Di Rumah Kami, Di Banten Muda



Banyak Cinta
Di Rumah Kami, Di Banten Muda

Beberapa hari yang lalu saya mengirim SMS ke Mak di kampung. Seingat saya, terakhir kali kami berkomunikasi satu bulan yang lalu. Terkadang saya merasa berdosa. Tapi apa daya, bulan-bulan lalu saya dalam posisi terpuruk—butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk kembali berdiri dan berani menepuk dada, be my self.

Kehilangan memang selalu menyisakan sakit, lubang yang masih basah sampai saat ini di hati. Perih. Saya sempat mengajukan protes pada Tuhan. Saya melipat sajadah saya—bertindak bodoh dengan mogok shalat.  Sebenarnya keputusan untuk meninggalkan zona nyaman sudah saya pertimbangkan dari awal. Cerita Mak Ongku yang dengan 3 orang anak dan satu istri mengiris tipis-tipis hati saya. Pemasukan Rp 30 ribu satu hari, cukupkah untuk menghidupi keluarganya? Ah, saya ikhlas. Saya melepaskan apa yang saya bangun dari bibit, dan mulai bertunas.

Baiklah, tiada guna mengungkit sesuatu yang telah saya nyatakan ‘ikhlas’ melepaskannya. Meski, saya tak mau munafik. Saya ngarep ada itikat baik dari Mak Ongku untuk mengeluarkan beberapa persen dari keuntungan yang dia peroleh dari toko. Brrr...

Beberapa lama saya terdiam. Tentang hidup saya sekarang, tentang keajaiban yang saya dapatkan. Saya malu pada diri saya sendiri. Saat berkabar dengan Mak, saya ceritakan semuanya. Tentang pekerjaan saya, tentang Kak Irvan yang berhati malaikat, tentang semuanya.

Irvan Hq—nama itu menjadi begitu penting. Sangat penting! Penting sekali!
Saya yakin dan percaya, ini adalah bagian dari skenario Tuhan atas jawaban dari doa-doa saya, atau mungkin dari protes yang saya lakukan? Entahlah...

Pertengahan Desember 2012
Saya makin akrab dengan Guntur. Gun selalu berbagi cerita dengan saya. Gun siap sedia mendengar ocehan saya. Pun Gun-lah orang pertama yang tahu kebobrokan saya. Barangkali alasan kedekatan itu juga, Gun mengajak saya untuk menemani dia di acara Banten Muda Award 2012. Laki-laki cebol yang sudah seperti Abang saya sendiri itu memang mahabaik. Kadang saya suka keterlaluan. Kebaikan Gun selalu saya manfaatkan. Memaksa dia mau menampung saya di penginapannya di Bali, tahun lalu. Memaksa dia membeli udeng untuk saya. Tapi itulah Gun, mungkin dari yang awalnya saya paksa menjadi kebiasaan.

Gun masuk nominasi penerima Banten Muda Award kategori cerpen. Lagi-lagi, dia menawarkan kepada saya untuk ikut ke perhelatan yang digelar di Ratu Bidakara, 15 Des lalu. Saya menerima ajakan Gun dengan pertimbangan beritanya bisa saya tulis untuk NewsCeeS di Majalah Story.

Dari sanalah bermula, awal perkenalan saya dengan Banten Muda. Dengan Irvan Hq. Rutinitas yang monoton di toko, pun dengan pertimbangan melihat kondisi usaha Mak Ongku, saya mengirim pesan inbox di Facebook pada Pak Irvan.

“Assalamualaikum wr.wb.
Salam kenal, Pak Irvan. Saya Setiawan Chogah. Kebetulan saya hadir di acara Banten Muda Award di Hotel Ratu Bidakara beberapa waktu lalu untuk meliput acara tersebut dan akan dimuat di majalah Story (majalah teenlit nasional). Saya mahasiswa tingkat akhir di Untirta, yang kebetulan suka sekali menulis. Beberapa tulisan pernah dimuat di media lokal dan nasional. Saat ini, sembari mengisi kekosongan waktu, saya bekerja freelance sebagai koreponden (jurnalis lepas) untuk majalah Story. Dengan segala kerendahan hati, saya ingin minta tolong kepada Pak Irvan. Apakah di BMC ada pekerjaan yang bisa saya bantu mengerjakannya? Apapun, Pak. Saya bisa mengoperasikan komputer, bahasa Ingris pasif, dan beberapa kemampuan lainnya. Atau bila Bapak punya kenalan yang membutuh karyawan, saya bersedia bekerja apapun. Untuk pertimbangan Bapak, saya lampirkan CV dan profil singkat saya. Mohon maaf, bila merepotkan Bapak. Sebelum dan sesudah, saya haturkan terima kasih. Salam.”
Sungguh di luar dugaan saya, pak Irvan meresponnya dengan panjang lebar. Meski saat itu saya ditolak, karena memang Banten Muda bukanlah sebuah perusahaan komersial. Namun laki-laki yang terakhir kali melarang saya memanggilnya dengan kata “Pak” itu menjanjikan akan membantu.

Demikianlah semuanya terjadi. Saya menjadi bagian dari keluarga besar Banten Muda. Awalnya sangat berat, di bulan pertama saya hanya mampu mengabdi dengan 10 berita. Wajar, saya sama sekali tidak ada basic ilmu jurnalistik. Bermodalkan pengamalan dan kecintaan pada tulisan, ditambah dukungan penuh dari Kak Irvan, saya meyakinkan diri saya untuk bisa!

Bulan kedua saya berkenalan dengan Bembi, wartawan radarbanten.com yang sebelumnya adalah kru di Expresi Radar Banten. Kami menjadi akrab. Saya dan Bembi membagi informasi tentang liputan.

Lambat laun, hari berganti. Sudah beberapa bulan saya di Banten Muda, dan cinta itu semakin nyata. Inilah yang saya cari selama ini. Banten Muda menjawab tanya saya, bahwa bahagia bukanlah shoppping. Bahagia adalah menerima ketika diberi, diterima ketika memberi. Pengabdian saya dihargai. Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Kak Irvan semakin berharga sebuah dunia di mata saya. Entahlah, mungkin kerena alasan kehilangan figur Ayah di usia yang sangat mentah, support dan dukungan dari Kak Irvan kerap membuat saya mendewakan dia. Kak Irvan menawarkan pada saya untuk tinggal di basecamp Banten Muda. “Tinggal di basecam saja, Iwan. Lumayan kan buat berhemat daripada ngekost.” Awalnya saya menolak. Saya sadar, utang budinya yang mau menerima saya menjadi bagian Banten Muda saja sudah sangat besar dan melilit saya—saya paling takut dianggap parasit.

Namun Kak Irvan meyakinkan saya. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kini, basecamp Banten Muda adalah rumah saya. Di sini segala asa saya gantungkan, di sini saya bernapas, makan, tertawa, menangis diam-diam. Semuanya.

Apa yang selama ini tidak saya dapatkan, di sini ada. Terlebih sebuah dukungan akan mimpi-mimpi saya. Saya tidak tahu, mungkin mendukung adalah tabu bagi keluarga saya. Belum pernah ada yang mau mengulurkan tangannya pada saya, membiarkan saya menyatukan kening saya sebagai ungkapan perpisahan. Belum pernah ada yang menepuk bahu saya, sebagai dukungan dan menyalurkan energi pada saya. Belum ada yang memberi ucapan selamat atas keberhasilan-keberhasilan kecil yang saya gapai, belum ada juga yang mengingatkan “hati-hati di jalan” ketika saya meninggalkan rumah. Belum ada...

Tapi Kak Irvan melakukan itu. Dia menjadi lebih dari sekadar atasan. Meski dia  melarang saya untuk menyebut “Boss”, tapi di mata saya, Kak Irvan menjelma seperti ayah sendiri.

Barangkali saya berlebihan menilai Kak Irvan. Barangkali saya terlalu kegeeran menanggapi segala perhatian yang sebenarnya sangat biasa. Hanya karena itu adalah sesuatu yang baru untuk saya, saya menjadi kaget.
Terserah... Biar... Biarlah, apa pun alasannya, seorang Irvan Hq tetaplah malaikat. Seseorang yang menanam budi, dan saya memanennya. Sekarang, tinggal tugas saya memupuk budi agar tumbuh subur di sini. Di rumah kami. Di Banten Muda. Saya punya mimpi, kelak, Banten Muda tumbuh tinggi. Subur dan rindang, seperti mimpi-mimpi saya yang kian bertunas.

Tuhan... dengan segala kemampuan dan keterbatasan hamba. Namun, dengan kebisaan berbisik yang Engkau anugerahkan, izinlah... “Jaga dan sayangilah orang-orang yang menyayangi hamba. Sayangilah mereka, Tuhanku. Sayangi Kakak Hamba; Irvan Hq. Aamiin.

(*BieM-12:30 1 Mei 2013


Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar