Guru Saya itu Bernama Imam Baihaqi


Dompet Dhuafa adalah satu episode kunci yang menentukan kelanjutan kisah hidup saya hingga hari ini.


Serang, 23 September 2014

Barangkali inilah yang disebut relativitas oleh Einstein. Saya mencatat, persis 8 bulan yang lalu saya datang dan melamar pekerjaan di kantor ini—Dompet Dhuafa Banten, pelabuhan terakhir yang saya singgahi setelah mencoba peruntungan di beberapa perusahaan dengan berbagai jenis pekerjaan. Namun, rasa-rasanya baru hitungan hari saya di sini.

Slide kenangan 8 bulan yang lalu itu kembali hadir silih-berganti di kepala saya, tadi siang. Seperti biasa, di lokasi tempat saya bekerja saat ini lumayan sulit mencari tempat makan. Sengaja saya berjalan-jalan ke kawasan Royal di jam istirahat makan siang, sekitar 1 kilometer lebih dari kantor Dompet Dhuafa Banten di Kepandean. Mungkin sudah kebiasaan sejak kecil, mata saya paling gampang akrab dengan tulisan, begitupun tadi siang ketika dia berserobok dengan stiker kecil di etalase rumah makan tempat saya menjatuhkan pilihan. Hanya satu kalimat yang tertera di sana, namun begitu pas dan melambungkan ingatan saya kembali ke masa-masa kesakitan yang pernah hadir menyapa hidup. Masa-masa sebelum di sini, masa-masa ketika saban malam pikiran saya berkecamuk. Masa-masa saya harus berpikir tujuh kali memutuskan untuk memilih makan—itulah masa-masa pengangguran! 

Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan baginya maka dia diuji.” - (H.R. Bukhari)

Demikianlah sebait kalimat yang menohok ulu hati itu, menampar dengan begitu lembut. Saya tak kuasa membendung pikiran saya berlari ke sana-kemari. Sampai pada titik saya berkesimpulan, inilah jalan terbaik yang telah Allah siapkan untuk saya melangkah di atasnya.

Seumur-umur, tak pernah di kepala saya terpikir untuk bekerja di lembaga sosial seperti Dompet Dhuafa. Masa depan gemilang saya bangun di kepala menyerupai istana megah. Benar, saya bermimpi untuk bekerja di belakang meja dengan jas dan dasi. Bekerja sembari menyaksikan jari jemari menari di atas tuts keyboard, mengarang cerita, dan berbagi inspirasi dengan banyak orang. Tapi itu bukan di lembaga sosial.

Perjalanan saya dalam mewujudkan istana masa depan penuh tunggang-langgang. Luka di mana-mana. Sakit? Tak perlu saya ceritakan. Tapi apalah arti luka bila mimpi telah menjadi candu, bukan?

Dari sakit yang tak kunjung pergi selamanya itu, saya jadi tahu, rencana Allah lebih megah dibanding khayalan saya. Sebuah proses yang saya ikut di dalamnya hingga sampai pada satu titik pemahaman bahwa hidup bukanlah sekadar senang-senang, bukanlah sebuah proses yang bisa saya anggap biasa. Allah mempertemukan saya dengan Dompet Dhuafa, lalu saya diberikan kesempatan untuk melihat segala sesuatu di dalamnya, meresapi dan menyesuaikan nilai-nilai yang saya anut dengan nilai-nilai yang ditebar oleh sebuah lembaga amil zakat seperti Dompet Dhuafa, saya berhenti pada satu kata—BERBAGI.

Ya, berbagi. Saya bahagia ketika mengucapkan kata tunggal itu. Satu kata dengan seribu definisi yang lidah saya barangkali tak akan mampu merapalnya.

Rasa syukur saya berlipat-lipat, beranak-pinak, ketika saya sadar betapa indahnya rencana Allah, memberikan Dompet Dhuafa sebagai tempat saya singgah setelah sempat terengah. Ternyata tenaga saya tak akan pernah cukup bila terus memburu tanpa pernah memberi. Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang serupa pincuran air dan saya menengadah di bawahnya—menyesapi setiap jengkal kesegaran yang merambat dari ujung kepada, dada, hingga perut saya.

Ah, saya kembali terkenang pada sesosok laki-laki muda berperawakan kurus yang pertama kali saya temui di sini. Dia yang menunjukkan kepada saya sisi-sisi terbaik untuk melihat rupa kehidupan. Saya baru tahu, di satu sisi saya sering meratapi nasib sial yang menimpa saya, ternyata ketika saya mau berpindah untuk melihat penderitaan dari sisi lain, maka keindahanlah yang akan tampak.

Imam Baihaqi. Saya belajar banyak dari Anda. Tentang apa sesungguhnya yang disebut sabar oleh banyak manusia. Tentang apa sebenarnya yang diteriakkan sederhana oleh banyak mulut. Tentang apa yang sebetulnya digembor bekerja dan mengabdi oleh banyak aktivis. Juga tentang apa yang disebut keberanian sejati.

Saya berkeyakinan, antara saya dan Mas Imam barangkali hanya terpaut beberapa tahun. Tapi Mas Imam beberapa tingkat di atas saya di banyak sisi kehidupan. Beliau menang banyak. Dan saya sangat menghormati beliau.

“Kita harus menjadi orang yang pro-aktif, jangan reaktif. Orang pro-aktif itu adalah orang yang memiliki prinsip teguh dalam hidupnya. Kebalikan dengan orang reaktif yang mood-mood-an, dan mudah terpengaruh.”

“Jika kamu tidak suka terhadap pekerjaanmu, maka sukailah suasana yang ada dalam pekerjaanmu. Jika kamu tidak suka terhadap suasana yang ada dalam pekerjaan, maka sukailah ruangan atau kantormu seperti interior, dinding kantor, aksesoris pendukung kantor dan foto-foto yang menghiasi dinding dan mejamu. Jika kamu masih tidak suka terhadap ruangan kerjamu, maka sukailah orang-orang yang ada dalam lingkungan kerjamu yang selalu menyapamu dengan penuh kehangatan setiap masuk dan pulang kerja. Jika kamu tidak suka terhadap orang-orang yang ada di lingkungan kerjamu, maka sukailah setiap perjalanan berangkat dan pulang kerjamu, di mana setiap hari kamu selalu disuguhkan dengan  pemandangan indah. Jika kamu tetap tidak suka terhadap semua itu, bergegas pergi dan carilah suasana pekerjaan yang menurutmu nyaman dan membuatmu bahagia.”

Kalimat-kalimat itu hanya beberapa dari sekian banyak yang saya tulis kembali di buku catatan harian saya. Belum lagi contoh-contoh sikap beliau yang saya amati diam-diam. Diam-diam pula saya merasa malu tentang apa yang telah saya tahu dan lakukan selama ini. Saya mesti banyak belajar.

Great leader doesn’t tell you what to do, he show you how its done. Tugas dan pekerjaan saya di Dompet Dhuafa Banten berkaitan dengan tulis-menulis. Satu hal yang membuat saya merasa beruntung pernah dipimpin dan bekerja sama dengan Mas Imam, beliau adalah tipe pemimpin yang bekerja dengan memberi contoh. Mas Imam cukup aktif menulis di blog pribadinya, menuangkan buah pikirannya di sana. Dari sosok Mas Imam saya belajar bagaimana membuat hidup tak lagi sekadar hidup, bagaimana membuat hidup menjadi lebih berarti, dan bagaimana memupuk semangat berbagi meski diri tak pada posisi berlebih. Namun, Allah tak mengizinkan saya untuk belajar lama dengan Mas Imam. Guru saya itu harus pulang kampung ke Semarang, karena didapuk menjadi Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Jawa Tengah. Tapi bak kata guru mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau waktu saya menduduki bangku SMP, “Nan satitiak jadikan lawuik, nan sakapa jadikan gunuang, setetes jadikan laut, sekepal jadikan gunung.” Nilai-nilai hidup yang pernah ditransfer Mas Imam dalam waktu belajar yang singkat itu, saya berjanji akan memeliharanya baik-baik sebagai azimat peneguh cara pandang terhadap hidup yang masih sering goyah. 

Dan tentang pekerjaan saya saat ini, ah… benih angan yang dulu saya semai di kepala kini bertunas, berdaun lebat, dan berbuah manis. Manis yang ingin saya bagikan kepada teman-teman di sini. Manisnya BERBAGI. Berbagi dalam kebaikan. Sungguh saya tak berdusta, lega hati ini setiap kali usai berbagi bersama Dompet Dhuafa, meski saya tahu, posisi saya hanya sebagai jembatan, penghubung bantuan dari muzzaki kepada mustahik. 

(*Tulisan ini saya dedikasikan sebagai prasasti rasa terima kasih saya kepada salah satu guru kehidupan. Thanks, Kang Mas Imam. Sukses dan bermanfaat di manapun Mas Imam berpijak. 
  

Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar