Betapa Ajaib Hidup Ini

Betapa Ajaib Hidup Ini

Jumat, 1 Maret 2013 

FEBRUARI 2013. Sengaja saya bold dan uppercase nama bulan kedua di kalender masehi itu. Februari tahun ini mungkin akan menjadi bulan yang paling akan saya ingat sepanjang sisa usia saya ke depan. Februari yang kejam. Februari yang berdarah-darah. Hahaha. Saya lebay, ya? 

Entahlah, mungkin ini sudah skenario Tuhan yang harus saya perankan. Februari benar-benar mampu membuat saya begitu total menghayati peran yang dipercayakan Tuhan pada saya.

Sebenarnya dalam hidup saya tidak punya pretensi apapun. Saya menjalani hidup saya seperti air yang mengalir. Mungkin karena itu juga, berbagai macam medan hidup pernah saya lalui. Namun Februari 2013 adalah medan terjal dan kering yang pernah saya lalui dalam hidup. Februari membuat saya melakukan perjalanan pemikiran yang begitu jauh – jarang-jarang saya berpikir tentang kematian saya. Ah, Hidup yang akan berakhir dengan mati. 

Mungkin sepanjang 2012 adalah masa keemasan saya sebagai anak muda di usia 23 tahun. Saya bisa mendapatkan apapun yang saya mau dengan cara dan kemampuan saya sendiri. Shopping satu kali seminggu, mengunjungi teman SMA di Jakarta, mentraktir kawan-kawan waktu kami ngumpul-ngumpul di Mall of Serang, atau membeli buku minimal satu buah setiap kali saya mampir ke toko buku dua kali seminggu. Tiap malam menghitung pemasukan dari usaha yang dulu dihibahkan Mak dang pada saya, mengirimkan uang buat Amak, Abak, dan adik, juga membantu dana pembangunan rumah toko untuk Amak dan adik-adik di kampung. Tapi... Februari 2013 telah merampas semua itu. Saya nyaris gila. Bagaimana tidak, ketika saya harus berpikir 10 kali untuk membalas SMS dari sahabat saya. menimpang-nimbang SMS-nya penting atau tidaknya untuk saya balas lantaran saldo pulsa saya tidak lagi pernah mencapai angka 10.000 setiap isi ulang. Hahaha. Dunia saya jungkir balik. 

Sebenarnya ini konsekuensi yang harus saya terima. Entahlah, saya menyebutnya ‘fase istirahat dan instropeksi’. Di usia saya yang menanjaki 24 tahun, dan belum menyelesaikan tangggung jawab saya untuk menjadi sarjana pertama untuk keluarga saparuik saya, ditambah saya tidak begitu interest dengan dunia bisnis; dengan begitu mudahnya saya menyerahkan masa depan saya pada Mak Ongku. Toko dan segala isinya saya lepas. Saya merdeka, bebas dan bisa melakukan apa saja. Itu yang ada di kepala saya waktu itu. Saya mempunyai ruang yang lebih besar untuk melakukan apapun yang menjadi passion saya; menulis, casting, jadi full editor, meliput berita, dan hang out bersama teman-teman sebaya saya. 

Tapi ternyata Tuhan begitu pandai. Hasilnya tak seindah rencana saya pada awalnya. Saya menyebutnya ‘jatuh miskin tertimpa tangga’. Hahaha. Satu yang alpa saya pertimbangkan dari awal. Saya hanya menuruti keegoisan saya. Saya selalu melihat rumput di halaman kost-an teman-teman saya lebih hijau. Saya lupa siapa saya. Saya bodoh sekali waktu itu. 

Saya suka membanding-bandingkan hidup saya dengan Fandi, Doni, atau Ncus. Fandi bebas ke mana saja yang dia mau. Pun Doni dan Ncus. Jadi mereka itu sepertinya menyenangkan sekali. Tidak harus berpikir keras bisa makan apa tidak hari ini? Semester depan bisa bayar SPP apa tidak. Mereka hidup bersama Mama dan Papa mereka, yang sepastinya akan selalu meng-cover kebutuhan mereka. Mereka tinggal belajar yang baik, itu saja, kok. 

Ketika saya bersikeras ingin seperti teman-teman saya, dan Tuhan memberi jalan untuk itu, justru di saat itulah saya tersandung dan meraung kesakitan. Saya bukan Fandi, saya bukan Doni, saya berbeda. 

Dua hari yang lalu saya sungguh galau luar biasa. Sisa uang di dalam saku saya tinggal 4000 perak. Tidak lebih tidak kurang. Tapi saya tetap bersikap sok ‘kaya’ di hadapan teman-teman saya. Hahaha. Untuk bertahan hidup, saya mengemas beberapa pakaian saya dari ‘mantan’ toko saya di Bhayangkara dan menginap di rumah Etak di Cinanggung. Di sana saya bisa makan sepuasnya. Oh ya, saya lupa. Pertengahan Februari sepupu saya, Liza menjadi penyelamat saya waktu itu. Saya lagi di kampus, habis bimbingan Tugas Akhir. Kebetulan itu mungkin hari nahas bagi saya, saya lupa kalau saya telah jatuh miskin, sehingga sisa uang di saku saya tidak cukup untuk ongkos pulang ke Serang. Hahahaha. itu pengalaman paling gokil, yang membuat saya tersenyum sekaligus menganis sepanjang perjalanan Cilegon-Serang. 

Paket BIS saya masih aktif sampai akhir bulan, jadi masih bisa BBM-an. Dengan memutus paksa urat malu, saya mengirim pesan ke Neng dengan maksud meminjam uangnya 50.000. Entahlah, saat itu saya sudah tidak peduli reaksinya adik sepupu saya itu. Saya membutakan mata dan hati saya. Dan ajaibnya, Neng mau meminjamkan uangnya, dalam keadaan hujan deras, dia bela-belain transfer via teller di BRI di Jakarta ke rekening saya. Hahaha. Neng membuat saya terdiam dan berharap di tempat saya berdiri waktu itu hujan langsung turun dengan lebat. Biar tidak ada orang yang tahu mata saya basah dan saya bisa menangis sepuas hati saya. “Bang, uangnya udah neng transfer ya. Udah, gak usah diganti. Buat abang aja.” Dada saya bergemuruh, saya tidak mau begitu caranya, saya yang seharusnya memberi dia uang. Tapi... saya benar-benar merasa kalah. Tuhan, ampuni saya. 

Pun dua hari kemarin, Mak Dang mengirim pesan di inbox Facebook. Bertanya perihal tempat tinggal saya, perkembangan Tugas Akhir saya, juga tentang biaya hidup saya. Butuh lima menit buat saya membalas inbox Mak dang. Akhirnya saya katakan saya baik-baik saja, menginap di rumah Etek dan masih ada uang untuk sekadar transport ke Cilegon buat bimbingan. Nyatanya? Di saku saya hanya tersisa 15.000 (Sebanarnya masih cukup sih untuk bolak-balik Serang-Cilegon, waktu itu. Saya tidak bohon, kan?). 

Dan malam ini, 1 Maret 2013. Kak Irvan menghubungi saya, sebenarnya beliau juga sudah menghubungi minggu lalu untuk pengambilan honor liputan saya di Banten Muda. Kak Irvan menyebutnya ‘tabungan’. Tapi waktu itu saya menolak, toh saya belum genap satu bulan mengabdi untuk BMC. Ya, merasa belum pantas saja saya mengambilnya secepat itu. Ba’da magrib tadi, Kak Irvan kembali bertanya, “Kapan mau ambil tabungan?” Ini sudah Maret, saya masih canggung untuk mengambilnya, padahal saya sangat sangat sangat butuh! Hahaha. Inilah yang saya tidak suka dari diri saya. Tapi biarlah, ‘rasa malu’ ini adalah aset yang mungkin sangat membuat saya menderita, tapi sekaligus menyelamatkan saya. Terserah orang menilainya bagaimana. 

Saya menjanjikan besok (Sabtu) untuk mengambil tabungan di BMC. Tapi Kak Irvan menawarkan malam ini juga, kebetulan beliau tengah berada di basecamp Banten Muda. Mungkin ini rezeki saya, saya tadak mau lagi menolak. Hahaha. Saya buru-buru mandi dan berangkat dari Cinanggung ke kompleks KPPN berjalan kaki. Ah, sudah biasa. Hahaha. 

Sesampai di BMC, Kak Irvan menyambut saya dengan sangat – sangat – sangat di luar dugaan saya. Kami bercerita cukup lama; tentang ide, cita-cita, dan pengalaman hidup. Kemudian datang Kang Niduparas Erlang, obrolan semakin hangat. Ada semangat dalam setiap kata yang Kak Irvan dan Kang Nidu lontarkan. Saat itu saya hanya lebih banyak mendengarkan. 

Saya pulang, diantar Kak Irvan sampai Carrefour, dengan amplop yang berisi tabungan saya selama satu bulan di BMC. Saya tidak mau melihat isinya di jalan. Sasampai di rumah Etek, saya langsung masuk kamar karyawannya. Pelan-pelan, saya melepas lem amplop yang tadi diberikan Kak Irvan. Saya keluarkan ‘tabungan’ saya, arrrg! Saya tidak suka situasi ini. Saya sangat cengeng! 

Dengan uang masih di tangan, saya menyandarkan kepala saya di dinding sisi kiri tempat tidur. Menatap langit-langit kamar, lalu menyalakan kipas angis. Brengsek, kenapa saya selalu menangis ketika dijahatin orang, juga ketika dibaikin orang? Saya tidak menghitung berapa butir air mata saya yang jatuh. Yang jelas, ketika saya mengetik curcol tidak penting ini, keyboard netbook saya beberapa kali terkena tumpahan air kecengengan saya. Hahaha. 

Hfff... Februari telah berlalu. Dan galau pun harus segera disudahi. Yang pasti untuk satu bulan ke depan saya sudah ada jaminan untuk hidup. Mudah-mudahan royalty juga segera turun. Aamiin. Februari mengajarkan banyak hal pada saya.Tentang ketidakabadian, tentang hidup yang seperti roda-berputar, tentang perencaaan, hedonisme, hidup sederhana, kekuatan doa, the power of believe, serta janji-janji Tuhan bagi orang-orang yang bersabar. Hidup ini ajaib, Teman. Sangat sangat sangat ajaib! Saya baru saja melewati fase itu.

Ah, terima kasih Tuhan. Terima kasih Kak Irvan, terima kasih Kerio. (Setiap kali saya meng-update status galau saya di BBM, Rio pasti langsung memaki-maki saya dengan kata-kata yang seharusnya membuat saya menonjok dia. “Dodol! Bego! Cemen! Lemah! Bodoh!” Saya dikata-katai! Hahaha. Tapi itulah cara Rio membangunkan saya, dia bilang, “Lo itu harus dimarahi, gak bisa dinasihati dengan cara baik-baik. Bisa mati lo kalo lama-lama kayak gini terus! Ayo dong, saatnya percaya kalo diri lo tu keren, bodoh! Dodol lo ya! Galau mulu, mau mati lo? Nikmaitin hidup lo!” Saya cuma read dan membalasnya dengan emoticon ‘tonjok’. Hahaha.) Februari juga menunjukkan kepada saya bahwa antara teman, sahabat, dan saudara adalah 3 hal yang sangat berbeda. Saya ingin mengutip cerita Bang Saut Poltak Tambunan di Story 42, beliau bilang "... cerita tentang anak yang menangis karena tidak punya sepatu, lantas terdiam ketika melihat anak lain tak tak punya kaki." Saya tahu saya bukan yang paling buruk, tapi... saya yakin, cerita hidup saya ini setidaknya bisa membuat kalian tertawa. Setidaknya saya ingin memberi tahu bahwa antara pengusaha dan pekerja itu bagai langit dan bumi. Mau protes? Silakan, wong saya sudah melewati keduanya. Menghitung uang tiap hari sama menunggu uang sebulan sekali ya jelas berbeda. Hah! Betapa ajaib hidup ini.... 



Baca juga:

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Boleh saya bilang kalau saya mulai ngefans sama yang namanya Setiawan Chongah ???? ^_^

    BalasHapus
  2. Cungkriiiiiiiing! Gue kangen sama looooo.

    BalasHapus
  3. Tetap Semangat, kak Chogah..
    #sokakrab.. :D

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)