Oleh: Evin Winangsih
AKU
mengenalnya dua minggu lalu. Tepatnya bukan kenal tapi laki-laki itu memungutku
dengan sukarela dan membawaku hidup bersamanya di rumah ini. Aku sungguh
beruntung bertemu dengan pria yang belakangan aku ketahui bernama Pak Sobri.
Bagaimana tidak, seminggu lalu aku masih terlunta-lunta di pertigaan jalan
Pasar Ciruas itu, berteman wirog-wirog gembel, kecoa miskin yang menggerogoti
sampah dan bekas makanan basi.
Sebenarnya dari awal aku sudah meronta ingin keluar. Aku tidak terbiasa dengan lingkungan yang benar-benar membuat aku bergidik. Ah, malang nian nasibku. Padahal dua minggu sebelum ini aku masih hidup nyaman di sebuah lemari yang ada di ruangan dapur rumah orang mewah di kota ini. Tapi keberuntungan tengah tidak memihak kepadaku, bocah sialan anak majikanku melemparku ke tempat ini setelah kemauannya tidak terpenuhi. Dasar bocah tengil! Tidak tahu berterima kasih, padahal kalau boleh aku mengungkit-ngungkit, satu tahun sudah aku habiskan umurku untuk mengabdi kepadanya, menjadi tempat air minum untuknya.Melepaskan dahaganya. Ah, lagi lagi aku hanya bisa mengeluh.
Rumah ini
tidak mewah. Hanya gubuk, tapi setidaknya Pak Sobri telah mengangkat derajatku
dari sebuah botol terbuang. Aku seperti menemukan dua sisi pribadi yang sangat
kontras dengan mantan majikanku sebelumnya. Keluarga Pak Sobri bukan keluarga
kaya, gubug reot dengan lantai tanah, dua bilik kecil, dan dapur yang menjorok
di sisi kanan menyatu dengan ruang utama. Tak ada meja makan, lemari es adem,
atau pun satu set peralatan memasak mewah seperti yang aku temukan dulu di
rumah si bocah tengil yang telah membuang aku di bak sampah busuk. Di sisi kiri
yang berbatasan dengan jendela kecil, menyatu sebuah meja tua dengan dua kaki.
Dua kaki lainnya seperti lenyap pada dinding papan di depannya. Di sanalah aku
pertama kali aku menginap saat Pak Sobri menemukanku di gerbang sore lalu
membawaku ke rumah ini.
Hari ini aku
ikut Pak Sobri berkeliling mencari botol-botol terbuang lainnya. Ah, ternyata
aku jauh lebih beruntung, Pak Sobri memperlakukanku lebih terhormat. Lelaki
paruh baya itu mempercayaiku menjaga bekal minumannya. Aku bangga, aku
mengalami sensasi luar biasa, badanku serasa mengembang, pipiku merah stroberi,
perutku menggelembung, ketika Pak Sobri meminta istrinya mengisiku dengan air
minum tadi pagi. Ai! Aku baru menyadari ternyata aku pun mempunyai organ-organ
seperti itu.
Aku seperti
mempunyai mulut, mata, hidung, dan juga telinga. Aku merasakan tiba-tiba
tubuhku dilengkapi dengan kaki dan tangan layaknya tangan Pak Sobri. Hei! Apakah
kau melihat kaki dan tanganku? Ah! Aku percaya kau tidak akan melihatnya! Hanya
orang-orang seperti Pak Sobri yang mampu melihat bagian-bagian tubuh baruku
ini. Orang-orang yang mampu melihat dengan mata hati. Mata kalbu! Entah aku
lupa atau memang tidak pernah menyadari, organ-organ itu baru berfungsi
semenjak aku bertemu dengan Pak Sobri dengan segala kesederhanaannya.
“Bu, aku mau
pake botol ini buat tempat minum.Tolong diisi, ya.”
“Bapak
beneran mau pake botol ini? Aih! Kotor atuh, Pak,” jawaban istrinya, membuat
aku cemberut.
“Ya dicuci
dulu, atuh, Bu. Tadi bapak nemuinnya juga nggak kotor-kotor amat.” Pak Sobri
membelaku, aku kembali dibuatnya tersanjung.
***
Matahari
siang tengah berada di ubun-ubun ketika aku dan Pak Sobri sampai di terminal
kota.
“Bapak!
Bapak haus? Minum dulu, geh!”Aku menawarkan minum kepada lelaki pahlawanku itu.
Dan lagi-lagi hanya kami yang dapat menyaksikan interaksi ini.
Pak Sobri
menggenggam pinggangku. Aku geli luar biasa, perlahan tangan kokoh lelaki itu membuka
katup mulutku, aku ternganga. Dengan segenap perasaan, aku curahkan air putih
jernih mengaliri kerongkongannya. Ketika itulah aku menyaksikan deretan gigi
putih bersih seraya menghirup aroma napas wangi. Heran! Aku malu pada diriku
sendiri, seketika pemikiran skeptisku mengenai orang-orang kelas menengah yang
selalu alpa memperhatikan kebersihannya, tiba-tiba hancur lebur setelah aku
menyaksikan mulut Pak Sobri.
Beberapa
teguk, Pak Sobri kembali menautkan mulutku. Terkunci rapat. Lalu kami melanjutkan
petualangan.
Baru
beberapa langkah Pak Sobri membawaku beranjak, seorang dengan perawakan tua
tiba-tiba mencegat langkah tuanku itu. Seorang gembel peminta-minta.
Lalu
perlahan selaput gendangku menangkap rintihan yang seperti dibuat-buat. Kau
heran? Beuh! Aku sudah katakan kalau aku mempunyai telinga, tentu saja
telingaku dilengkapi selaput gendang, sama dengan telingamu.Mmm, tidak juga
sama persis, aku dapat melihat telingamu, sementara kamu tidak bisa melihat
telingaku.
Masih heran?
Tanyakan saja pada Pak Sobri! Lelaki paruh baya dengan gerobak sampah yang bisa
kau temui di ujung jalan utama ini, bila kau ingin bertemu dengannya ditengah
hari. Namun bila kau hanya ada waktu setelah ba`da ashar, maka tunggulah dia di
pelataran mushola dekat deretan ruko cina di pasaran Ciruas itu, di sanalah Pak
Sobri beristirahat sejenak sekadar melepas lelah dan tentu saja berdialog
khusuk dengan sang Ghofur.
“Paaak,
kasihani Pak...,” gembel itu menadahkan tangan sambil terus menceracau yang
dibuat seiba mungkin.Ya! Aku yakin itu dibuat-buat. Dasar gembel profesional.
“Aku hanya
ada air minum, Kek. Bila kakek haus, silakan diminum beberapa teguk.
“APA? Oh!
Pak Sobri menyerahkanku pada gembel ini? Ah! Demi membalas budi baikmu aku
ikhlas, Pak.”
Lalu aki-aki
pengemis itu mulai mengulum bibirku. Aku memejam. Aroma busuk seketika
menyerangku. Arg! Aroma mulut orang ini benar-benar tidak sedap. Kutangkap
bibir hitam yang terbuka lebar tengah meneguk isi perutku.
“Hei!
Hentikan! Ini sudah dua teguk Bapak tua!” Oh Tuhan, pandanganku bertaut dengan
kerak-kerak nikotin disetiap sela gigi. Benar-benar tak tahu diri. Dia
merokok?Alamak! Sungguh sebuah kebiasaan yang tidak tahu diuntung aku kira.
Benar dugaanku, lelaki tua ini bukan fakir sungguhan. Gembel dan meminta-minta
pasti profesinya, Sungguh memalukan. ”Bawa aku dari sini Pak Sobri! Aku mohon.”
Aku meronta-ronta.
Hanya
sepersekian detik kami berlalu dari pengemis tua itu, aku dikejutkan dengan
suara ribut-ribut di depan kami. Aku mengintip dari balik badan Pak Sobri.
Beuh! Kampanye kepala daerah! Seketika aku melihat mulut-mulut berpidato
menjanjikan mimpi hari esok. Basi! Mimpi siapa yang mereka renda? Mimpi
sekelumit manusia yang duduk di kursi lalu menyejahterakan dan membuncitkan
tujuh keturunannya ataukan mimpi manusia bodoh kota ini yang mau saja dibodohi
keluarga dinasti korup itu. Ah! Aku berkeyakinan, mulut yang berkoar itu tidak
akan menang kali ini, sebab aku tahu sekarang ada manusia cerdas dan merakyat
tengah bersamaku. Dialah tuanku kini. Dia adalah Pak Sobri.
Bah! Aku
terperanjat, tiba-tiba saja di sekeliling kami telah menganga ribuan mulut
tanpa kata-kata! Dasar manusia bodoh! Kalian mau mengabadikan kekuasaan rezim
keluarga itu? Ckckck.
Hei! Calon
pejabat! Lihatlah di sekelilingmu, lihatlah mulut-mulut yang menganga!
Mulut-mulut tua renta yang keriput ini. Atau yang di sebelah kirimu itu,
mulut-mulut bayi yang merengek, mulut-mulut yang menangis. Aku menggeleng, lalu
pandanganku menangkap botol-botol terbuang, kantong plastik dan bungkus rokok
yang terkapar di sepanjang jalan.
Hatiku
miris. Duhai, betapa malangnya nasib karibku itu, tapi lebih malang lagi
manusia-manusia terlantar ini. Mereka saja masih mengemis perhatian pada
penguasa bermulut manis, tetap tak digubris, apalagi karibku yang hanya
botol-botol buruk. Terima saja kehidupanmu, hai teman, nikmati saja pemandangan
kota ini, hirup saja udara berdebu, dan bila kalian haus, merangkaklah ke
got-got kumuh di sisi-sisi jalan berlubang. Kecaplah dengan segenap perasaan
bersyukur, jangan dengan lidah yang tak pernah puas, maka hidup ini akanterasa
sangat manis. Coba kalian perhatikan manusia dengan mulut terbuka dan tangan
menengadah itu. Pada siapa mereka menengadah? Pada mulut yang tengah berkoar?
Hahaha, perjuangan yang sia-sia.
Mulut mereka
menganga bukan saja karena lapar kupikir, tetapi juga karena dahaga, juga
perih, perih, dan sedih. Tangis yang tak terucap, lara tak terperi. Menyangkut
di tenggorokan. Menohok ke hulu hati.
Ah, Pak
Sobri. Aku muak dengan pemandangan ini. Ayolah kita pulang saja, aku ingin
berdiam diri sejenak di gubukmu nan teduh. Gubuk kita. Mulut-mulut ini sungguh
membuat aku tiba-tiba merasa tidak betah. Mulut pengemis yang tak tahu diri,
mulut pejabat yang hanya bisa berpidato, menyogok, mengumbar janji di hadapan
mulut-mulut manusia miskin yang bodoh karena dibodohi. Membujuk bocah-bocah
tolol yang ditololi dengan lollipop murahan. Dasar Botol! Bocah tolol.
Teguklah
lagi sisa air di perutku, Pak.
Barangkali
wangi napasmu mampu menawar perasaan mual yang tiba-tiba menyerangku.(*)
Analisis
Maksim Kerja Sama Grice
1. Pelanggaran
Maksim Kuantitas
Tapi
keberuntungan tengah tidak memihak kepadaku, bocah sialan anak majikanku
melemparku ke tempat ini setelah kemauannya tidak terpenuhi.
Wacana di atas
terletak di paragraf 2, penulis tampak melanggar maksim kuantitas karena
kontribusi yang diberikan penulis kepada pembaca kurang memadai. Artinya maksud
atau informasi yang diberikan penulis kepada pembaca masih kurang jelas. Hal
itu tampak dalam tuturan Tapi keberuntungan tengah tidak memihak kepadaku,
bocah sialan anak majikanku melemparku ke tempat ini setelah kemauannya tidak
terpenuhi. Pembaca masih bertanya-tanya kemauan yang seperti apa yang tidak
terpenuhi dari penulis tersebut. Informasi yang kurang jelas itulah yang
menyebabkan penulis telah melanggar maksim kuantitas, karena maksim kuantitas
mewajibkan peserta tutur untuk memberikan informasi yang jelas dan memadai.
2. Pelanggaran
Maksim Kuantitas
Keluarga Pak
Sobri bukan keluarga kaya, gubug reot dengan lantai tanah, dua bilik kecil,dan
dapur yang menjorok di sisi kanan menyatu dengan ruang utama. Tak ada meja
makan, lemari es adem, ataupun satu set peralatan memasak mewah seperti yang
aku temukan dulu di rumah si bocah tengil yang telah membuang aku di bak sampah
busuk. Di sisi kiri yang berbatasan dengan jendela kecil, menyatu sebuah meja
tua dengan dua kaki. Dua kaki lainnya sepertii lenyap pada dinding papan di
depannya.
Tuturan di
atas terdapat pada paragraf 3. Tuturan di atas dapat dikatakan melanggar maksim
kuantitas karena mitra tutur memberikan informasi yang diberikan terlalu
panjang dan berlebihan sehingga tidak menjadi tuturan yang efektif dan efisien.
Maksim kuantitas mewajibkan peserta tutur untuk memberikan informasi yang jelas
dan memadai. Jika penyampaian informasi sifatnya berlebihan maka informasi
tersebut menyimpang dari maksim kuantitas.
3. Pelaksanaan
Maksim Relevansi
“Bu, aku mau
pake botol ini buat tempat minum. Tolong di isi ya.”
“Bapak beneran
mau pake botol ini, aih! kotor atuh pak.” jawaban istrinya membuat aku
cemberut.
“Ya dicuci
dulu atuh, Bu. Tadi bapak nemuinnya juga enggak kotor-kotor amat,” Pak Sobri
membelaku, aku kembali dibuatnya tersanjung.
Wacana di atas
terdapat dalam paragraf 6-8. Dalam wacana di atas penulis telah melaksanakan
maksim relevansi karena kontribusi yang diberikan kepada pembaca sudah relevan
yakni antara penutur dan mitra tutur sama-sama membahas atau membicarakan
tentang pemakaian botol. Keduanya berkesinambungan mengaitkan topik pembicaraan
tentang botol tersebut. Hal ini terlihat dalam percakapan yang sering
menggunakan kalimatmau pake botol ini. Dengan demikian penulis telah
melaksanakan maksim relevansi.
4. Pelanggaran
Maksim Pelaksanaan
“Bapak! Bapak
haus? Minum dulu, geh!”Aku menawarkan minum kepada lelaki pahlawanku itu. Dan
lagi-lagi hanya kami yang dapat menyaksikan interaksi ini.
Pak Sobri
menggenggam pinggangku. Aku geli luar biasa, perlahan tangan kokoh lelaki itu
membuka katup mulutku, aku ternganga.
Tuturan di
atas terdapat dalam paragraf 10-11. Tuturan penulis dalam wacana di atas masih
bersifat kurang jelas maksudnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh penulis
terhadap maksim pelaksanaan adalah penggunaan kalimat Pak Sobri menggenggam
pinggangku. Aku geli luar biasa, perlahan tangan kokoh lelaki itu membuka katup
mulutku. Penggunaan kalimat tersebut akan menyulitkan pembaca untuk menafsirkan
maksud tuturan penulis.
Pelanggaran
yang dilakukan oleh penulis terhadap maksim pelaksanaan bertujuan untuk
memberikan gambaran bahwa botol yang kita kenal sebagai benda mati pun memiliki
perasaan sama seperti manusia. Apalagi kita manusia yang sifatnya hidup pasti
memiliki perasaan yang jauh lebih peka dibandingkan dengan botol yang hanya
sebuah benda mati. Dengan demikian, penyimpangan tuturan penulis tersebut
memiliki maksud dan tujuan yang jelas yaitu untuk memberikan renungan bagi para
manusia untuk selalu mempergunakan dan melihat dengan hati dan perasaannya
dalam menyikapi hidup ini.
5. Pelanggaran
Maksim Pelaksanaan
Lalu aki-aki
pengemis itu mulai mengulum bibirku. Aku memejam. Aroma busuk seketika
menyerangku. Arg! Aroma mulut orang ini benar-benar tidak sedap.
Tuturan di
atas terdapat di paragraf 19. Tuturan penulis dalam wacana di atas masih
bersifat kurang jelas maksudnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh penulis
terhadap maksim pelaksanaan adalah penggunaan kalimat mulai mengulum bibirku.
Penggunaan kalimat tersebut akan menyulitkan pembaca untuk menafsirkan maksud
tuturan penulis.
Pelanggaran
yang dilakukan oleh penulis terhadap maksim pelaksanaan bertujuan untuk
memberikan gambaran bahwa aki-aki pengemis sedang meminum air yang diberikan
oleh Pak Sobri. Namun kalimat mulai mengulum bibirku dalam kalimat tersebut
digunakan penulis untuk menambah nilai estetis dari sebuah karya sastra.
6. Pelanggaran
Maksim Kuantitas
Hatiku miris.
Duhai, betapa malangnya nasip karibku itu, tapi lebih malang lagi
manusia-manusia terlantar ini.
Tuturan di
atas terdapat dalam Paragraf 24. Dalam tuturan di atas penulis tampak melanggar
maksim kuantitas karena kontribusi yang diberikan penulis kepada pembaca kurang
memadai. Artinya maksud atau informasi yang diberikan penulis kepada pembaca
masih kurang jelas. Hal itu tampak dalam tuturan di atas. Pembaca masih
bertanya-tanya manusia terlantar yang seperti apa yang penulis maksud dari
ujaran tersebut. Informasi yang kurang jelas itulah yang menyebabkan penulis
telah melanggar maksim kuantitas, karena maksim kuantitas mewajibkan peserta
tutur untuk memberikan informasi yang jelas dan memadai.
Tulisan ini diambil dari skripsi Evin Winangsih "ANALISIS MAKSIM KERJA SAMA
GRICE DALAM CERPEN SURAT KABAR RADAR BANTEN EDISI JULI 2012 DAN MODEL RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARANNYA DI SMA". Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2013.
0 Komentar
SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)