Alam Takambang Jadi Guru


Alam Takambang Jadi Guru


Kamis, 24 Januari 2013

Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya. Hari di mana saya memasuki babak baru dalam perburuan mimpi, angan, cita, dan passion. Ah, rasanya baru kemarin saya berani berteriak bahwa saya cinta menulis. Teriakan yang membuat saya terbangun dari mimpi-mimpi panjang, teriakan yang menjadi kekuatan saya untuk terus hidup memberi manfaat, paling tidak bagi diri saya sendiri. Juga teriakan yang mengusik orang-orang yang tertidur pulas, sehingga saya dihardik lebih keras dari teriakan saya. Hahaha. Demi Tuhan, saya jadi takut dan ngeri dengan dunia kepenulisan. 

Ya, inilah hidup. Ada hitam ada putih, ada sakit ada senang, ada luka ada betadine. Semua diciptakan berpasangan. Pun begitu dengan karir kepenulisan saya yang saya putuskan untuk pending sementara waktu. Saya butuh istirahat, butuh asupan energi. Butuh waktu untuk sendiri, berpikir lebih dalam, lebih jauh atas hidup yang saya pilih. Istirahat... Mungkin itu adalah alasan yang sangat klasik, walau kedengaranya lebih halus dari kata menyerah. Hk! Tapi soal mimpi saya sudah candu, tidak ada waktu untuk istirahat untuk bermimpi. Dalam keadaan tertidur sekalipun. 

Sudah saya ceritakan, dulu saya adalah orang yang gemar hidup dalam kegelisahan. Empat atau lima tahun terakhir. Ketakutan yang berlebihan akan hidup. Lucu, padahal ketakutan-ketakutan itu sungguh tidak beralasan. Saya takut tidak akan dapat pekerjaan yang layak dengan indeks prestasi yang jongkok. Hahaha. 

Saya jadi ingat dengan Petuah Ayah, kumpulan petuah seorang tokoh Minangkabau, Datuak Yus Parpatiah. Kira-kira beliau bilang begini, "Rumus yang dipakai mahasiswa; Tujuan kuliah adalah untuk jadi pegawai. Lulus kuliah, mereka sibuk menjajakan ijazah. Mengapa harus jadi pegawai, Nak? Mengapa tidak membuka usaha sendiri? Berwiraswasta dalam bahasa kalian. Kalian harus sanggup mandiri. Berdikari. Ingat perkataan Bung Karno, kesempatan itu bukan ditunggu, tapi diciptakan. Kalau hidup hanya menunggu, tak ada ubahnya kalian serupa laba-laba yang bersifat pasif. Sedangkan sifat pusaka orang Minang itu agresif, progresif, dan dinamis. Itu watak terun-temurun dari nenek moyang kita, sekarang kalian yang harus mewarisinya." 

Sebenarnya petuah di atas disampaikan dalam bahasa Minang. Kira-kira begitulah bunyinya ketika saya berusaha menerjemahkannya ke dalam bahasa nasional kita. Inti dari nasihat Datuak adalah usaha. Effort! Kegigihan untuk hidup. Beliau mencontohkan filosofi tumbuhan pakis. Pakis adalah tumbuhan yang mampu hidup di berbagai kondisi alam. Basah, lembab, kering, bahkan di media tanpa tanah sekalipun pakis mampu hidup layak. Ketika pakis dibabat, tapi selagi rumpun masih ada, dan menyatu dengan tanah, dalam waktu satu malam, pakis akan kembali bertunas, dan tumbuh subur satu minggu kemudian. Pakis bisa hidup di pohon, tapi tidak pernah jadi parasit. Ya, Datuak bilang, "Alam takambang jadi guru. Tirulah perjuangan pakis dalam memperjuangkan hidupnya."

Beberapa waktu yang lalu, saya diajak Bang Guntur Alam untuk hadir dalam acara Banten Muda Award 2012. Ajakan Abang saya iyakan, sebab ini adalah kesempatan saya untuk mengisi rublik News CeeS di majalah Story. Sekadar berita ringan di bidang sastra. Dari acara itulah saya kenal dengan ketua umum Banten Muda Community, Bapak Irvan Hq. Selepas acara, saya mengajukan permintaan pertemanan di Facebook kepada Bapak Irvan, dan beliau langsung meng-approve, kebelutulan saat itu beliau tengah online. Kami teribat dalam percakapan singkat. Di sana saya ceritakan tentang kehidupan saya. Tentang rencana setelah lulus kuliah nanti. Saya sempat bercerita pada Pak Irvan tentang beberapa pengalaman menulis, editor, juga pemateri dalam pelatihan menulis. Saya katakan juga bahwa saya tengah menyusun tugas akhir saya dan untuk mengisi kekosongan waktu yang hanya saya manfaatkan untuk membaca, saya butuh pekerjaan. Pak Irvan meminta CV dan profil singkat saya. Beliau menjanjikan akan memberi kabar dua atau tiga hari setelahnya. Saya sangat apresiasif sekaligus kagum dengan keramahan dan sifat beliau yang membumi. Beberapa hari setelahnya saya masih suka membaca ulang riwayat percakapan saya dengan Pak Irvan. Beliau selalu menyertakan kata 'Adik Setiawan yang baik'. Hah, kok ada orang yang sudah menjadi besar seperti beliau masih down to eart? Low profile. 

Mungkin ini yang disebut pucuk dicinta ulam pun tiba. Sumur digali air datang. Pak Irvan tahu saya suka menulis. Dalam inbox setelah perkenalan singkat, beliau memberikan ketujutan pada saya. Beliau mengajak saya untuk bergabung di Banten Muda. Padahal ini jauh dari perkiraan saya sebelumnya. Awalnya saya hanya meminta pak Irvan mencarikan saya pekerjaan sebagai juru ketik atau pramusaji di restoran milik kenalan beliau. Ya... apapun, saya akan kerjakan itu. Berdiam di toko sungguh bukan passion saya. Pikiran-pikiran liar saya seperti dipenjara. Saya butuh bergerah. paling tidak butuh suasana baru. 

Gayung bersambut, ajakan beliau saya terima. Dan tadi siang, kami bertemu di food court Mall of Serang, menerima inventaris, kartu pers, dan sedikit wejangan dari Pak Irvan mengenai tugas saya di Banten Muda. 

Hmmm, hidup ini ajaib. Benar kata Datuak, tidak ada kata menyerah dalam hidup. Manusia harus bertanggung jawab pada hidup yang diberikan Tuhan. Tuhan telah memberikan berbagai pilihan, dan manusia diciptakan dengan nafsu, akal, dan nurani. Gunakanlah ketiga pemberian Tuhan itu untuk memilih pilihan yang ada. Pakis saja begitu gigih memperjuangkan hidupnya, lantas kalian yang manusia mengapa harus menyerah? Pertanyaan Datuak itu seperti tamparan halus tapi begitu membekas di otak saya. 

Terima kasih... Terima kasih buat kalian yang menjadi guru kehidupan saya. Terima kasih. :))

Nuhun Pak Irvan, kameranya canggih! :)) Semoga saya bisa amanah dengan tugas mulia ini. Amin.

Baca juga:

Posting Komentar

1 Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)