Catatan Pascawisuda: Menjadi Baringin di Tangah Padang



22 November 2014

SUBUH masih pekat, kedua bola mata saya menjelma purnama, bulat, mengusir kantuk yang sebenarnya jauh sebelum subuh datang pun dia hanya mengintip malu-malu. Semalaman saya tidak bisa tidur. Memang, sejak beberapa tahun yang lalu saya menderita insomnia akut, dan meski kini sudah bekerja, “musuh tengah malam” itu masih enggan beranjak dari tubuh saya yang kata orang kian cungkring.

Hah! Memang kebiasaan saya sejak dulu, setiap kali akan ada momen penting dalam hidup, satu malam sebelum hari itu datang saya pasti berubah resah, gelisah, dan tak bisa tidur. Padahal saya masih jomblo, lho. Oke, lupakan itu.

Bait terakhir kumandang adzan baru saja usai, saya menyiapkan kemeja putih dan celana bahan yang akan saya pakai hari ini. Ini adalah hari istimewa untuk saya dan keluarga, terlalu istimewa. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana keluarga besar kami akan mencatat sejarah baru dalam rentang hidup yang panjang keturunan Mak Wak (nenek). Saya akan menjadi sarjana pertama dari keluarga persukuan nenek, karena kami di Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal.

Saya telah selesai mandi. Ruang tengah rumah Ante Yen (tempat saya tinggal dan menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar di Serang) pun mulai sibuk. Empat pasang mata memperhatikan saya memakai pakaian wisuda dan toga. Ada binar di mata Amak, Abak, Ante Us, juga Mak Wak. Ah, saya merasa berdosa demikian terlambat mempersembahkan ini pada mereka. Enam tahun menghabiskan waktu untuk kuliah bukanlah masa yang sebentar. Tapi tidak apa-apa, saya pun tahu mereka pasti bisa memahami.

Saya tidak pernah mengira, pamandangan pagi ini akan kembali dapat saya saksikan, melihat kedua sosok manusia paling berjasa dalam hidup saya—Amak dan Abak. Tidak ada yang perlu saya tutup-tutupi, kedua orangtua saya berpisah 2005 silam. Kala itu saya baru lulus SMP. Barangkali atas dasar sakitnya perpisahan itu yang membuat saya betah di rantau. Terlebih keadaan ekonomi Abak yang tak mungkin saya andalkan untuk menumpangkan cita-cita, juga Amak yang hidup dengan penghasilan warung yang pas-pasan, saya memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman.

Masa SMA saya lalui di kaki Lembah Harau dan pinggir Danau Maninjau, Sumatra Barat. Di Tanjung Pati saya tinggal bersama Tak Rus dan membantu usaha fotokopinya sepulang sekolah dan di Maninjau saya mendapat beasiswa selama 2,5 tahun. Gerbang  remaja terbuka lebar saat itu. Segala rasa dan pengalaman bebas keluar masuk, namun di masa “pemulihan jiwa” pascaperpisahan Abak dan Amak itu, duka mengambil tempat lebih banyak. Tak jarang saya meratapi nasib, memandang langit tengah malam, dan tersedu mengadu pada Tuhan. Entahlah, saya sendiri telah lupa bagaimana cara saya bertahan di masa itu. Yang pasti—hari ini saya masih hidup dan akan diwisuda dalam beberapa jam ke depan dalam keadaan bahagia.

Tol masih sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melaju. Matahari pagi menemani perjalanan saya dan keluarga ke The Royale Krakatau Hotel, tempat diselenggarakannya acara wisuda gelombang III tahun 2014 oleh kampus saya, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Langkah saya terasa gagah. Hati pun demikian lapangnya. Ya, kesakitan masa lalu itu telah hilang. Saya yang mengusirnya. Itu juga yang membuat kadar kekecewaan saya yang lama tercatat sebagai mahasiswa menjadi berkurang. Enam tahun di Banten, demikian banyak pengamanan yang saya cicipi. Demikian banyak jiwa-jiwa yang tenyata lebih sakit dari kesakitan saya, yang pada akhirnya menyadarkan saya bahwa tiada guna menyimpan sakit. Sakit yang dipelihara dalam jiwa seperti menanam benalu di pohon mangga. Sia-sia.

Senyum bangga kedua orangtua saya jauh lebih berharga. Dan saya lebih memilih itu.
***
Sepuluh. Dua puluh. Lima puluh. Ah, saya tak mampu lagi mengitung. Banyak tangan melambai di depan saya. Banyak mata yang memerah dan sembab. Banyak sedu haru-biru. Ada bapak yang memeluk putrinya. Ada ibu mencium putranya. Saya mencari-cari Amak dan Abak, saya ingin diperlakukan serupa.

Aroma lumpur di badan Abak masih seperti dulu. Aroma baju tua Amak juga tak berubah. Meski dari subuh Amak telah dibaluti kebaya merah dan Abak berbatik warna senada—yang baru lepas segel, aroma mereka tetap seperti dulu. Yang berbeda hanya kerutan di wajah yang kini kian jelas, terlebih Abak, beberapa giginya telah tanggal. Abak terlihat lebih tua dari usianya. Sudahlah, tak ada yang perlu disesali, demikian kata Abak pada saya dalam beberapa kali percakapan kami di telepon.

Tab saya berdentang. Ucapan selamat dari kawan-kawan di BBM, SMS, WhatsApp, dan Facebook membanjiri. Di depan saya beberapa tangan melambai-lambai. Hilal, Ali, Naminist, Bembi, Asep, Ayah Rusli, Dhiva… ah, tiba-tiba saya merasa demikian kaya.

“Selamat ya… akhirnya wisudaaa!!!”

“Bangga dong, Sarjana Teknik. Maju ke level selanjutnya, ya!”

Banyak doa yang datang. Doa-doa yang saya kumpulkan untuk bahan bakar agar kapal impian terus melaju. Karena perjalanan menuju pulau impian yang sesungguhnya baru saja dimulai. Kapal tempat impian keluarga besar pun ditumpangkan. Kapal yang membawa bibit "baringin di tangah padang". (Baringin di tangah padang adalah kutipan pepatah adat Minangkabau yang menggambarkan sosok seorang laki-laki dalam menjalani kehidupan). 

Baringin di tangah padang – Beringin di tengah padang
Baurek cakam ka tanah – Berakar menghujam tanah
Jauah tahunjam ka pitalo – Jauh terhujam ke dasar bumi
Panuahlah bumi dek rumpunnyo – Penuhlah bumi karena rumpunnya
Dek gampo indak tabongkehkan – Tak akan tumbang oleh gempa
Karano badai alun taoleang – Tak akan goyah oleh badai
Kununlah guyang angin lalu – Hanya bergerak karena angin berembus
Taguah pandirian – Teguh pendirian
Batauhid sarato istiqomah – Bertauhid dan istiqomah
Kukuah sarato yakin – Kokoh dan teguh pendirian
Kok yakin tumbuah dipaham – Ketika yakin pada sesuatu yang benar
Sajangka duduak indak bakisa – Sejengkal duduk pun tidak akan bergeser
Satampok tagak indak bapaliang – Tegak tidak akan berpaling
Walau baalah bujuak rayu – Walau bagaimanapun bujuk serta rayuan
Haram kuniang karano kunyik – Tidak akan kuning dilumuri kunyit
Pantang lamak ulah dek santan – Pantang enak biar pun disantani
Rugi jo pitih indak ditimbang – Rugi dan uang tidak menjadi pertimbangan
Jariah jo payah soal biaso – Susah dan payah bukanlah masalah
  
Dedi Setiawan, S.T. 
Saya yang masih terus belajar menjadi baringin di tangah padang



















Baca juga:

Posting Komentar

1 Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)