Irvanisme, Sebuah Cara Memandang Hidup


Irvan Hq, Ketua Umum Banten Muda Community. (dok. Pribadi)

Hallo, Dunia! Sudah lama sekali saya tidak berkeluh kesah di sini, apalagi show off, atau sekadar curhat nggak penting tentang hari-hari saya yang absurd. Sebenarnya ada begitu banyak ide yang beranak–pinak di kepala saya dan ingin saya sebar di sini, tapi... klasik barangkali bila saya menyebut waktu adalah kendala paling utama.

Kalian apa kabar, Teman? Malam ini saya begitu rindu pada halaman yang saya buat 3 tahun yang lalu ini. Halaman yang lahir dengan cinta. Jari-jari saya begitu girang ketika saya beri kebebasan untuk menari bebas dari tuts ke tuts keyboard external saya. Baiklah, saya ingin tumpahkan saja sekarang.

8 Oktober 2013. Hmmm, ini delapan Oktober, ya?  
Oh, ya, terhitung tanggal ini barangkali curcolan saya di sini akan keluar dari tema-tema yang biasa saya ceritakan. Ya, saya yakin dan percaya, kalian pasti bosan dengan cerita saya yang monoton. Yang itu-itu saja! 17 Oktober yang lalu saya telah memasuki dunia saya yang baru. Mungkin lebih tepat saya menyebutnya kembali ke jalan yang benar. Sudah tidak ada lagi press ID yang saya kundang ke mana-mana, pun kamera atau buku catatan kecil. Sebuah pertobatan yang saya lakukan dengan sangat menyiksa diri; seperti seorang perokok aktif yang dipaksa masuk ke ruangan bebas asap rokok dan dijauhkan dari barang yang namanya rokok.

Meninggalkan profesi jurnalis dan penulis mungkin sesuatu yang tidak terpikirkan oleh saya jauh-jauh hari. Sesuatu yang aneh namun benar-benar nyata. Setahun yang lalu (dalam A Cup of Tea for Writer, Stiletto Book) saya berani menulis bahwa bagi saya menulis adalah kebutuhan jiwa. Saya akan menjadi penulis selamanya. Pupa-rupanya saya sama saja seperti manusia kebanyakan yang tiada punya kuasa menghindar dari keinginan Tuhan, pencipta dan pemilik penuh atas diri dan hidup saya.

Kurang lebih dua minggu menjalani hidup sebagai engineer, saya lumayan kalang-kabut dengan ritme pekerjaan yang 180 derajat berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya. Sekarang saya mau tidak mau harus bangun pagi-pagi sekali, berebut naik bus, terkantuk-kantuk, dan berhadapan dengan kertas-kertas lebar penuh gambar yang sama sekali tidak mengerti. Saya yang biasanya tidak bisa lepas dengan Crome dan Mozilla setiap kali berhadapan dengan komputer, dipaksa untuk membuka satu-satunya program, Ms. Excel! Di beberapa pagi saya hanya bisa menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan. Terkadang ada kerinduan yang sangat memuncak pada halaman Ms. Word, pada portal berita, pada deretan kalimat berita yang harus saya ketik, edit, dan posting di website media tempat saya mengabdikan diri sebelumnya. Tapi hidup harus tetap berjalan. Siapapun di dunia ini tidak akan ada yang begitu mudah lupa dalam sekejap mata  pada sesuatu yang dicintainya. Apa lagi sesuatu itu sudah mendarah daging, hidup bersama-sama dalam waktu yang panjang, dan sepanjang itu pula sesuatu yang terjadi menjadi kenangan yang mengiris-iris ulu hati ketika kita sudah berpisah.

8 September 2013 saya meninggalkan Banten Muda....  Sebuah keputusan berat namun harus saya ambil. Karena itu satu-satunya pilihan yang Tuhan berikan saat itu. Hahaha, barangkali ada yang memvideokan perpisahan saya dengan BM, saya ingin melihat rerupa jelek saya saat menangis terisak-isak, tanpa malu, karena memang tidak ada yang harus dijadikan alasan untuk malu. Namun pada akhirnya, ketika saya memberanikan diri untuk mengurai kisah itu di sini, saya tengah berada pada sebuah titik pemahaman bahwa melepaskan adalah bukti paling shahih dari mencintai, sebuah kalimat yang telah saya baca beberapa tahun sebelumnya namun dalam pemahaman yang nol.

Banten Muda adalah saya. Dan saya adalah Banten Muda! Tidak ada seorang pun yang boleh membantah itu, sekalipun mantan atasan saya sendiri, Irvan Hq. Bagaimana mungkin saya bisa melepaskan diri saya dari Banten Muda? Dalam rentang 24 Januari ke 8 September, Banten Muda menghidupi saya. Menghidupi dalam arti yang sangat luas bagi saya; Banten Muda adalah napas, saat itu.

Pun apa-apa yang saya jalankan sekarang dengan pekerjaan saya adalah bekal yang saya peroleh selama berlindung di bawah payung Banten Muda dan Irvan Hq. Saya ingin re-read dan urai satu per satu di sini tentang pemahaman hidup yang Banten Muda dan Irvan Hq ajarkan pada saya. Saya menyebutnya Irvanisme. Hahaha. Boleh, dong, saya menyebut demikian. Penganut paham kepercayaan kepada roh-roh leluhur boleh disebut Animisme, penggeramar Afgan juga dibolehkan menyebut diri mereka Afganisme, atau mereka yang mengikuti pandangan-pandangan hidup Karl Marx disebut Marxisme, nah, saya yang tengah menerapkan pemahaman-pemahaman tentang hidup yang pernah diajarkan oleh Kak Irvan, boleh jugalah menyebut ini sebagai Irvanisme. 

Lewat diskusi-diskusi ringan, seminar, atau rapat redaksi, saya suka mencatat hal-hal kecil yang sering disampaikan oleh beliau. Pernyataan-pernyataan yang pas dan suka sekali saya baca berulang-ulang di kala senggang. Berikut ini beberapa pelajaran hidup yang saya dapatkan dari Banten Muda dan Irvan Hq:

Menyerah bearti kalah
Saya gemar sekali membaca buku-buku motivasi. Kalimat di atas pun sudah sering saya baca, namun kala saya tengah berada pada posisi terpuruk, tetap saja, teori tinggallah teori. Namun Kakak menyampaikan teori ini lewat cerita hidup dan tindakan nyata dalam beberapa kasus yang sama-sama kami hadapi maupun kisah-kisah hidup Kak Irvan sendiri. Satu kalimat yang pernah disampikan Kak Irvan pada saya yang begitu menggugah dan membakar semangat saya, “Pada titik terendah, Allah tidak akan memberi celah dan jalan pada kita, kecuali untuk naik dan bangkit.” Beberapa kali saya terperosok ke dalam situasi paling tidak mengenakkan dalam hidup. Kuliah yang tidak lulus-lulus, kehilangan pekerjaan, sakit, prestasi tanpa apresiasi, dan masalah-masalah dalam pertemanan yang kadang membuat saya stres sehingga lupa pada janji Tuhan akan ada kemudahan di balik kesulitan. Konsep pemikiran ini juga yang selalu saya pegang teguh saat ini. Saat saya bersusah payah mengikuti ritme pekerjaan, terkadang saya mati asa dan berpikir untuk menyerah, kalimat-kalimat bermuatan semangat yang saya tulis ulang di buku harian saya ini mampu membuat saya kembali melangkah mantap penuh senyum menuju tempat kerja saya.

Capek? Udah, nikmatin aja!
Akhir-akhir ini saya lumayan capek dengan pekerjaan nine to five saban Senin sampai Sabtu. Saya yang biasanya liputan sesuka hati, berubah menjadi begitu terstruktur dan tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda pekerjaan. Tapi sebuah kalimat yang pernah terlontar dari mulut Kak Irvan di suatu malam di basecamp Banten Muda saya temukan dalam catatan harian saya, “Kalo dibilang capek, Wan, Kakak lebih capek. Siangnya jadi kuli pabrik, malam ketemu kalian (Banten Muda. Red), belum lagi beberapa usaha Kakak, waktu untuk keluarga dimaksimalin hari Minggu. Tapi itu mah udah nggak dirasain, dinikmatin aja.” Kalimat itu begitu cetar ketika saya baca kembali tadi sore, sepulang dari kantor. Ah, Kak Irvan saja bisa membagi waktu dengan baik, apalagi saya yang masih sendiri dan muda tentunya. 

Dihormati bukan berati gila hormat!
Beberapa hari masuk kerja, saya dibuat terkaget-kaget oleh beberapa karyawan yang usianya jauh di atas saya memanggil “Bapak” kepada saya. Ini benar-benar di luar dugaan dan yang pasti saya sangat tidak nyaman dipanggil demikian. Entahlah, dengan dipanggil “Bapak”, saya seperti dibentangkan jarak pemisah dengan mereka. Saya diperlakukan seperti bukan saya. Dan yang paling membuat saya tidak nyaman, panggilan “Bapak” tidak pantas disandangkan pada seorang anak bawang yang masih mentah di tempat mereka. Berbicara tentang panggilan, saya pernah disemprot Kak Irvan ketika pertama kali bergabung di Banten Muda memanggil beliau dengan kata “Bos”. Kak Irvan langsung merespon, “Jangan panggil Boooos!” Hahaha. Saat itu saya justru merasa aneh, orang yang seharus senang saya panggil “Bos” dan memang kenyataannya dia bos saya, tapi meminta beliau untuk dipanggil “Kakak” saja. Kak Irvan bilang, biar kesannya tidak wah dan lebih bersahabat. Exactly! Alasan yang sama persis ketika saya ogah dipanggil “Bapak”.

Memberi itu terangkan jiwa
Saya tidak mau menyebut apa saja yang telah saya berikan kepada Banten Muda selama saya mengabdi di sana. Karena semuanya tidak sepadan dengan apa yang diberikan Banten Muda pada saya. Timpang! Kak Irvan selalu mencontohkan tindakan “memberi terangkan jiwa” pada saya. Saya menjadi saksi sendiri bagaimana seorang Irvan Hq mengoordinir kader-kader Banten Muda untuk bergerak dalam acara santunan untuk anak yatim bulan Ramadhan lalu. “Asalkan kitanya mau aja, Allah pasti kasih jalan, Wan,” ujar beliau pada saya sembari menyerahkan kwitansi donasi untuk acara amal itu. Hal semacam itu pula yang senantiasa saya coba untuk terapkan dalam hidup saya. Memberi sebanyak-banyaknya. Ya, ternyata inti dari bahagia itu adalah memberi. Setiap sampai di kantor, saya selalu berpikir, hal apa yang bisa saya berikan  pada perusahaan yang menggaji saya. Apa hanya melakukan pekerjaan sesuai job desc saya? Itu artinya saya tidak punya added value untuk perusahaan tempat saya bekerja? Ah, saya tidak nyaman bekerja seperti itu. Beberapa waktu yang lalu saya bicara santai dengan atasan saya, mengusulkan beberapa ide yang terpikirkan oleh otak saya yang saya paksa berpikir keras. Ide yang sebenarnya sangat sederhana, tapi saya yakin ide sederhana itu akan mengubah suasana dan berpengaruh pada psikologi pekerja di tempat saya mengabdi sekarang. Menerapkan sistem 5S sebagai solusi ruang kantor yang (maaf) sedikit berantakan, pengarsipan dokumen perusaan yang tidak sesuai klasifikasi, posisi meja yang tidak ergonomis, dan melenceng dari standar efektif. Saya mengusulkan memasang beberapa poster K3 selain untuk peringatan dan acuan bagi pekerja, saya melihat poster-poster seperti itu pun menambah suasana semarak di lingkungan kerja. Ah, apa itu perasaan saya saja? Di lain hal saya mencoba membuat formula pengolahan data yang lebih sederhana dan hemat kertas ketika harus di-print out. Hahaha. Hal-hal sederhana itu sangat menyenangkan bila membawa perubahan pada lingkungan saya. Dan sepertinya besok saya akan ke kantor dengan beberapa ikan untuk ditaro di dalam akuarium di meja kerja saya. Why not?

Keep smiling dan senantiasa berterima kasih
Entahlah, saya orang sulit sekali untuk memberi senyum ketika mood saya tengah tidak baik. Atau saat bertemu dengan orang-orang baru. Saya tipe orang yang sulit sekali cair ketika dihadapkan dengan suasana yang sejatinya asing buat saya. Namun tadi sore, saya sepertinya harus tobat dari orang sok cool ketika bertemu orang-orang baru. Membaca kembali catatan harian, mengingatkan saya pada satu kebiasaan Kak Irvan yang saya perhatikan selama saya di Banten Muda. Seorang Irvan hq akan selalu mendatangi anak-anak Banten Muda dan mengulurkan tangan, menyalami mereka satu per satu, setiap kali berkunjung ke basecamp. Kak Irvan akan menyapa dan menjabat erat tangan mereka sembari TERSENYUM. Tapi siapa yang bisa menebak bagaimana suasana hatinya kala itu, apa mungkin seorang Irvan Hq bahagia di sepanjang harinya? Tapi saya senantiasa berdoa demikian untuk orang-orang yang berjasa dalam hidup saya. Aamiin.

Tersenyum memang sangat mujarab mengubah suasana hati. Tak hanya bagi si pemilik senyum, tapi juga pada lingkungan tempat dia berada. Entah kenapa, melihat orang datang kepada kita atau kita datang kepada orang dan disambut dengan senyuman, itu rasanya seperti disambut dengan sebuah tarian penghormatan yang sangat megah. Kita merasa dihargai, merasa diterima dan merasa diharapkan. Mungkin ilmu ini yang sering kali lupa saya terapkan dalam hidup saya selama ini. Saya paling malas ketika harus bersalaman setiap bertemu dan berpisah dengan seseorang yang hampir tiap hari saya temui. Rasanya, kok, kurang kerjaan saja? Tapi saya bertekad, malam ini, esok dan seterusnya, saya ingin menjadi orang yang senantiasa membagikan senyum secara cuma kepada banyak orang. Lets see! ^_^

Kak Irvan adalah tipe orang yang tidak mengenal kata bosan dan capek mengucap kata "terima kasih". Pada siapapun. Setiap kali saya selesai mengerjakan sesuatu hal yang memang seharusnya saya kerjakan, Kak Irvan selalu bilang, "Makasih ya, Iwan...." Dua kata yang serupa bayaran jutaan rupiah untuk sebuah pekerjaan kecil yang saya kerjakan. Kata TERIMA KASIH. Banten Muda dan Irvan Hq adalah salah satu episode terindah dalam hidup saya. Banten Muda bukan sekadar kumpul-kumpul dan bergosip tentang impian, tapi lebih dari itu... dari Banten Muda, saya menjadi mengerti, beginilah hidup yang sesungguhnya.  Terima Kasih, Banten Muda. 

Ah, sudah pukul satu, Teman. Besok pagi-pagi sekali saya harus bmerangkat nguli,  sudah dulu ya! Sebenarnya masih banyak pemahaman-pemahaman hidup yang saya sempat saya catat di buku harian saya yang pernah disampaikan dan diajarkan Banten Muda dan Kak Irvan dalam masa singgah saya dalam kehidupan mereka. Lain kali saya urai lagi di sini. Selamat tidur, Teman. Keep smiling!
Baca juga:

Posting Komentar

1 Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)