Jadilah Laki-Laki, Bukan Maki-Maki



Jadilah Laki-Laki, Bukan Maki-Maki


Aku baru menyadari kehadirannya di suatu acara pelatihanku. Dia yang telah lebih dulu muncul dengan cerpennya di majalahku dan malahan mengikuti pelatihanku berikutnya dan berikutnya. Ah ya, aku ingat dia yang paling banyak bertanya. Aku tak pernah menghitungnya, tapi kemudian kami menjadi kerap bertemu di beberapa acara penulisan atau launching buku. Entah bagaimana tiba-tiba dia menjadi sahabatku. 

Kami memulainya dengan sapa, diskusi dan akhirnya curhatan. Dia begitu menyukai literasi dan tak ingin hanya sekadar bisa menulis fiksi.

"Aku pingin jadi penulis. Gak cuma cerpen doang. Tapi yang lainnya. Kira-kira, bisa gak ya?" itu kalimatnya. Kerap dia datang di mana saja aku mengajar. Kerap dia simak, apa saja yg aku celotehkan. Aneh, dia sudah "jadi" tapi kenapa masih mau ikuti pelatihan-pelatihanku? 

"Aku senang denger Mbak ngajar atau liat cara Mbak ngajar," ujarnya. Dan aku yakin dia sangat suka membaca. Pernah dia ceritakan tentang tumpukan buku di kamarnya dan dia tidak tahu bagaimana menyusun atau mengaturnya. "Selagi duit ada, buku nomor satu. Soalnya aku bisa pelajjari tulisan di dalamnya."

Dia ceria, ramah, meledak-ledak dan norak... juga mellow! 

Kurasa dia bungsu. Ternyata bukan. Dan berkaca mataku ketika dengan semangat dan cerianya dia ceritakan tentang adik, Mak, saudara dan juga dirinya.

"Aku harus jadi orang berhasil. Aku harus kaya. Miskin itu gak enak! Aku mau Mak bahagia."

Kau tahu, dia 23 saat itu, ketika dia berani bilang, "Mbak jangan hanya ngeluh, tapi bangkit. Tak ada yang dihasilkan dari keluhan selain kecewa yang bertambah." 

Aku tahu aku berhadapan dengan anak muda yang gigih, keras tapi juga manis. Dia tak akan membiarkanmu menangis sendiri, jika kau sahabatnya. Tapi dia akan membiarkanmu tersedu jika kau musuhnya. Namun kelapangan dan kematangannya mulai terpupuk. Saat beberapa hari lalu dia berteriak, "Aku butuh sibuuk...," dan dia nikmati hari-harinya dengan keringatnya sendiri. "Juga untuk Mak dan adik," katanya.

Ahh... entah bagaimana, kisah mengalir dan kami bagai kakak beradik. Aku dan dia punya kesamaan; keras dan bicara ngawur. Tak apa, selagi hanya untuk kami. Dan... dia semakin matang. Tak lupa pada Mak dan adik. Tak lupa pada tempat di mana dia berasal. Bersyukur dengan keringatnya, dan menjulang dengan tulisan-tulisannya. Aku bangga padanya. Selamat ulang tahun, adikku.

24 sangatlah muda. Tetapi bukan berarti hanya menunggu dan diam. Bergerak dan mencari pencapaian diri, apapun. 

"Mau jadi reporter, editor, direktur.... apa ajaaaa yang penting berguna. Mbaak, aku mau punya aktivitas apapun."

Ah, tak perlu berteriak karena aku tahu kau akan mencarinya dengan optimismu. Jadilah laki-laki. Bukan maki-maki. Matanglah dan rahmat bersamamu.

2 Desember 2012. 24:00


Aku hanya diam, dan itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Aku seperti kembali menyaksikan slide-slide perkenalan kami, menjadi akrab, lalu bagai kakak dan adik. Ah, lebih tepatnya dia sudah seperti ibuku sendiri. Dari "rahim"-nya aku pernah lahir... Terimakasih Bunda. Tanpamu, aku bukan apa-apa.
Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar