Kepada Za #2 Persahabatan, Impian, Cita-Cita, dan Cinta!

Kepada Za #2 

Persahabatan, Impian, Cita-Cita, dan Cinta! 


Pasca Natal, 26 Des 2012

Za... Kemarin itu Natal. Menurutmu, Natal itu apa, Za? Hahaha, aku sudah tahu jawabanmu. Kau pasti akan menjawab, Natal adalah hari rayanya orang Nasrani. Ya ya ya... jawaban kita sama, Za. Dulu, sewaktu masih di Batusangkar, Natal bagiku menakutkan. Di otakku, orang-orang Nasrani itu harus dijauhi, sebab mereka makan babi. Kedengarannya mungkin rasis ya, Za? Tapi itu kata-kataku paling jujur. 

Namun Serang mengubah semuanya. Tepatnya Banten. Nasrani itu tidak jahat, seperti yang aku bayangkan dulu. Teman-temanku banyak yang Nasrani, bahkan kami sangat akrab. Aku menghormati kepercayaan mereka, juga mereka sebaliknya, mengingatkan aku untuk shalat. Kemarin, teman-temanku itu merayakan hari raya mereka, lalu aku mengucapkan Selamat Natal. Berdosakah aku, Za? Ah, dosa atau tidak, biar Tuhan yang memutuskan.


Za... Satu hari sebelum Natal aku dan kawan-kawan karibku sesama angkatan 08, kami mengunjungi Anyer. Sakadar membuang suntuk, paling tidak mengulang kembali kenangan kami di awal-awal masa kuliah dulu. Indah, Za. Indah nian. Aku meneriaki pantai, mengubur diri di pasir, juga menjilat asinnya air laut. Melihat pantai, aku merasa betapa kecilnya diriku ini.

Di Anyer, sengaja aku mengasingkan diri, mencipta jarak dari kawan-kawanku, sekitar satu jam. Aku melumat kesendirianku. Mencumbui sepi... Aku ukir aksana nama dia di pasir, juga namaku. Lalu ombak berebutan menghapusnya. Hahaha, aku tertawa, Za. Ombak saja tidak rela aku dan dia bersatu. Bagaimana kamu, orangtuaku, juga Tuhan?

Za... aku mencintainya dengan sangat!

Aku percaya, Za. Cinta itu anugerah yang agung. Semua orang percaya itu. Lalu mengapa cintaku tidak? Hahaha, orang-orang itu lucu, juga dirimu. Aku mencintainya saja, ya... sangat mencintainya. Terkadang, aku ingin terbang, melayang di awan, Za. Hanya ada aku dan dia. Lalu mengajukan protes pada Tuhan, mengapa cinta dititipkan padaku, sementara aku tidak bisa menikmati cinta? Mengapa? 

Soal cinta... tak usah lagi kita bahas, ya, Za. Cinta membuat aku sakit. Aku selalu tak berdaya setiap kali berhadapan dengan cinta. Setan!

Oh ya, Za. Walau aku sering sakit oleh cinta, adakalanya cinta berbaik hati padaku. Cintaku dengan Ridho dan Ruddi. Soal Ridho mungkin kau sudah pernah mendengarnya dariku, soal Ruddi? Baiklah, aku urai satu-satu. 

Ridho dan Ruddi adalah dua sahabatku paling hebat, Za. Tentu aku tidak sembarangan menyebut demikian. Aku mengenal mereka di Februari 2006. Tepat di bulan ketiga setelah aku melewati fase paling brengsek dalam hidupku. Fase yang hampir saja membuat aku durhaka seumur hidup, dan mati  bergelimang dosa. Tapi Tuhan punya rencana lain untukku. Dia mengirimku pada Ridho, juga Ruddi. Mengirimku ke Agam Cendekia.

Tahun pertama kami sebatas kenal, satu sekolah. Hanya itu. Tahun kedua, kami makin akrab. Seperti ada persamaan, di antara banyak perbedaan, yang membuat kami saling menguatkan. Terlebih Ridho, dia orang yang sangat baik untuk ukuran seorang teman. 

Aku, Ridho, dan Ruddi pernah mengikrar janji di ujung sore. Kami bertiga, 10 tahun setelah pengikraran janji itu, akan kembali bertemu dengan memegang impian kami di tangan masing-masing. Hahaha. Janji itu disaksikan puncak lawang, dan direkam oleh beningnya Maninjau. Aku menjadi penulis, Ridho kaya raya dengan bakat analisisnya yang tajam, juga Ruddi akan meroket dengan jiwa seninya yang kental. Sejatinya kami sama-sama berjiwa sastrawan. Baik aku, Ridho, juga Ruddi sama-sama suka menulis cerpen. Kau sudah baca kan, Za? Buku kumpulan cerpen kami bertiga, Orang Bunian. Cerpen-cerpen yang kami tulis sewaktu SMA. Nama penaku Ammar Fahri kala itu, Ridho memakai nama Vee, dan Ruddi tetap bangga dengan nama Nefid-nya. Hahaha, di saat belum mahir menyusun kata menjadi kalimat indah, kami sudah berani mencipta nama pena. Gokil!

Cover Kumcer Orang Bunian
Za, sebentar lagi akan memasuki tahun ketujuh persahabatan kami. Waktu yang lama. Analogikan persahabatan kami adalah sebuah janin, tentu kini janin itu sudah lincah berlari, juga sudah pandai mengeja hidup. Sepanjang masa itu, begitu banyak cerita yang kami ukir di prasasti hati masing-masing. Aku ceritakan, khusus untukmu, sebuah kisah yang paling haru dalam perjalanan persahabatan kami bertiga.

Saat itu ba'da Ashar, di Asrama Hijau, Agam Cendekia. Aku mendatangi kamar Ruddi, ada Ridho di sana. Ridho termasuk orang yang serius. Jarang-jarang dia mau 'gila', kecuali dengan orang-orang tertentu saja. Lain hal dengan aku dan Ruddi. Kami dilahirkan untuk 'gila'. Kami bisa tertawa kehabisan suara, hanya ketika membahas hal yang sebenarnya tidak lucu untuk ditertawakan. Hahaha, aneh kan, Za. Tapi itulah kami.

Entah mengapa, sore itu, lirik-lirik Di Pondok Kecil berlompatan dari mulutku, lalu disambung oleh Ruddi. Kau tahu bagaimana liriknya, Za? Begini; 

... Di pondok kecil di pantai ombak
Berbuih putih beralun-alun

Di suatu hari ayah berkata
Jaga adikmu ayahkan pergi jauh
Kupandang wajah ayah dahinya kucium
Airmata mengalir hatiku pilu

Diam-diamlah sayang jangan menangis
Doakan ayah semoga diterima
Diam adikku sayang jangan menangis
Andai ayah gugur doakan dia syahid...


Lirik yang semula kami nyanyikan dengan mimik gembira, berubah ketika Ridho bermuram durja. Ridho terisak, Za. Dia menangis, membenam wajahnya ke bantal. Ah, aku dan Ruddi saling menatap, canggung, panik, takut, dan rasa bersalah menyerbu serentak. Tak satu kata pun yang mampu lagi berlompatan. Diam adalah pilihan terbaik saat itu. 

Aku menepuk pundak Ridho, hal yang sama pun dilakukan Ruddi. Kami memeluknya. Tak ada yang mengajarkan kami saling memeluk, Za. Apalagi Agam Cendekia sekolah semi militer. Lelaki berpelukan tentu sangat tidak lucu. Hahaha, saat itu hanya hati yang menuntun kami. Naluriku mengatakan, "Tenangkan sahabatmu! Peluklah dia! Sibaklah dukanya, dan selimuti dia dengan rasa gembira. Buat dia merasa memilikumu." Hanya itu, Za. Sampai saat ini pun Ridho tidak pernah bercerita mengapa dia menangis? Tangis pertama yang aku lihat dari sahabat jeniusku itu. Juga tangis terakhir selama kami bersahabat. 

Hari-hari berlalu, bulan berganti, tahun pun tak lagi bisa dikembalikan. Dia melaju seperti umur, semakin tua. Ridho tetap nyaman dengan sifat setiakawannya, mengajakarkanku materi Matematika yang menjijikkan itu; tentang persamaan kuadrat, limit, ah entah apa lagi namanya, Za. Aku tak ingin mengingatnya. Ridho tetap menjadi kebanggan sekolah; utusan di olimpiade mata pelajaran Matematika, juga Fisika. Dan selalu juara. Aku bangga punya sahabat seperti Ridho, Za. Bangga sekali...

Sedang Ruddi tetap romantis dengan suara emasnya. Menebar pesona di acara-acara nashid, memukau perempuan-peremuan jelita, adik kelas kami di acara muhadharoh, Minggu pagi. Tapi Ruddi tak terampil bermain cinta, Za. Hahaha, kami para ikhwan, yang berprinsip pacaran itu haram! Kala itu... Ruddi menang dianugerahi bakat luar biasa. Darah seni mengalir di tubuh tinggi dan tegapnya. Ruddi menjadi murid kesayangan Bu Ita, guru kesenian di sekolah kami. 

Lalu kau tentu bertanya, bagaimana denganku? Hahaha, aku terlalu biasa, Za. Tak ada yang spesial dari seorang Ammar Fahri kala itu. Aku membawa mimpi ke mana-mana. Ke lab komputer, membujuk teman-temanku untuk mengetikkan cerpenku di komputer mereka, cerpen-cerpen cemen yang aku tulis di double folio. Aku ini gaptek, Za. Mengetik satu paragraf saja bisa-bisa aku menghabiskan setengah dari jam pelajaran kami. Hahaha... 

Aku juga pernah membujuk Pak Samiak, penjaga sekolah kami untuk meminjamkan komputer di ruang multimedia padaku. Aku dan Erick khusuk di sana. Aku yang mengdikte, Erick yang mengetik. Hasilnya? Belum ada...

Seharusnya Ridho dan Ruddi malu berteman denganku. Aku ini tipe orang yang minimalis, Za. Minim prestasi! Hahaha... tapi Tuhan membaca kesedihanku. Hingga pada suatu Senin Dia membuat pipiku bersemu merah. Cerpen pertamaku terbit di P'Mails Padang Ekspres. Cerpen yang mebuat aku tak lagi malu berteman dengan kedua sahabat juaraku itu... 

Za, jangan kau kira persahabatanku dengan Ridho dan Ruddi lancar bebas hambatan. Kami pernah tidak bersapa. Tak tanggung-tanggung, Za. Kami menyebutnya baganyie, pundung dalam bahasa di kotamu. Purikan orang-orang menyebutnya di sini. Aku juga yang salah. AKu terlalu menganggap Ridho malaikat yang tak akan pernah marah. Candaku kelewatan kala itu. Aku men-jendul kepala Ridho. Kau tahu, Za. Ridho itu ketua OSIS. Lalu aku menjeldulnya. Hahaha, bisa kau ramal apa yang terjadi selanjutnya...

Aku tak saling sapa hampir satu tahun lamanya. Ya... Satu tahun, Za. Beku itu kembali cair di penghujung kami akan lulus. Hahaha, menyiksa, Za! Aku tersiksa. Dan aku yakin, Ridho pun begitu. Sedangkan Ruddi tak berkutik menjembatani kami untuk kembali 'rujuk'. Kautahu kan, Za, aku ini melankolis yang super egois. Hahaha... 

Aku sering bermenung kala sendiri, mengenang Ridho. Dan buang muka ketika berpasasan Ridho sepulang dari masjid, atau pletonku dan pleton Ridho bertemu di jalan dari asrama menuju sekolah. Aku teringat buah anggur di bawah bantalku. Ibu (ibunya Ridho) sering ke Bukittinggi, dari Pasaman. Dan itu melewati sekolah kami. Setiap dari Bukittinggi, Ibu menitipkan makanan, juga buah buat Ridho di pos penjaga. Salah satunya anggur. Dan kau tahu, Za? Setiap aku menemukan anggur di bawah bantalku sepulang dari masjid, bearti itu kerjaannya Ridho. Anggur-anggur itu pun pasti juga ada di bawah bantalnya Ruddi. Hahaha, kami suka terpingkal ketika mengurai ini kembali, saat aku mengunjungi Ridho di UI. Saat kami sudah berstatus mahasiswa. 

Za, Ridho itu orang baik. Sangat baik. Entah mengapa, Za. Seandainya... *Izinkan aku berandai-andai, Tuhan*, seandainya aku kehilangan semua yang aku punya saat ini. Barangkali Ridho-lah tempat aku mengadu, dan menggantungkan hidupku pada dia. Seperti itu, Za... Seperti itu...

Ridho bukan saja teman untuk tertawa terpingkal-pingkal, juga Ruddi. Sesibuk apapun seorang Ridho, ketika aku mengirim SMS padanya, harus ke Depok saat itu juga, seorang Ridho belum pernah berkata 'tidak, jangan, gue nggak bisa, nginep di tempat lain aja, kontrakan gue udah penuh, gue pusing nih, gue lagi sibuk...' Tak pernah, Za. Padahal aku tahu, Ridho pernah sibuk dan pusing ketika itu. Aku ada acara di Engineering Centre UI. Ridho memaksaku simulasi presentasi di depannya, tapi aku menolak, Ridho mengantarkanku ke tempat acara, juga menjemputku dari acara, setelah acara selesai. Hahaha... Maaf, dr...

Ada kisah yang tak kalah lucu, lucu menurut orang-orang, tapi heroik menurutku. Kau sudah tahu, Za. Di awal-awal aku kuliah, caranya tak mudah. Aku seperti badut konyol di kampusku. Hahaha, jiwa sastra terperangkap di sangkar engineer. Aku berniat mundur ketika itu. Aku berada di fase galau akut sebagai mahasiswa. Sungguh tak tertahankan lagi, Za. Aku sudah persiapkan semuanya, soal pengunduran diriku dari kampus teknik. Cerita itu ada di harddisk orang Telkomsel, aku menelepon Ridho berjam-jam. Juga ada di harddisk milik Yahoo. Ruddi yang saat itu sudah di Amerika pun aku kabari lewat e-mail. Itu awal-wal aku tahu tentang e-mail, Za. Hahaha...

Kautahu apa kata Ridho padaku saat itu? *Sebentar, aku mau mengambil tissue, hahaha* Aku ingin tes SNMPTN lagi, tak bisa tidak! Ridho tak berkutik, dia hanya menyuruhku mengambil UI. Biar kami bisa satu universitas. Hahaha, UI, Za! UI... Mau dibayar pakai daun singkong?

Saat itu Ridho berkata padaku, "Ambil UI aja, dr. Nanti uang kuliah bisa saya bantu. Kita cari beasiswa buat dr, atau beasiswa saya dr yang pakai, kuliah saya kan bisa dari uang yang dikirim ibu..." 

Aku diam, Za. Aku kaku. Aku malu...

Aku tidak jadi mundur. Kuliahku tetap berjalan. Dan aku masih mahasiswa. Ah, Za. Berat nian melepas status ini. Tugas Akhirku jalan di tempat. Hahaha. Tertawalah, Za. Sebab kejujuran yang satu ini memang layak untuk ditertawakan. 

Ridho kini sudah bekerja di salah satu bank swasta milik Malaysia. Sedang Ruddi sudah kembali ke tanah air, dan kini bekerja di Trans Corp. Dan aku... Aku masih menyanyangimu. Jaga kesehatan! 





Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar