Kepada Za #1; Tentang Dia & Lelaki Penjual Sandal


Kepada Za #1
Tentang Dia & Lelaki Penjual Sandal



Serang, Desember tinggal 10

Za, lagi apa? Di sini masih kuyup. Kotaku diserbu hujan dari semalam. Bagaimana dengan kotamu? Ini adalah hari ke delapanbelas setelah genap satu tahun aku mencurangimu. Maafkan aku, Za.

Semalam aku tidak tidur di toko. Toko sengaja aku serahkan pada Afdal, adikku. Biar dia belajar tantang tanggung jawab. Biar dia tahu kalau membahagiakan ibu bukan tanggunganku sepenuhnya. Selama ini dia terlalu bebas, Za. Selalu cuci tangan setiap kali aku membuka percakapan atas nama ibu. Padahal berkali-kali telah aku jelaskan pada dia, umurnya tak lagi kanak-kanak. Dia dua tahun di bawahku. Aku benar, kan, Za?

Pagi-pagi sekali aku membuka mata. Serang selalu tidak nyaman untuk bangun kesiangan. Gerah, Za! Tentu kau tahu itu. Padahal semalam aku masih sakit. Seperti yang aku ceritakan di BBM beberapa malam sebelumnya, ketika kau bertanya perihal personal message-ku yang tak biasa, juga display picture-ku yang memakai foto crying boy. Hahaha, aku malu mengurai kisah sebenarnya. Tapi aku butuh teman bicara. Tak ada yang mau mengerti posisiku saat itu, juga saat ini. Cerita sendu itu aku telan sendirian, lalu kau terlanjur bertanya. Baiklah, akan lebih baik kau tahu kondisiku, bukan? Sebab, aku menyayangimu, walaupun aku tahu kau sudah berlelaki lain.

Za... Tepat satu tahun delapanbelas hari yang lalu, aku berkenalan dengan dia. Dia sillent reader-ku, katanya. Setidaknya itu yang dia beritahu waktu tanya menyambung perkenalan kami. Dia tahu cerpen-cerpenku yang pernah dimuat Story. Hahaha, aku bangga mengetahui itu, Za. Sangat wajar, bukan? 

Dia seseorang yang baik, kala itu. Sangat baik. Hampir saban hari kami bercerita. Awalnya biasa, tentang kegiatanku, tentang pekerjaan dia. Lalu kami terlibat berdebatan tentang penulis idola, sampai suatu ketika dia tuturkan tentang percintaannya. Aku pun begitu. Ah, sial bagiku, Za. Tepat di bulan ke enam, aku mencurangi persahabatan kami. Aku diam-diam menyukainya, merindukannya ketika dia menghilang dan tak pernah lagi mengirim pesan singkat ke ponselku. 

Rindu itu tumbuh subur, beranak pinak, dan menjalar kian ke mari. Aku sesak. Rindu mengambil ruang begitu besar, aku melupakanmu. Maafkan aku, Za. Petaka pun terjadi. Aku terdesak. Serbuan rindu bertubi-tubi, dan aku pun menyerah. 

Satu minggu yang lalu, kota masih kuyup kala itu, aku baru pulang dari peliputan Banten Muda Award di Ratu Bidakara, ponselku berkedip-kedip. BBM dari dia. Lalu tumpahlah semua rindu, luber. Aku tak mampu lagi membendungnya. Lidahku terlalu lacur saat itu. Aku menyatakan cinta pada dia.

Dia memaafkan kekurangajaranku. Dan kami masih berteman, namun semenjak itu sepi menguasai. Tak ada lagi tawa atau emoticon 'tonjok, tampar, tendang, dan jendul' di BBM. Juga tak ada lagi PING!!! yang menggelitik. Dinasti bungkam baru saja berkuasa di sini. Aku turun tahta dan jatuh sakit. Tinggal menunggu menunggu hari kematian...

Ingin mati rasanya, Za. Dua hari dua malam aku menjelma menjadi lelaki airmata. Hahaha, kau tentu tertawa mengetahui ini. Itulah sebabnya, status BBM-ku tercecap aneh di lidahmu, juga avatarku yang memajang gambar cengeng itu, bermula dari cerita bodoh itu.

Pagi ini aku ingin membasuh luka. Sengaja aku tinggalkan ranjang lebih awal. Mencuci muka denganfacial foam punyanya Arif, karyawan Ante. Aku menjerit, meneriaki anjing dan babi ketika tak sengaja menyentuh dua butir jerawat sialan, yang dua hari ini mengambil jatah di area kekuasaan kumisku. Perih, Za! Aku benci sekali dengan jerawat. Perihal anjing dan babi janganlah kau tanya. Akhir-akhir ini aku terampil sekali merapal nama kedua binatang itu. Mereka tidak salah sebenarnya, akulah yang salah. Aku lagi kesakitan, Za... Cinta membuat aku sakit. 

Aku meninggalkan Cinanggung, melangkah ke arah Ciceri. Aku sebenarnya tidak tahu arah dan tujuanku. Aku mengikuti langkah kakiku saja. Berhadapan dengan Mc' D Serang, aku berbelok ke Sudirman. Beberapa tukang ojek memanggilku, menawarkan jasanya. Aku tolak dengan sebuah gelengan. Aku lagi tidak mau naik ojek, pun angkutan kota. Aku juga malas naik motor. Oh ya, Za, aku kembali berani membawa motor, setelah trauma berkepanjangan itu melumpuhkan keberanianku. Aku malu denganmu. Konyol rasanya, setelah kita menikah nanti, aku harus rela kehilangan moment indah; berdua denganmu di atas motor, sekadar mengabiskan sore sembari menunggu anak-anak kita pulang mengaji, atau mengantarkanmu belanja keperluan rumah tangga kita ke Hypermart. Soal maut, biarlah itu urusan Tuhan. Aku yakin, Za. Almarhum Abang pun tak ingin melihatku terkurung dalam penjara trauma seperti itu. 

Za, ada Erlang... Sahabatku datang ke toko. Aku pending dulu kisah ini, nanti aku lanjutkan.

Za, di sini masih hujan. Bagaimana kotamu? Jangan terkena hujan, Za! Aku tidak mau kau sakit... 

***

Serang masih hujan...

Hai Za, maaf tadi aku pergi lama. Erlang tiba-tiba datang ke toko dan bercerita banyak hal. Sepeninggal Erlang, Kusnadi juga tiba membawa semangkuk cerita yang harus aku santap. Kelak, aku akan ceritakan perihal Erlang dan Kusnadi padamu, mereka berdua adalah sahabatku. 

Tadi pagi aku benar-benar ingin mengosongkan hati, Za. Mengosongkannya dari sandera rindu yang menyesak hingga ke dada. Aku benci rindu ini. Aku muak! Bulan-bulan ini aku bukan diriku, kan, Za? Ah, kau pasti dapat merasakan itu. Dia mengubahku diam-diam. Mengubahku menjadi pesakitan seperti saat ini...

Za, aku ingin menguburnya, membunuh kenanganku tentang dia. Aku ingin ziarah ke makamnya, Za. Tapi aku tak ingin dia mati, sebab aku begitu mencintainya. Mencintainya dengan berlebihan. Oh, aku bodoh nian!

Tapi ini sudah tekadku, Za. Penderitaan ini harus segera dihentikan, sebelum aku benar-benar tinggal jasad. Langkahku merambat pelan sepanjang Sudirman. Sudah aku katakan aku sedang tidak mau naik angkutan kota. Sepertiga perjalanan sebelum Panancangan, matahari tiba-tiba menyembul. Hahaha, Serang kota yang aneh. Hujan dan kerontang suka mempermainkan orang-orang di sini. 

Aku menjatuhkan bokong tipisku di bangku halte Walikota, persis berseberangan dengan kampus IAIN. Entah angin apa yang membawaku sampai di sini. Deru kendaraan mengusik sepi yang sengaja aku cipta. Beberapa pengemis dan pejalan kaki lewat di depanku. Aku tak terusik, aku khusuk denganHujan di Bawah Bantal-nya E.L Hadiansyah, novel yang dua hari ini mencuri hari-hariku untuk memikirkan dia. Ah, siapa bilang? Pengarang itu begitu lihai mengoyak kenanganku tentang kau, Za. Ya... tentang kita.

Di menit ke duapuluh, aku tak tahu persis pada detik ke berapa, seseorang mengganggu kekhusukkanku. Aku menoleh sejurus, seorang bapak-bapak, Za. Aku menangkap kilap keringat di jidat dan lehernya. Juga dadanya yang kembang-kempis. Panas dan lelah ternyata begitu membuat dia menderita. Lelaki tua itu duduk beberapa jengkal dariku. Aroma keringatnya menguar. Sebenarnya aku tak ambil pusing dengan kehadirannya di sampingku itu. Bukankah halte adalah tempat umum, Za? Aku mengalihkan perhatian ke layar ponselku yang berkedip dari tadi, tapi aku biarkan. Dua pesan singkat dan satu notifikasi BBM. Aku klik icon amplop di layar ponselku. SMS dari ibu, balasan dari ucapan Selamat Hari Ibu yang aku kirim tadi subuh, satu lagi dari Ridho. Kau tahu Ridho kan, Za? Hahaha, setiap orang yang dekat denganku harus tahu Ridho, Za. Itu salah satu syarat untuk menjadi sahabatku. Ridho adalah sahabat juara satu yang pernah aku punya. Tak ada yang bisa menandingi kesetiakawanannya sampai saat ini. Ridho yang pernah menyelamatkan aku di fase sekarat dalam hidupku dulu, Za. Kelak, akan aku kisahkan juga perihal kebaikan apa yang telah diperbuat Ridho sampai membuat aku begitu berani memilihnya setelah keluargaku, ketika aku dipaksa harus memilih. 

Tapi akhirnya sikap masa bodohku mengalah juga. Aku terganggu dengan irama napasnya, juga aroma keringatnya, pun begitu dengan wajah lelahnya. Oh, Zahara, dia sukses menabur benih tanya di otakku, lalu tumbuh dengan subur.

Lelaki itu, Za, dia penjual sandal keliling. Aku tiba-tiba didera rasa gelisah. Dia berhasil membawa wajah ayah ke hadapanku. Za... tiba-tiba aku teringat ayah...

Empatiku membuncah. Aku bukan orang yang sangat baik, Za, tapi aku pernah belajar tentang kebaikan. Aku ingin mengajak lelaki tua itu berbicara, tapi apa? Aku masih menjelma patung, sementara otakku begitu ramai. Mencari-cari alasan, aku harus membeli sepasang sandalnya, Za. Harus! Tapi untuk apa? Sandalku sudah banyak. Hahaha, sudah aku katakan "dia" telah mengubahku menjadi aku yang lain, Za. Aku kini hedonis, dan shopping menjadi candu. Setan! 

Persetanlah, Za. Aku ingin membeli sandal lelaki itu. Kalaupun nanti tidak aku pakai, pasti tetap berguna di toko. Aku mendekati tas besar berisi sandalnya. Aku membunuh diam yang dari tadi terlalu lancang datang tanpa permisi. 

"Berapaan nih, Mang?"

"Limabelas, Dek."

Aku mengambil satu sandal, memakaikannya ke kakiku.

"Nomor 42, Mang, ada nggak?"

Lelaki itu sibuk mencari-cari. "Gak kuliah, Dek?" dia membuka tanya pertamanya.

"Libur, Pak."

"Kuliah di mana?"

"Untirta..."

Dia menatapku sejenak. Seperti terusik dengan nama kampus yang aku sebut. "Anak saya juga di Untirta, jurusan Akuntansi, semester 7. Adek semester berapa?"

Aku tersedak. Ya, aku kaget, Za. Aku perhatikan tubuh tua di hadapanku, yang tengah sibuk memilih sandal dengan ukuran permintaanku. Mencuat rasa kagum yang tak kuasa aku tahan. Aku tersenyum takjub. Za, kamu tahu? Aku menaruh hormat pada sosok di depanku. Diam-diam. Keringat itu... aroma kecut itu... dan napas tersengal itu... Ah, aku terburu-buru membuang bening yang tiba-tiba berpendar. Tak tahu malu. Hahaha, ah, Za... Aku berdosa pada lelaki itu...

Cerita mengalir panjang lebar, dari biaya SPP kuliah anak kesayangannya, sampai pada kisah mengapa dia sampai berjualan sandal keliling kota. Hujan dan panas bukan lagi persoalan, untuk anak yang kelak akan menebus kesakitannya. Aku menangkap rona bangga di wajahnya, Za, ketika dia bercerita tentang anaknya yang baru pulang study tour ke Bali dan Yogya. Aku kira, rona bangga yang sama akan terlukis di wajah ayah ketika aku pulang dengan titel sarjanaku kelak. Doakan aku, Za... 

Limabelas menit kami mengurai kisah, dan aku telah menemukan sandal yang pas dengan ukuran kakiku. Lelaki itu pamit. Dan kau tahu, Za, satu langkah dia meninggalkan posisiku berdiri mencoba sandalnya, dia mengucapkan kalimat keramat yang tepat menabrak gendang telingaku. Pecah! 

"Ayo selesaikan kuliahnya, Dek! Sukseslah yaa... Jadi orang! Jangan kayak bapak..." kalimat yang ditutup dengan sebuah senyum tulus, lalu tubuh lelaki itu lambat laun mengecil dari pandanganku.

Ah, Za. Sampai ketika catatan ini aku tulis, pesan itu masing terngiang, bahkan sangat jelas. Sabar ya, Za. Tahun ini 'sampah' yang terlanjur aku buat akan segera aku kemasi, lalu aku akan menebus janjiku, datang ke kotamu. 

Ponselku berkedip. SMS dari Erlang. Sudah dulu ya, Za. Aku mau menemui Erlang dulu... Kau jaga kesehatan. Bawalah payung ke manapun pergi, hujan suka datang tiba-tiba di sini, pasti pun begitu di kotamu. Dan doakan juga, sakitku segera sembuh.

Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar