Nama Saya Setiawan Chogah

Nama Saya Setiawan Chogah
Saya Pengin Jadi Artis

Nama saya Setiawan Chogah. Sebenarnya itu bukan nama asli pemberian kedua orangtua saya. Tapi nama itu menjadi sangat keramat semenjak saya menggantung cita untuk jadi artis tiga tahun silam. Artis? Yaa, saya memang terlahir sebagai laki-laki narsis. Lebih tepatnya ‘tidak tahu malu’, waktu itu. Dengan body yang jauh dari kategori atletis, tampang pas-pasan, dan bakat entertainer level kampung, saya membawa mimpi jadi artis ke belantara Kota Jakarta pertengahan tahun 2009. Tahun dimana saya masih begitu asing dengan hiruk-pikuk kota paling barat pulau Jawa ini, Kota Serang. 

Kala itu saya remaja kampung yang lugu, 19 tahun, baru lulus Sekolah Menengah Atas di Sumatra Barat. Darah merantau itu ternyata memang ada dalam tubuh setiap lelaki Minang. Pun begitu dengan saya, dengan tekad keluar dari kesunyian kampung, saya mengikuti tes SNMPTN dengan memilih universitas di luar Pulau Sumatra.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya larut dalam haru biru ketika dinyatakan lulus di sebuah universitas negri di Provinsi Banten. Itu juga menjadi titik awal saya menggeliat bersama mimpi. Mimpi jadi artis. Yang ada di bayangan saya kala itu adalah kemegahan ibukota yang selama ini hanya bisa ditangkap retina saya melalui slide-slide singkat di kotak ajaib, televisi 14 inch, satu-satunya barang berharga yang mampu dibeli ibu. Saya akan bertemu dengan Olga, Luna Maya, Raffi Ahmad, dan selebriti lainnya, yang sebenarnya menjadi alasan terbesar saya untuk kekeuh meninggalkan Ranah Minang dan datang ke Jakarta. Olga Syahputra! Ah, bicara soal Olga, saya selalu ikut termewek-mewek begitu mengikuti perjalanan kariernya di jagad hiburan. Olga mengajarkan saya tentang arti perjuangan hidup. Tidak ada yang mustahil! Olga telah membuktikannya. Dan saya ingin seperti dia. 

Satu tahun keberadaan saya di Banten, saya baru sadar ternyata mewujudkan mimpi tak semudah membalikkan telapak tangan. Bayangan saya tentang Jakarta jauh panggang dari api. Banten mengunci langkah saya, hanya hanya mampu melangkah di lingkaran Kota Serang, dan Serang bukanlah Jakarta! 

Tapi memang dasar saya orang yang bebal, dan barangkali Tuhan tahu itu, dan ingin menghibur saya. Kala itu, suatu sore saya membaca sebuah majalah di fotokopi tempat saya bekerja part time sepulang kuliah. Di sana terpampang iklan pencarian bintang berbakat untuk model dan pemain sinetron. Saya seperti menemukan oase di tengah kehausan yang belum terobati. Tanpa pikir panjang, dengan sejuta harap yang membah, saya melengkapi semua persyaratan yang tercantum di iklan itu. Foto diri; wajah tampak depan, tampak samping, dan seluruh badan. Itu kali pertamanya saya berfoto di studio. Alamak! Benar-benar kamseupay! 

Satu minggu berselang. Dada saya benar-benar dibuat menggelembung, tangan saya bergetar hebat dan pipi yang tiba-tiba terasa panas ketika menerima surat dari management yang mengadakan event pencarian model itu. Saya diundang untuk datang dan audisi di Jakarta. Yaa Tuhan, saat itu saya benar-benar norak. Saya sujud syukur di tempat kerja saya, membuat teman satu profesi saya ikut larut dalam haru yang tengah menyelimuti saya. Saat itu saya berpikir, mimpi saya tinggal satu langkah lagi. Jadi artis! 

Mei 2010. Akhirnya anak kampung ini berhasil menginjak tanah Jakarta. Dengan ditemani teman satu kampus, saya datang ke Jakarta setelah sebelumnya menumpang menginap di rumah saudara teman saya di daerah Duren Sawit. Pagi-pagi sekali saya dan Arlius, teman saya itu sudah berada di Kopaja, lalu Transjakarta. Ai! Saya naik busway! 

Mata saya tak henti menangkap gedung-gedung pencakar langit yang dulu hanya saya saksikan di televisi. Audisi itu diadakan di Jakarta City Centre, belakang Grand Indonesia. Kenorakan saya kembali terulang ketika kami naik lift. Jujur saya akui, itu adalah pertama kalinya saya masuk lemari berjalan itu. 

Sampailah pada saat-saat paling menegangkan. Setiap peserta dipanggil untuk menampilkan bakat dan kemampuan meraka di hadapan juri dan pengunjung mall. Tekad saya sudah bulat! Saya harus tampil secara total. Kesempatan tidak datang dua kali. Selangkah lagi, saya akan jadi artis. Wajah saya akan tampil di tivi, majalah, berbalut pakaian dengan model paling up to date. Ah, bermimpi memang paling mudah! Gratis pula. 

Saya telah menampilkan apa saya saya bisa, saya merasa saya berbakat jadi pemain sinetron. Semua pertanyaan juri saya jawab dengan penuh percaya diri. Layaknya dalam ajang Idol-idolan di tivi itu. 

Dua minggu pasca audisi, saya kembali ke rutinitas sebagai mahasiswa dan karyawan fotokopi. Suatu siang, saya kembali dibuat menggelinjang ketika menerima amplop yang di dalamnya berisi lembar jawaban nasib saya. Bening berpendar, tangis haru tak mampu lagi saya tahan ketika saya dinyatakan lolos ke tahap Grand Final dan harus mengikuti karantina selama satu minggu di Jakarta. 

Tapi tenyata Tuhan berencana lain. Tangis haru berganti dengan airmata kekecewaan. Saya tidak bisa ikut karantina, itu artinya saya mundur sebelum bertarung di Grand Final. Tabungan saya tidak cukup untuk biaya selama karantina dan pembelian kostum saat Grand Final. Satu juta tujuh ratus ribu rupiah! Ya, jumlah rupiah itu membuat mimpi saya harus pending. Saat itu bertepatan dengan pembayaran SPP kuliah, dan dengan pertimbangan yang berat saya memilih untuk fokus pada kuliah saya. 

Berat! Sangat berat menerima kenyataan ketika langkah saya harus terhenti sampai di situ. Saya galau luar biasa. Saat itulah Tuhan kembali menghibur saya. Kekecewaan dan kegalauan saya luapkan ke dalam lembar-lembar buku harian saya, saya tulis di blog saya, saya jadikan cerpen. 

Cerpen! Hk, rencana Tuhan memang tidak bisa ditebak, Teman. Saya menemukan kenikmatan dari menulis cerpen. Sampai sada suatu saat cerpen saya dimuat oleh majalah remaja ibukota. Bibaca oleh orang se Indonesia. Olala! Entahlah, saya memang narsis, dan barangkali pengakuan saya ini adalah satu dari bentuk kenarsisan saya. Cerpen di majalah fiksi remaja itu membuat saya bagai selebritis. Permintaan pertemanan di Facebook membludak. Banyak yang mengomentari cerpen saya itu. Saya jadi tergila-gila dengan menulis cerpen. Sampai pada titik saya diundang untuk menjadi pemateri dalam pelatihan menulis dan hadir di pertemuan-pertemuan sastra. Dimintai tanda tangan dan foto bareng pembaca. Gara-gara menulis juga saya bisa hadir di Ubud Writer and Reader Festival 2012. Ah, Bali! Tidak ada di bayangan saya kalau suatu hari akan menginjakkan kaki di Pulau Dewata itu. 

Tak mau puas menulis cerpen, saya mencoba menjadi kontributor untuk media. Menulis laporan event, liputan, juga menerima slide job sebagai editor naskah. Menulis membuat saya kaya akan teman. Teman saya jadi ada di mana-mana. Ketika saya ke Bandung, Solo, Jogja, juga Bali, saya punya ‘saudara’ yang siap menampung saya. 

Saya benar-benar mencintai dunia yang bertolak belakang dengan theoretical backround saya sebagai mahasiswa Teknik Industri. Oh ya, saat ini saya tengah berada di semester akhir masa kuliah saya, dan semoga sebentar lagi jadi sarjana pertama di keluarga besar saya. Wisuda? Saya jadi berpikir, wisuda bearti gerbang mimpi lama akan kembali terbuka. Ya, saya masih pengin jadi artis. 





Baca juga:

Posting Komentar

3 Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)