Pelangi Sehabis Hujan Selalu Lebih Indah


Pelangi Sehabis Hujan Selalu Lebih Indah

18 Maret 2013
Badan kurus saya masih terasa pegal, sepulang ‘ngobrol’ cukup lama dengan Ge Pamungkas, pemenang kompetisi Stand Up Comedy sesion 2 Kompas TV. Banyak pelajaran hebat yang saya dapatkan dari Ge. Lain kali akan saya ceritakan di sini.

“Chog, lo udah makan blom?” Bemby, sahabat saya bertanya ketika kami telah membelah jalanan dari Pakupatan menuju A. Yani dengan matic merah kepunyaan jurnalis RadarBanten.com itu.

“Belom, Bemb. Mau makan dulu?”

“Oh yaudah, kita mampir ke Pontir dulu, ya. Giliran gue yang traktir lo,” Bembi membelokkan motornya ke arah Trip Jamaksari dari lampu merah Ciceri.

Kami memasuki pusat kuliner dan tongkrongan Agaser (Anak Gaul Serang. Red) itu di kala langit Serang mulai buram. Memilih meja di Pondok Tiara 2, Bembi memesan bakso, sementara saya memesan minum saja. Usai menyeruput dua teguk Coffe Blend dari sedotannya, tenggorokan saya terasa sedikit lega. Lega yang menjalar sampai ke perut lalu berefek pada mata yang langsung ‘melek’.

Saya mengeluarkan novel Bidadari Terakhir dari tas saya. Membolak-balik halaman buku yang baru sampai tadi siang, lalu menghirup aromanya. Saya sangat suka aroma buku, apalagi buku-buku lama. Kebiasaan aneh itu selalu saya rindukan dan sedikit terobati ketika berkunjung ke Rumah Dunia.

“Buku apaan tuh, Chog?” Bembi bertanya.

Saya hanya tersenyum.

“Dih, kampret nih maho. Ditanya malah senyum-senyum sange!”

Saya ngakak. Bembi memang suka nyablak kalau nongong. Satu minggu ini kami menjadi sangat akrab, selain sama-sama bemburu berita, saya suka personality Bembi yang asyik, brutal, dan songong. Saya memang bukan tipe orang yang selektif dalam memilih teman. Teman-teman saya rupa-rupa warnanya. Macam balon saja. Hehehe.

Bembi itu adalah salah satu teman saya yang jujur dalam berteman. Tiga hari yang lalu, seusai meliput acara bedah buku Sartika Dian Nuraini di auditorium Untirta, saya dan Bembi terlibat percakapan serius. Bembi bercerita banyak hal tentang masa lalunya. Tentang pengalaman menjadi duta pariwisata, Kang Serang. Tentang kenakalan masa SMA, tentang perjuangan mengikutin kontes modelling, juga tentang cerita-cerita kocak selama bergabung bersama kru Expresi Radar Banten. Bembi katakan dulu dia pernah berjualan koran di lapak gang IAIN, di tahun yang sama ketika saya bekerja di fotokopi depan jembatan penyeberangan Ciceri. Bembi menceritakan tentang dirinya pada saya, tentang alasannya mengapa mau berteman dengan saya, tentang banyak hal.

Saya dan Bembi banyak persamaan, mesti kami beda keyakinan. Bembi mengajarkan saya tentang arti toleransi. Persahabatan tidak pernah memandang latar belakang; suku, agama, dan segala tetek bengek lainnya. Bersahabat ya bersahabat saja. “Gak butuh kenalan ketika lo menolong orang yang kecelakaan, kan?” begitu kata Ge waktu kami ngobrol tadi.

“Iniiii, buku barunya Agnes Davonar. Lo wajib baca!”

“Kenapa emangnya?”

“Pokoknya ini buku keren abis!”

“Ciyus miapah?”

“Mipalalo berasep. Hahaha.”

Saya kembali membolak-balik halaman Bidadari Terakhir. Berhenti cukup lama di halaman persembahan. Tertegun di kalimat ucapan terima kasih Agnes kepada para penggemarnya yang sudah sangat lama menunggu novel ini lahir, kepada Rasya yang kisah hidupnya diangkat di novel ini, kepada Kaskuser yang mendukung kisah Rasya dan Evaria untuk diangkat ke layar lebar, kepada Facebooker yang mencapai 15.000 lebih komentar menunggu terbitnya novel Bidadari Terakhir di fanspage Agnes Davonar. Juga kepada saya yang diberi kesempatan oleh Agnes untuk menjadi editornya dalam novel terbarunya ini.

Saya menarik napas cukup dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Saya ingin menikmati suasana santai ini dengan cara-cara saya.

Kembali saya membalikkan buku di tangan saya. Singgah ke halaman depannya dengan coverbergambar sosok “Rasa dan Evaria”. Agnes Davonar. Ah, saya seperti bermimpi saja ketika nama saya ada di buku penulis yang dinobatkan sebagai salah satu penulis terkaya di Indonesia ini. Ketika Agnes memercayakan saya ‘menggarap’ Bidadari Terakhir bersama-sama.

Rasanya baru kemarin saya jatuh pasca perseteruan dengan redaktur majalah ternama di negeri ini. Perseteruan yang sampai saat ini reda tanpa pernah saya paham penyebabnya. Saya berhenti menulis di media, beberapa teman yang penulis yang dulunya akrab jadi menjauh, mencipta jarak, mungkin mengira saya anak muda berbahaya, amoral, dan harus dijauhi demi menjaga eksistensi. Ah, mereka itu brengsek!

Saya menerima kekalahan saya. Tak satu pun karya yang muncul lagi di majalah dan tabloid. Tadinya saya mengira itu adalah akhir dari karir saya sebagai penulis cupu. Hahaha. Ya ya ya, saya terlalu berani mencap diri saya penulis dengan pernah melahirkan beberapa cerpen cemen di media dan antologi.

Saya telah pasrah dan memilih diam. Kadang menangis sedih ketika sisi melankolik saya memberontak. Taik! Sebenarnya saya benci sekali dengan air mata.

Beruntung, masih ada orang-orang yang mau menganggap saya teman. Yang mengompori saya untuk move on dan berlaku manis lagi. Hk! Manis, pura-pura manis tepatnya. Tapi entahlah, dari mereka juga saya masih kuat menghela napas dan berpikir keras untuk tetap menulis. Toh dulu tujuan saya menulis bukan untuk mencari popularitas. Bukan, bukan sama sekali. Saya menulis untuk berteriak. Menumpahkan segala keresahan saya tentang hidup yang terkadang tidak mau berpihak, tentang Tuhan yang begitu lihai mengaduk-aduk perasaan, tentang luapan kegembiraan saya, pun tentang kesedihan yang membuat badan saya tak pernah lagi mau menambah bobotnya dari angka 45. Tentang cinta yang tak mau berkarib. Saya juga menulis untuk uang. Kapitalis? Sabodo teuing!

Saya mencoba bangkit. Mengirim CV dan portofolio ke beberapa kenalan. Dengan segala kepasrahan diri, saya menyerahkan semuanya pada Tuhan. Kalaupun saya harus mati di sini, di tanah rantau, saya sudah tidak lagi peduli. Ah, lebay mungkin. Tapi itulah saya ketika itu. Tetesan air mata yang tumpah di buku harian saya masih menyisakan keriput pada lembarannya. Tuhan, Kau di mana? Aku butuh pertolonganMu. Dengan nelangsa yang bersarang di dada, saya mengetik pesan di inbox Facebook pada Pak Irvan. Ya, waktu itu saya masih memanggilnya dengan kata “Pak”. BBM dari Kak Erin, Guntur, Kerio, dan beberapa sahabat saya yang masih tersisa seperti asupan energi pada saya untuk menggerakkan jari-jari menari di tuts keyboard komputer saya. Saya menyeka air mata diam-diam ketika Kak Irvan mengirimkan sebuah pesan di inbox Facebook, “... ingat ya justru pada titik terendah itulah, Allah tidak memberi jalan dan celah kepada kita, kecuali untuk naik dan bangkit.”

Tuhan memang bersifat Iroodah, Dia Maha Berkehendak. Pun Maha Berkuasa. Di titik itu Dia merangkul saya. Setelah teriakan panjang saya di sujud-sudud terakhir di penghujung malam yang tak pernah disahutiNya. Tuhan, apakah Kau telah menulikan telingaMu untuk mendengarkan isak dan tangisku? Oh, Tuhanku, Illahi Rabbi, aku kesakitan. Bila enggan mengobati lukaku, peluk saja aku, Tuhan. Peluk sebentar saja. Saya masih hafal betul ceracau kacau saya pada Tuhan. Kedengarannya mungkin aneh mengadili Tuhan. Kalian mau marah? Apa hak? Itu urusan saya dengan Tuhan saya, bukan? Tak seorang pun yang berhak mencampuri hubungan saya dengan Tuhan saya. Saya tetap mesra dengan Dia mesti terkadang saya purikan, pundung, serupa anak kecil yang tidak dibelikan permen warna-warni oleh ibunya. Begitulah hubungan saya dengan Tuhan saya. Fair, kan?

Sebuah mention di Twitter saya @setiawanchogah. Dari @agnesdavonar. Tawaran untuk menjadi editor di novel terbarunya. Saya me-refresh beberapa kali halaman Twitter saya, curiga itu bukan mentionAgnes buat saya. Saya berteriak nyaring. Alhamdulillah, Tuhaaaaaan, terima kasih. Dalam haru biru saya menjatuhkan kening saya di meja komputer saya. Memejamkan mata. Menyesap syukur dan memburu Tuhan ke langit dalam imajinasi saya. Menciumi tanganNya, seperti saya merindukan aroma tangan ibu saya. Mata saya berpendar.

Kamis, 31 Januari 2013. Hari di mana saya menerima bab pertama dari Bidadari Terakhir yang harus saya sunting. Hari itu juga saya kembali mengirimkannya ke e-mail Agnes, dan dia suka. Saya resmi menjadi editor Agnes di tanggal itu juga.

Dua belas hari lamanya saya dan Agnes berkumunikasi lewat BBM, inbox Facebook, dan terkadang Agnes yang menelopon saya terkait Bidadari Terakhir. Tentang beberapa pilihan kata yang saya ajukan, tentang kalimat yang saya cut, atau penambahan di beberapa halaman memperkuat jalan cerita. Seru! Bidadari Terakhir adalah kisah yang tadinya tidak bisa diterima nalar saya, tentang Rasya yang menerima Evaria dengan segala baik dan buruknya. Tapi ini adalah kisah nyata, Rasya dan Eva hidup di atas bumi yang sama dengan kita. Saya menikmati profesi baru saya di sela membantu teman-teman di Banten Muda. Kak Irvan mulai memercayakan saya untuk terjun ke lapangan, meliput event-event kampus dan kegiatan positif tentang Banten. Saya semakin melupakan luka yang sebenarnya tidak perlu diratapi bila saya mengingatnya saat ini. Saya baru saja memasuki gerbang dunia jurnalistik, bertemu dengan publik figur, ngobrol dan berfoto dengan mereka, menulis straight news untuk web BieM, kontributor lepas untuk rubrik NewsCees majalah Story.

Haru membanjiri ruang dada saya ketika akhirnya tabloid Banten Muda akan kembali terbit dengan format baru. Kang Niduparas Erlang, pemimpin redaksi dan Na Lesmana sang redaktur pelaksana memercayakan saya untuk bertanggung jawab di beberapa rublik. Oh, Tuhan. Ampuni dosa-dosa hamba. Ampuni, ampuni, ampuni.

Saya menatap pada jari-jari di tangan saya. Masing-masing masih berjumlah lima di kedua tangan saya. Kaki-kaki yang yang masih mampu diajak berlari, mata yang menangkap indahnya pagi di Kota Serang. Saya meraba perut yang sampai saat ini masih bisa saya isi ketika lapar. Tuhanku, ampuni dosa-dosaku. Ampuni.

“Anjrit! Lo gak ngarang kan, Cong?”

“Ngarang gundul lo! Hahaha. Gue udah capek kali ngarang-ngarang, hidup gue udah kayak karangan fiksi. Cabut, yuk!”

Bembi menatap layar ponselnya. “Sip sip, gue bayar dulu, ya!”

Kami meninggalkan Pondok Tiara dengan tampang kekenyangan. Merindukan kasur di peraduan masing-masing, menunggu pagi, menunggu hujan dan matahari. Orang-orang bilang, pelangi setelah hujan selalu terlihat lebih indah. Iya, tah? Iya, geh!
***


Baca juga:

Posting Komentar

9 Komentar

  1. Kak Chogah....
    Tetep SEMANGAT, kak!! :)

    BalasHapus
  2. wah keren ya ka Chogah...aku juga baca cerpen kamu di situs lesbian sepocikopi.com

    BalasHapus
  3. Alo mas, saya menemukan beberapa logika yg ga pas & sejumlah typos di buku itu lho. Seperti sinkronisasi tentang uts di halaman 44 & 54, halaman 56 yg menyatakan pertemuan pertama yg harusnya pertemuan kedua, dll.. Mudah2an terkoreksi di cetakkan selanjutnya

    BalasHapus
  4. Cerita Bidadari Terakhir dah mau diboikot sm warga Bpp: http://www.change.org/p/individu-boikot-film-ini-sebelum-tayang

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)