Mak … Aku Segera Pulang



1:20 AM.Aku rasa malam mulai keriput pada kombinasi angka yang tertera di pojok kanan komputer basecamp. Sementara mata masih benderang menerawang, mengeja kata demi kata. Ah, benar yang Mak bilang, bahwa hidup bukan sekadar senang-senang.

Ramadhan telah usai separuh. Itu artinya, gerbang lebaran akan segera dibuka. Entahlah …aku seperti menanam tak suka pada lebaran. Bukan mauku, tak suka itu datang sendiri tanpa pernah aku undang, apalagi aku inginkan. Sama halnya dengan cinta. Kata orang, cinta seperti angin, tak sopan. Datang dan pergi tanpa permisi.Tapi lain dengan tak sukaku pada lebaran. Rasa itu kekal, menjelma kerak di sudut-sudut hati. Ah, angka 20 kini berganti 27. Makin larut.

Mak … apa kabarmu di sana? Apakah rimba talau di belakang dangau kita masih rimbun? Juga semak-semak kaladi liar yang tumbuh di sepanjang sungai dekat dapur kita? Aku rindu, rindu pada aroma usang kain sampingmu. Rindu pada pucuk-pucuk nangka yang nakal menjuntai sampai ke kasau lopou kita. Rindu sekali.

Mak … tahukah engkau, bahwa kalender CJ Feed Indonesia yang dibawa bosku ke basecamp telah penuh coretan tangan nakalku. Lihatlah angka 1 di bulan Agustus yang aku lingkari dengan tinta warna merah itu. Mak pasti akan sumringah bila rahasia yang aku kubur dalam lingkaran itu kuungkap. Baiklah, aku tak mau jadi durhaka karena ulahku tanya beranak-pinak dalam kepalamu. Itu adalah tanggal kepulanganku untuklebaran tahun ini.

Tadi, pusat perbelanjaan di kotaku penuh dan seakan hoyak seperti aku meng-hoyak rumpun-rumpun talau sembari menjaga kambing-kambing kita dulu. Aku sengaja datang, memilih dan memilih sepatu pesanan Rafli. Tak apalah, Mak. Aku tahu engkau pasti tak setuju bila tahu adikku itu mengirim pesan singkat berisi wasiat. “Da … kalau pulang lebaran, belikan awak sepatu nomor 36 warna hitam.” Ah, Mak. Tak apalah, meski setiap kali aku berkirim tak banyak rupiah, kau selalu marah, namun aku tahu, dan aku dapat merasai … ini adalah bagian dari tanggung jawabku. Soal kuliahku, tak perlulah Mak risau. Saat ini, ketika mataku jemu dengan serbuan huruf-huruf, dan kepalaku pekak, mataku penat, tapi bibirku, Mak. Bibir ini menjadi alasanku untuk tak memejam hingga sahur nanti. Bibir yang aku latih untuk tersenyum bersanding dengan senyummu nanti, di kampung kita.

Mak jangan sedih. Aku bersuka melakukan pekerjaanku. Oh, bukan pekerjaan, tapi kegemaran. Satu lagi kabar gembira yang akan menjadi oleh-oleh rantau di tahun ini. Bukan sarjana, bukan sama sekali. Tapi … calon sarjana. Skripsiku sudah bab IV, itu artinya tinggal dua bab lagi aku akan segera disidang. Ah, Mak. Berat nian rasanya menuntaskan ini semua. Tapi seperti pesanku tempo hari, tak perlulah Mak bersedih, waktu akan menjadi penjawab paling bijak dari semua urusanku. Bukankah dari dulu aku seperti ini? Dan aku masih hidup di bumi Allah ….

Aku yakin, telekung yang aku kirim tahun lalu masih rapi dalam lemari kain kita. Mak lipat di sana, beserta doa untukku, juga adik-adikku. Lebaran ini Mak bukalah lagi lipatannya. Aku ingin melihat rerupa cantikmu ketika kain yang kutebus dengan keringat mentahku itu melingkar di kepalamu dan menjuntai hingga kaki, di hari lebaran nanti.

Mak … aku segera pulang. Kelapaku sudah amat rindu merasai setiap jengkal usapan tanganmu. Juga hasrat ingin tidur barang beberapa detik saja di pangkuanmu.Bermanja-manja ….

Banten Muda, 29 Juli 2013 1:47 AM


Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar