3] perempuan di tengah sawah menyapa kami.
Lalu Amak akan
menjawab dengan suara berbinar-binar dan bibir yang tak lelah mengulas senyum.
“Iko hah, maantakan
calon sarjana ka sikolah,” Amak mengatakan kalau dia mau mengantarkan calon
sarjana ke sekolah.
Sarjana! Satu onggok
kata itulah yang kini masih terngiang-ngiang di telingaku. Tiap malam aku
berjibaku dengan buku-buku pelajaran pembagian dari sekolah. Ya, seingatku
hanya buku pembagian, ah, lebih tepat kalau akau mengatakan buku pinjaman,
sebab di akhir tahun aku harus mengembalikan buku-buku itu ke sekolah.
Bangun pagi-pagi
sekali, saat kabut masih menutupi sebagian bukit-bukit karet di belakang
gubukku. Aku telah bakacimpuang[4]
di sungai yang dinginnya menusuk tulang. Lalu saat matahari mulai menyapa,
dengan langkah terseok Amak telah membimbingku menuju perbatasan kampung
kami dengan sekolah yang berjarak tiga kilometer tadi. Sebuah tas warisan dari
Etek Len saat beliau bersekolah dulu bergelantungan di bahuku. Cukup berat,
Kawan. Di dalam tas itu ada buku-buku pelajaran yang dipinjamkan sekolah
padaku, ada buah rambutan, kedondong, dan kadang-kadang buah marapalam[5] sebagai barang
dagangan yang akan aku jual kepada kawan-kawanku di sekolah nanti. Ya! Aku
tidak malu menjual buah-buah itu. Buat apa malu? Bagiku urusan perut jauh lebih
penting dari sekadar menjunjung gengsi. Begitulah Abak dan Amak mengajari hidup
padaku dulu.
Amak hanya mengantarku
separuh penjalanan, sebab setelah melewati perkebunan karet kami, Amak akan
berhenti di sana dan bakureh[6]
sampai sore menyadap getah karet. Lalu aku melanjutkan perjalanan mengumpulkan
ilmu-ilmu yang dicurahkan oleh para guruku di sebuah sekolah es-de di pelosok nagari.
Enam tahun aku seperti
itu, sepulang bersekolah, mengantarkan nasi untuk Abak di sawah, atau membantu
Amak mengumpulkan panen karet kami di setiap hari Kamis. Atau di kala terlepas
dari dua kegiatan itu, aku memanfaatkan kebebasanku untuk mengumpulkan uang
bersama kawan-kawan sesama anak kampung. Kami menjelajah masuk hutan,
mengumpulkan kayu-kayu kering, kami ikat tiga-tiga potong, lalu kami tumpuk di
pinggir jalan. Biasanya di setiap Minggu sore akan ada oto cigak baruak[7] yang
mengambil ke kampungku untuk dijadikan bahan bakar pabrik kopi di daerah Limo
Kaum, 25 kilo meter dari kampung kami yang terisolir.
Tak jarang juga kami
terjun ke sungai, mengumpulkan pasir dan kerikil lalu pun kami onggok di
pinggir jalan. Itu hanya pada musim-musim tertentu, biasanya ketika ada proyek
pembangunan jalan atau ketika ada juragan yang memesan untuk membangun rumah.
Dengan begitu, bisa-bisa
tiap minggu aku mempunyai uang lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah. Hei! Itu
jumlah yang luar biasa banyak untukku dan kawan-kawanku di desa ini. Dengan
uang itu kami bisa pergi menonton orgen tunggal[8] ke kampung tetangga di
Padang Ganting atau Lintau Buo, atau bisa makan martabak kacang bila hari pakan[9] tiba. Tapi itu
hanya dilakukan oleh kawan-kawanku yang memilih untuk berhenti bersekolah.
Namun tidak denganku. Uang-uang itu aku gunakan untuk memenuhi hasrat bacaku.
Aku gunakan untuk membeli majalah Bobo bekas di Balai Jamat. Begitulah,
aku lebih memilih bacaan dari pada sekadar hura-hura, berdendang semalam
suntuk, atau berjoget ria dengan artis kampung di orgen tunggal.
Tahun 2002 aku
menamatkan es-de dengan nilai yang cukup gemilang. Tertinggi di kampungku. Ya!
Kampungku, kalian bisa membayangkan tentunya, seberapalah tingginya nilaiku itu
bila dibandingkan dengan nilai kalian. Namun bagiku itu sebuah anugerah luar
biasa. Nasihat Abak dan kata-kata Amak begitu erat menempel di otakku. Sarjana!
Aku melanjutkan ke
es-em-pe yang aku sebut di awal kisah tadi. Tak mudah, Kawan. Abak sampai harus
berutang di sana-sini untuk biaya sekolahku. Namun itulah Abak, beliau seperti
telah terikat oleh janji dan nasihat-nasihatnya padaku. Apapun dia lakukan agar
aku bisa melanjutkan sekolah ke es-em-pe.
Dan mungkin ini yang
disebut orang, Allah tidak pernah tidur. Pasti ada jalan dalam setiap kemauan.
Alhamdulillah, aku mendapatkan beasiswa di semester dua kelas satu sampai lulus
es-em-pe di tahun 2005. Kegiatanku sewaktu es-de yang mencari kayu bakar,
pasir-kerikil, dan berjualan tidak banyak berubah. Bahkan makin menjadi-jadi.
Kini ditambah dengan agenda mengembalakan ternak paduaian[10] di sawah-sawah
yang habis dipanen, atau sekadar manggoro di sepanjang jalan. Ah! Peduli apa aku
dengan pandangan miring orang terhadapku. Sudah es-em-pe masih menggembalakan
sapi, di sepanjang jalan pula. Hei! Ini demi mimpiku, Kawan.
Malang tak dapat
ditolak, mujur tak dapat dicari. Begitu pepatah orang-orang tua yang sering aku
dengar di kedai-kedai kopi. Lagi-lagi keadaan ekonomi ‘nakal’ mencoba memintaku
untuk menyerah pada nasib.
“Berhenti saja
sekolah!”
“Hei! Lebih baik jadi
karyawan fotokopi ke Jawa, kau bisa kaya!”
Kalimat-kalimat itu
berseliweran di telingaku. Godaannya semakin hebat ketika aku menamatkan
es-em-pe tahun 2005. Mau lanjut ke es-em-a? Ah! Aku mau sekali. Namun tidak
semudah itu tentunya. Apalagi adik-adikku kini telah siap menyambung estafet
tradisi menyusuri hutan, pinggir sungai, dan pematang sawah menuju es-de tiga
kilometer dengan berjalan kaki.
Aku menyerah! Aku
memutuskan untuk menggantungkan mimpi menjadi sarjana di sini. Di Juni 2005.
Dalam keadaan berduka
aku pergi ke Payakumbuh, satu-satunya niat hanya ingin bekerja, menjadi
karyawan fotokopi. Entah mengapa, Kawan. Fotokopi seperti magnet bagi
orang-orang di kampungku. Kalian tanya saja juragan-juragan fotokopi yang ada
di kota Bandung itu, dari 100 yang kalian tanya, 80 di antaranya mungkin
berasal dari kampungku, Nagari Atar.
Memang bukan sembarangan aku mengatakan fotokopi macam bius. Lihat saja bila
lebaran tiba. Kampungku tiba-tiba bertransformasi menjadi kota besar. Mobil di
mana-mana, para juragan fotokopi pulang kampung. Balai Jumat pun jadi seperti
mall. Para istri juragan tumpah ke tengah pasar dengan dandanan yang up to date, leher yang
berkilat dengan kalung emas. Ya! Seperti itulah hidup yang dijanjikan usaha
fotokopi bila di lihat dari juragan-juragan yang pulang kampung itu.
Hati siapa yang tak
kan ciut, maka tak heran, bila orang di kampungku akan merasa paling kaya bila
mempunyai seorang anak gadis nan
kamek, Ai! Itu adalah aset buat mereka. Biasanya tiap lebaran datang,
juragan-juragan yang masih bujangan pulang kampung untuk mencari istri. Peduli
amat mereka dengan level pendidikan, yang penting bisa membaca, bisa menghitung
uang! Itu sudah modal untuk menjadi nyonya fotokopi di tanah Jawa.
Namun ketika nasihat
Abak kembali menari-nari di benakku, kata-kata sarjana kembali datang dan
tiba-tiba menyeruak, memenuhi angan-anganku. Lalu menyembul menjadi sebuah
mimpi besar.
Aku menangis! Aku
hujat Tuhan yang telah melupakanku. Tidak lagi memihak padaku. Tidak lagi
memberikan jalan dan kesempatan untukku melanjutkan sekolah.
Namun akhirnya aku
juga yang malu. Mana pantas Tuhan dihujat! Bisa-bisa aku yang celaka. Begitu
kata Angku[11] Neman dulu,
guru mengajiku di Surau Botung.
Dengan alasan ingin
sekolah, aku memohon pada Allah, agar aku diberikan jalan. Aku utarakan kalau
aku mepunyai janji besar pada Abak dan Amak. Setiap malam aku mengadukan hal
ini....
Itu Kawan, Allah
ternyata begitu cerdas memberikan kejutan dalam hidup hambaNya. Tidak aku
sangka-sangka sebelumnya. Etek Rus, saudara sepupu Amak mendatangiku di suatu
sudut siang. Dia tanyakan apakah aku mau bersekolah, ikut tinggal bersamanya di
Payakumbuh, di kedai fotokopinya.
Antara haru yang
membiru, tawaran itu seperti oase dalam kehausanku akan sekolah. Mulai saat
itu, terhitung Juni 2005 aku tercatat sebagai siswa di SMAN 1 Harau, di Tanjung
Pati. Sebuah kota kecil di provinsi Sumatra Barat. Atau mungkin kalian pernah
mendengar nama Lembah Harau? Nah, di dekat lembah itulah sekolah itu berada.
Aku makin menikmati
keseharianku sebagai siswa SMA sekaligus karyawan fotokopi. Pagi-pagi aku
berseragam sekolah, belajar, merajut mimpi sampai tengah hari, lalu separuhnya
lagi aku menjelma sebagai karyawan di kedai Etek Rus.
Satu semester seperti
itu, lagi-lagi ujian tak pernah mau berhenti mengajakku bergurau. Amak dan Abak
becerai! Hah!!! Aku down,
entah apa yang ada di pikiran Abak dan Amak. Bukankah dulu mereka yang
menyuntikkan virus haus ilmu padaku, lalu membuaiku dengan mimpi jadi sarjana.
Dan kemudian mereka pula yang menjatuhkanku dengan berita perceraian mereka.
Saat itu Desember 2005. Aku genap 17 tahun. Manis betul kado yang diberikan
Amak dan Abak, sehingga begitu membekas.
Man Jadda Wa Jada! Siapa yang
bersungguh-sunguh maka dia akan sukses. Ah! Itulah modalku untuk tetap memacu
perahu mimpiku sampai dermaga sarjana.
Lagi-lagi Allah tidak
tidur, Februari 2006 aku mendapat beasiswa pe ke sebuah sekolah unggulan
Sumatra Barat di Kabupaten Agam. Sebuah sekolah asrama di pinggir Danau Maninjau
sana. Sebuah sekolah yang menerapkan pendidikan agama yang kental dan
semimiliter. SMAN Agam Cendekia!
Semuanya gratis! Makan
gratis! Seragam gratis! Buku-buku gratis! Dan tempat tinggal pun gratis! Ah!
Nikmat mana lagi yang tak harus aku syukuri saat itu. Allah ternyata
benar-benar memeluk mimpiku yang bersungguh-sungguh.
Agam Cendekia, sebuah boarding school di pinggir Danau Maninjau, di
sanalah aku menemukan kenikmatan baru. Hobi baru. Aku begitu tergila-gila
dengan tulisan. Majalah Annida,
buku-buku sumbangan dari para donatur begitu membuat aku terpacu untuk menjadi
penulis. Maka di sela-sela sekolah yang full time, aku sempatkan menulis. Aku
ceritakan tentang nagari-ku, tentang Lembah Harau, tentang daerah Salingka
Danau, tentang berburu durian di kampung kawan-kawan baruku di sini. Aku
kisahkan semuanya.
Pun tentang
pengalamanku berenang ke Pulau Legenda di Muko-Muko, berdekatan dengan PLTA
Maninjau, tentang kisahku berkunjung ke Tanjung Sani, atau ketika menyaksikan
pesona birunya air danau saat aku lihat dari bus Harmonis di kelok ampek-puluah
ampek setiap kali kami dapat jatah pulang kampung. Ah, semuanya begitu indah.
Yang paling indah
adalah ketika cerpen perdanaku terbit di koran Padang Ekspres tahun 2006. Aku masih ingat, cerpen
yang aku tulis di kertas double
folio itu diketikkan lagi
oleh Bu Silvia, guru bahasaku yang orang Koto Baru, Maninjau itu. Beliau juga
yang mengirimkan ke redaksi. Ah! Begitu bangganya aku kala menyaksikan namaku
terpajang di halaman sastra koran itu, aku bawa pulang, aku lihatkan pada Amak.
Saat itu tangan beliau bergetar hebat, matanya berbinar, pun begitu denganku.
Tiba-tiba pipiku memanas, dan dadaku menggelembung saat Amak mengucapkan “Kau
hebat, Nak! Sabanta lai yo Nak, waang akan jadi sarjana!”
Ujianku makin berat,
dan janjiku makin dekat. Ujian Nasional tertaklukkan sudah dengan NEM 8, 24.
Hebat! Begitu komentar Amak dan juga Abak saat aku berkunjung ke rumah istri
barunya.
2008 aku ikut SNMPTN.
Atau bagi kalian yang lebih dahulu mengenyam asam garam kehidupan dariku
mengenalnya dengan nama Sipenmaru. Mati-matian aku mempersiapkan diri.
Mengikuti bimbingan belajar bersama Bu Sil dan guru-guru lain, belajar bersama
kawan-kawan yang memilih bimbel gratis bersamaku.
Tak sia-sia, aku lulus
di Teknik Industri Univ. Sultan Ageng Tirtayasa. Ai! Di mana pula itu? Begitu
pikirku dulu, memang saat mengisi formulir SNMPTN aku asal-asalan. Bah! Itu di
Banten, Kawan.
Maka berangkatlah aku
ke Banten dengan uang pinjaman 1,5 juta dari Uwo Nansir, saudara jauh keluargaku.
Masih ingat aku, Kawan. Mata Amak berpendar saat melepasku ke negeri Jawa.
Dengan secawan rendang dan semangkuk doa aku berangkat meninggalkan Nagari
Atar. Mengejar mimpiku ke tanah Banten.
Hah! Kegilaanku pada
tulisan ternyata tak hanyut ketika aku menyeberangi selat Sunda dari Bakauheni
menuju Merak. Hobi itu berbawa di bungkusan kain panjang pemberian Amak, atau
mungkin tersangkut dan terbang bersama doa-doa Amak lalu diijabah oleh Allah.
Entahlah.
Yang jelas aku makin
asyik dengan hobiku itu, di sela-sela kuliah aku menulis, mengirimi redaksi
majalah, koran, tabloid dengan tulisan-tulisanku. Awalnya banyak yang ditolak.
Tetapi seperti kata yang aku kutip tadi tadi, Man
jadda wa jada, cerpen-cerpenku terpajang di koran lokal, majalah nasional,
dan situs-situs sastra di internet. Honor? Ya, honornya lumayan, dari menulis
itulah aku mendapat uang tambahan membeli pulsa. Ternyata aku tetaplah orang
Atar yang berdarah Atar! Fotokopi tak aku tinggalkan. Mungkin saat kalian
membaca ceritaku ini, aku tengah melayani orang-orang di kedai fotokopi, ya;
aku masih karyawan.
Begitulah Allah dengan
indah merencanakan hidup untukku. Tak hanya untukku, tapi untuk kalian juga
tentunya. Siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan beruntung, mungkin karena
kesungguhanku memeluk mimpi dan nasihat Abak-Amak untuk jadi sarjana, maka
keberuntungan-keberuntungan itu selalu aku dapatkan.
Saat ini aku telah
semester 6. Itu artinya tinggal 2 semester lagi janjiku pada Abak dan Amak akan
aku penuhi, Aku ingin mengundang mereka untuk hadir di hari wisudaku.
Memperlihatkan pada mereka sebuah jalan yang aku lewati menuju Merak, menuju
Banten ini. Semoga aku masih beruntung. [*]
Serang, di ujung
deadline, 27 Mei 2011 - 11:43 PM
(* Kalau boleh
aku mengutip kalimat Arai dalam film Sang Pemimpi itu, aku begitu terbius
dengan perkataanya pada Lintang “Beranilah bermimpi! Maka Tuhan akan memeluk
mimpi-mimpimu."
Keterangan:
[1] Manciak dalam
bahasa Minang bearti menangis, dalam hal diartikan tangis pertama ketika
terlahir ke dunia.
[2] Level RW
[3] Niar! Mau dibawa
ke mana lagi itu si Awan?
[4] Mandi
[5] Sejenis mangga
[6] Bekerja
[7] Mobil sejenis L300
[8] Hiburan musik di
kampung-kampung
[9] Pasar
[10] Ternak orang lain
yang digembalakan dengan hasil bagi dua
[11] Penggilan untuk
guru mengaji
Tulisan ini dimuat dalam buku Berjalan Menembus Batas, Bentang Pustaka, 2012
3 Komentar
Wawwwwh...luar biasa storymu, membuatku meridnding membacanya
BalasHapusMengingatkan juga pada masa putih merahku :)
sukses selalu buatmu :)
@Desty Das-ril Terima kasih Mbak Desty. Salam kenal ya. Salam sukses! :)
BalasHapusDan Tetap Berdo'a Pada ALLAH...
BalasHapusSILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)