Sabtu Pagi di Bhayangkara
Di minggu pertama puasa, saya masih dalam keadaan 'berdarah-darah'
habis berperang dengan
kegalauan, lalu darah itu semakin mengucur deras dengan masalah sangat memalukan
yang menimpa kepala saya hingga remuk tak berbentuk. Saya kapok. Tapi, akhirnya
saya sadar, bahwa saya hanya sebutir debu di atas talam yang besar.
Tidak ada apa-apanya. Tuhan masih sayang saya. :)
Oh ya, saya mau bercerita sedikit tentang keharuan yang saya rasakan di
semester ini. Pertama; sesuatu yang sangat mengejutkan baru saja saya alami.
Selama ini semua orang pasti sudah tahu kalau saya sangat benci yang namanya
nilai dan antek-anteknya (IP, IPK, transkrip dan apalah namanya). Memang benar
kok, saya tidak bohong, selama empat tahun saya menyandang predikat sebagai
mahasiswa, IP saya tidak pernah mencapai angka 3. Syelllaaalu betah di angka dua koma. Salahnya di
mana saya tidak tahu. Tapi dua hari yang lalu, ketika saya mmbuka portal
akademik dan mengintip IP semester delapan yang baru saya berakhir (horeee,
tinggal TA!), mata saya terbelalak dngan angka 4.00 yang nangkring dengan
manisnya di paling bawah tabel nilai saya. #Itu membuat saya sangat terharu,
kenapa? Itu artinya lebaran ini saya bisa pulang kampung dengan hati yang lega.
:)
Kedua; Laporan kerja praktek yang menghabiskan durasi dua semester pun
membawa kabar gembira. Nilai saya sempurna, A! Waks, jarang-jarang saya
mendapat nilai A. Pernah waktu itu optimis mendapat nilai A di satu mata
kuliah, saat ujian saya yakin kalau nilai saya bagus, saat presentasi pun saya
sudah maksimal, semua audience bertepuk tangan di akhir presentasi saya. Tapi
ya begitulah, nilai saya B, sementara teman saya yang 'cuma' mencet-mencet
tombol next slide prsentasi dapat A. #Paiit.
Laporan Kerja Praktek ini sangat berharga bagi saya. Selain memakan waktu satu tahun, telat, pernah
ditolak, dan harus ganti
metode, sampai pada proses pengerjaannya yang penuh ujian (netbuk kesayangan
saya ngadat dan keyboardnya harus diganti), tapi saya mencoba untuk berlegawa
dengan keadaan, saya beli keyboard eksternal, kadang numpang ngetik di komputer anaknya bibi (walau BAB IV saya
harus mengetik ulang gara-gara filenya didelet sepupu :p), numpang ngeprint di
rumah Atul (teman saya), dan ruangan 1 X 2 yang menjadi markas saya selama
pindah ke Bhayangkara menjadi saksi bagaimana saya tidak tidur sepanjang malam
dan berkutat dengan yang namanya laporan. tapi, ternyata saya masih bisa
bertahan dan menuai keharuan di akhir cerita. Happy ending!
Bicara soal keharuan, saya menjadi sulit sekali untuk peka terhadap hal-hal
yang seharusnya bisa membuat saya terharu. Entah apa yang salah, padahal dulu
saya sangat mudah sekali tersentuh. Melihat pengemis saya jadi berpikir
panjang, melihat ibu-ibu tua berjualan gorengan saya jadi terenyuh, bertemu
anak kecil yang mengamen di lampu merah saya jadi berkaca-kaca. Ya, saya sangat
tidak tahan ketika melihat orang-orang yang mengeluarkan effort lebih hanya
untuk sesuap nasi. Pikiran saya akan melayang kemana-mana. Saya jadi ingat Amak
saya, Abak saya yang hanya kuli bangunan, lalu adik-adik saya sekolahnya lancar
apa enggak. Seminggu yang lalu saya pernah dicurhati sama mamang ojek. Waktu
itu saya baru pulang kuliah dari Cilegon dan turun angkot di Penancangan. dari
sana saya naik ojek ke kontrakan di Bhayangkara. Sepanjang perjalanan, mamang
yang ojeknya saya tumpangi tidak berenti bercerita. Dia kisahkan kalau dari
pagi baru dapat beberapa penumpang, dia ceritakan juga bagaimana dia rela tidak merokok demi jajan
anak-anaknya. Dia tumpahkan juga bagaimnana sulitnya dia membiayai sekolah
anak-anaknya yang semakin mahal. Beberapa meter sebelum sampai di kontakan
saya, satu kalimat beliau yang masih begitu segar dan melekat di selaput
gendang saya, "Jangan sesekali melawan sama orang tua, Dek. Bapak udah
ngerasakeun, jadi orang tua itu susah. Orang tua itu sayaaang sama anak-anaknya
mah." Saya hanya tersenyum dan mengulurkan uang lima ribuan padanya.
Seharusnya cuma Rp 3000, 00. Tapi saya menolak kembaliannya. Ceritanya lebih berharga bagi
saya. Saya menjadi kembali disadarkan kalau selama sibuk berjibaku dengan
laporan KP saya jadi lupa menelopon Amak. Ah, betapa beruntungnya saya ini, dan
betapa sayangnya Tuhan sama saya. Saya jadi malu dengan keluhan-keluhan saya di
facebook, twitter, dan curcolan saya di blog. Saya merasa kalau saya adalah
orang paling malang. Padahal........ *saya tidak sanggup meneruskan kalimat
ini* Walau tersengal-sengal toh saya masih bisa kuliah, walau hampir empat
tahun tak bertemu toh saya masih punya ayah dan ibu, walau tak semewah makanan
tman-tman saya toh saya masih bisa makan kenyang di warteg, walau... walau..
walau... Saya didera kata walau.
Kemudian pagi ini. Saya menjadi kaku ketika membaca catatan saudari jauh saya Impian
Nopitasari di facebook. Cacatan yang merekam kisah tentang Ustadzah Keisha dan
Kiara. Ya, Kiara. Saya sungguh menyukai cerpen yang saya tulis tahun 2006 itu. Kisah tentang
kematian saabat terbaik saya Almh. Lesni Rosa. Sahabat saya waktu SMP. Saya dan
Ley sangat akrab. Dari kelas VII sampai kelas IX kami selalu satu kelas. Ley
sering mengajak saya berdiskusi soal pelajaran, penampilan draman bahasa
Ingrris kami di kelas IX pernah menjadi penampilan terbaik. Waktu sebelum Ujian
Nasional kelulusan SMP, Ley dan teman-teman yang lain sering datang ke rumah
saya, kami membahas soal-soal bersama. Ley juga sering membawa makanan, orang
tuanya Ley berjualan di pasar, pernah satu kali dia membawa jagung rebus, dan
saya sempat bilang kalau jagungnya enak sekali. Dan Ley ngakak, diikuti oleh
teman-teman yang lain #Enak apa doyan?
Selepas dari SMP, kami berpisah. Saya melanjutkan sekolah ke Tanjung Pati, Kab. Lima Puluh Kota, SMAN 1 Harau.
Sementara Ley lulus di SMAN 1 Padang Ganting, Kab. Tanah Datar. Jarak yang jauh
dan waktu itu saya belum punya hape membuat komunikasi dengan teman-teman SMP
menjadi terputus. Apalagi semenjak saya mendapat beasiswa di SMAN Agam
Cendekia, Maninjau, Batusangkar rasanya semakin jauh. Kalaupun pulang (IB), itu
pun hanya satu hari, pulang Sabtu, Minggu pagi saya harus kembali ke asrama. Begitu seterusnya sampai lulus SMA. Dan
kabar mengejutkan itu datang ketika kepulangan saya di pertengahan 2006. Ley
meninggal dunia. Sudah seminggu. Ah, kehilangan itu sungguh tidak mengenakan,
apalagi seorang sosok sahabat yang begitu baik dan lembut.
Begitulah, saya ingin menulis untuk Ley. Jadilah cerpen dengan tokoh utama
dan judulnya Kiara itu. Dan baru dimuat di majalah Story Maret 2011. Kiara
disukai banyak Storylovers.
Alhmh. Dinar Afta Cholifah yang sering saya panggil Nina Unyu berkali-kali
menulis di inbox facebook kalau dia suka Kiara dan mau bertemu dengan
Rizal. Endah W. Sucy, Cinde Palempang juga suka dengan tokoh Rizal,
sampai-sampai setiap kali komen di status saya selalu tak lupa menitip salam
buat Rizal, kekasihnya Kiara.
Berikut sengaja saya copy paste catatan Impian Nopitasari yang membuat saya
kaku pagi ini.
Alunan ayat suci sudah tak terlalu terdengar lagi.
Jangkrik-jangkrik bergantian mengaji dengan bahasa mereka. Aku yang seharusnya
masih sakit dengan berjaket tebal masih harus mengontrol para
santriwati. Al jawwu baaridun jiddan huna, udara sangat dingin di sini.
Kurasakan kepalaku mulai pening. Aku bergegas masuk ke ruangan kamar yang
disediakan untukku.
Ah, setiap kumemasuki ruangan ini, seakan aku dilempar ke
dalam kenangan yang setiap kumengingatnya, batinku selalu terusik. Ruangan ini
adalah kamar Ustadzah Keisha, Mbak Keisha-ku yang telah pergi meninggalkanku
setahun lalu. Kuingin sedikit bernostalgia. Maaf kawan, akan kubawa kau ke
dalam kenanganku, dalam kenangan sang pengagum Kiara.
***
30 menit aku duduk di sini, duduk di sebelah wanita
cantik yang sayangnya sekarang agak tersamar kecantikannya karena sakit. Tapi
bagiku dia tetap cantik. Aku ingin melihatnya siuman. Menyebalkan sekali dengan
suasana rumah sakit seperti ini.
Tak selang berapa lama, kulihat Mbak Keisha
mengerjap-ngerjapkan matanya, aku senang, dia sudah bangun.
“Sudah mbak, jangan banyak gerak dulu, santai saja,”
kataku sambil membantunya duduk.
“Sudah nunggu lama kah?,” katanya lemas.
“Nggak kok, baru 30 menit, tapi habis dari Ma’had, banyak
yang nanyain Mbak, terutama anak-anak. Mereka kangen dengan ustadzahnya yang
lemah lembut, mungkin jengkel ustadzahnya diganti sama aku yang cerewet ini,”
ceritaku padanya.
“Ah kamu bisa aja, biar bervariasi lah, nggak sama aku
terus,”
Aku menemaninya bercerita. Apa saja, aku akan menjadi
pendengar yang baik. Keadaanya semakin hari semakin memburuk saja. Kasihan
sekali Mbak Keisha. Makanya ketika aku diminta menggantinya mengajar bahasa
arab, aku bersedia saja. Walau kuakui agak roaming. Aku harus memberi privat
bahasa inggris, mengajari bule berbahasa jawa dan harus mengajar di
Ma’had dalam sehari. Seperti es campur saja, kadang pusing juga. Tapi demi
membantu Mbak Keisha, aku rela melakukannya. Kasihan, nggak banyak tentor
bahasa arab di sini.
“Ma hadzihi?,” tanyanya sambil memegang majalah yang baru
kubeli.
“Hadzihi majallat, Story. Ya daripada bingung ngapain
Mbak, aku beli majalah itu aja,”
“Aku pinjem ya?,”
Aku diam. Nggak biasanya Mbak Keisha mau baca bacaan
fiksi popular, biasanya juga fiksi islami.
“Ya, bawa aja dulu Mbak, ni aku balik dulu aja ya, sudah
ada budhe tuh,”
Aku meninggalkan Mbak Keisha yang sekarang ditungguin
ibunya. Bangsal Al Kautsar semakin menjauh, tapi pikiranku menerawang sampai ke
mana-mana. Ada satu cerpen yang kutakut akan membuat Mbak Keisha sedih, kenapa
cerpen itu harus bercerita tentang kanker serviks. Mbak Keisha orang yang mudah
terbawa suasana. Aku takut itu.
***
“Aku ingin seperti Kiara,” katanya tegas.
Aku masih belum mengerti apa maksud dari kata-kata Mbak
Keisha.
“Maksude apa Mbak?,” dahiku berkerut bukan buatan.
“Jujur itu mahal, dan aku nggak akan menceritakan ini
sama Mas Faqih, aku nggak mau mengganggunya,”
Sekarang aku paham. Mas Faqih, calon suami Mbak Keisha
yang bertugas di Banjarmasin sebagai seorang wartawan tak pernah tau keadaan
mbak Kei saat ini. Selama ini jika Mas Faqih menyakan kabar, aku hanya bisa
bilang “Hiya Shohihah, apik-apik wae,” Mbak Kei selalu berpesan begitu. Padahal
hati ini ingin sekali mengatakan yang sebenarnya. Kau Keisha Mbak, bukan Kiara.
“Mas Faqih perlu tahu Mbak, jangan terpacu dengan Kiara,
itu Cuma cerita karangan orang Mbak, please Mbak,”
“Suatu saat kau akan mengerti Nduk, seseorang akan
mengatakan itu padamu nanti, kalau jujur itu mahal. Aku akan tetap merahasiakan
ini, bahkan sampai aku nggak ada nanti, aku nitip surat padamu saja, sampaikan
ke Mas Faqih ya Nduk,” ucapnya lemah, terisak.
“Ngomong opo Mbak, Mbak akan baik-baik saja. Lihat aku?
Aku juga pernah menghidap tumor, pernah dioperasi, pernah merasakan sakit, tapi
aku nggak mau nyerah Mbak, Mbak Kei juga harus seperti itu,” aku semakin
terisak dan memeluknya.
Aku benci suasana seperti ini, Mbak Kei orang baik yang
dicintai orang baik pula, kenapa harus berakhir seperti ini. Aku juga ingin
dicintai orang seperti Mas Faqih mencintai Mbak Kei, tapi selama ini aku hanya
bisa mencintai, belum pernah merasakan dicintai. Aku nggak mau mereka pisah.
Nggak mau.
Tapi aku hanya bisa berbicara, Tuhanlah yang menentukan,
garis panjang dan bunyi melengking dari kotak penuh kabel itu cukup membuatku
tahu kalau aku telah kehilangan Mbak Keisha.
***
“Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Mas? Kau
tahu, hidupku serasa hancur menerima semua ini,” aku melihat Mas Faqih memeluk
tanah yang masih basah dan penuh bunga itu, pilu.
Lidahku tercekat, hatiku kelu. Aku bingung harus
bagaimana. Aku bisa membayangkan betapa tersiksanya Mas Faqih. Aku hanya
mengingat kata-kata Mbak Kei kalau jujur itu mahal, jadi aku nggak pernah
cerita kalau selama setahun ini Mbak Kei sakitnya semakin parah. Aku hanya
menghargainya, yang ingin menjadi Kiara, yang tak pernah menceritakan hal
sebenarnya pada uda Rizalnya.
Hanya surat itu, komunikasi terakhir dari Mbak Kei,
maafkan aku Mas Faqih.
***
Ah, aku tak sanggup lagi mengingat Mbak Kei, met milaad
Mbak, semoga kau tetap dalam jannah-Nya.
Ma'had Abu Bakar Puteri, 23.20 WIB, ditemani Kiara
di depanku.
Terima kasih. Ya, saat ini yang saya punya hanya ucapan terima kasih.
Terima kasih telah menjadi sahat-sahabat terbaik saya. Terima kasih pada alam
semesta yang atas izin-Nya telah menjadi guru terbaik saya. Ternyata hidup ini
amat sia-sia bila hanya dihabiskan dengan kegalauan. (*)
Sabtu pagi di Bhayangkara. 9: 53 AM - 27 Juli
2001.
0 Komentar
SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)