Menembus Batas dengan Mimpi



Menembus Batas dengan Mimpi
Oleh: Rindang Yuliani


Buku ini sangat inspiratif. Berisi tentang kisah-kisah nyata bagaimana orang-orang meraih impiannya di tengah keterbatasan. Keterbatasan harta, keterbatasan fisik, dan keterbatasan kondisi. Semua cerita dalam buku ini membuktikan bahwa mantra man jadda wajada itu benar. Siapa yang sungguh-sungguh dia akan berhasil. 


Seperti pada tulisan Bernando J. Sujibto tentang betapa lelahnya berjuang untuk menuntut ilmu. Bernando mengalami sendiri apa yang ia ceritakan dalam tulisannya yang berjudul “Dari Sumenep ke Kolombia” tersebut. Terlahir di keluarga yang papa, tidak menyurutkan mimpi dan semangat Bernando untuk menuntut ilmu. Dari belajar di pesantren terbesar di Madura dengan “mengencangkan tali sarung” hingga berjuang di Yogyakarta saat ia kuliah sambil membanting tulang mencari sesuap nasi. Lalu kesempatan itu datang, tentu saja bukan karena kebetulan, ia berhasil mendapatkan beasiswa belajar bahasa dan budaya ke Amerika! Subhanallah.


Ada pula cerita dari seorang penulis bernama Rina Shu. Sejak lahir, ia menderita muscullar distrophy yaitu kelainan genetik yang menyebabkannya lumpuh seumur hidup. Satu hal yang memotivasinya tetap semangat untuk melanjutkan hidup adalah kehadiran orang tuanya yang bermental nrimo. Mereka memasukkannya ke SLB jenjang SD, namun setelah memasuki SMP dan SMA ia dimasukkan ke sekolah umum. Tidak banyak teman di sekolah yang mengganggunya, karena Rina Shu juga merupakan pribadi yang percaya diri dan senang membantu ketika temannya kesulitan dalam belajar.


Namun, kenikmatan bersekolah ini harus ia lepaskan saat kelas 2 SMA karena kelelahan fisik dan mental yang dideritanya sebagai pelajar tak sebanding dengan kemampuan tubuhnya. Dalam ketidakberdayaannya dirawat di rumah sakit, Rina Shu melakukan hobinya yaitu menulis dengan tekun. Sayang, ketika novel pertama terbit ayahnya telah tiada. Kini, Rina Shu bertekad membantu teman-temanya sesama penyandang disabilitas agar mereka tetap semangat melanjutkan hidup. Ia berharap ia bisa membantu menyemangati mereka dengan tulisan-tulisannya. Rina Shu berkata, “Yang Kubutuhkan Semangat, Bukan Kaki”, seperti judul tulisannya tersebut.


Lain lagi cerita tentang seorang Setiawan Chogah. Ia menulis betapa ia harus melebihkan usaha untuk menggapai cita-citanya menjadi sarjana. Terlahir di sebuah nagari (desa), 125 kilometer dari Kota Padang, ia melihat bahwa cita-citanya menjadi sarjana sangatlah mustahil. Betapa tidak, jarak sekolah dengan gubuk reyotnya jauh sekali. Ketika SD, ia harus berjalan kaki menyusuri tepi sungai dan pematang sawah sejauh 3 kilometer. Amak-nya yang mengantar selalu bilang pada tetangga yang menyapa mereka di perjalanan, bahwa ia sedang mengantar calon sarjana untuk sekolah. Subhanallah, jlebb sekali.


Ketika SMP, ia mendapatkan beasiswa. Meskipun ia juga tetap harus bekerja untuk menambah uang saku. Ketika SMA, ia harus merantau ke Kota Padang dan menjadi karyawan toko fotokopi milik tetangganya di kampung. Di tengah-tengah semangat belajar dan bekerjanya, terdengar pula berita perih dari kampung, amak-abak-nya bercerai! Meski begitu, ia tak patah semangat. Kini ia berhasil kuliah di Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Ia siap menembus mimpinya, menjadi sarjana.


Itulah beberapa contoh cerita dari mereka yang berusaha menembus batas. Batas yang berupa kemiskinan, ketidaksempurnaan fisik, serta tak adanya dukungan dari lingkungan. Cerita tentang perjuangan Ahmad Fuadi sendiri untuk menggapai kesuksesannya yang sekarang sudah kubaca di trilogi novelnya; Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara.


Seperti yang kubaca dalam pengantar bukunya, 13 tulisan di dalam buku ini terpilih dari 80 lebih tulisan lainnya yang dikirim oleh penulis dari seluruh penjuru tanah air. Setelah kucermati, aku mengira faktor pertimbangan dimuat tidaknya tulisan dalam buku ini adalah dari seberapa menginspirasi tidaknya kejadian yang dialami oleh penulis atau orang-orang di dekatnya. Karena ada beberapa tulisan yang secara bahasa sangat sederhana, namun isinya sangat menyentuh.


Bagi kamu yang masih terlena dengan segala kelebihan yang dimiliki atau pun bagi kamu yang masih terpuruk oleh keterbatasan yang diciptakan oleh dunia, wajib membaca buku ini. Mari belajar menembus batas dengan buku ini!


"Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada indahnya mimpi-mimpi mereka." (Eleanor Roosevelt)


Baca juga:

Posting Komentar

2 Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)