Lelaki Nangis = Banci atau Homo


Lelaki Nangis = Banci atau Homo

Saya suka heran dengan diri saya. Saya orang yang tidak pernah bisa belajar dari kesalahan, maksud saya belajar dari kesialan-kesialan yang saya alami sebelumnya. Apapun itu, entah kehilangan pulpen, buku, hand out materi presentasi, sampai pada penderitaan yang ditimbulkan akibat kebodohan saya dalam bercinta. 

Ho-oh! Bercinta. Saya jadi benci dengan kata cinta. Entah itu cinta pada pacar, sahabat, atau barang-barang kecintaan saya. Salah satu dari cinta itu  membuat saya begitu terpuruk dalam dua hari ini. Saya jadi begitu terampil meratapi penderitaan saya. Kata-kata nelangsa berlompatan, merutuk diri sembari berkaca di cermin besar lemari pakaian saya. Setelah itu... palingan saya menangis. Ho-oh! Saya menangis. Lelaki menangis? Hey! Memangnya kau pikir hati lelaki terbuat dari bongkahan baja?

Sebelumnya saya memang mengfatwa haram bagi lelaki untuk menangis. Waktu fatwa itu saya ciptakan mungkin posisi saya tengah berada di zona normal. Orang-orang meratap di status Facebook tentang pacarnya yang kabur, tentang cintanya yang ditolak, sementara saya yang hanya membaca bisa-bisanya tertawa sembari berbisik licik, “Jibang! Hari gini masih mewek gara-gara cinta. Ngotorin beranda FB gue aja lu, rimuf neh! Lu tu cowok apa banci siy?” 

Saya egois sekali, ya, jadi manusia? 

Tapi dua hari yang lalu, ketika Amerika mencatat sejarah dengan terpilihnya kembali Om Obama sebagai presiden, pun saya mencatat sejarah kembali terisak-isak sesugukan menjelang ulang tahun saya yang ke 24 tahun! Saya jadi ingat, sudah lama sekali saya tidak menangis. Dan di gerbang magrib, 6 November 2012 pukul 5.36 semua ego itu lumer. Saya melangggar fatwa saya sendiri. Saya menangis sejadi-jadinya. Walau sebenarnya saya tidak mau menangis, saya malu pada lingga saya, saya malu pada jenis kelamin saya. Saya ini laki-laki! Saya menjadi mewek ketika saya mengalami sendiri, bukan sekadar merasakan. 

Dalam keadaan mata bengkak saya mengirim BBM pada Mbak Erin. Saya suka sekali bercerita dengan perempuan yang dipanggil “Bunda” oleh pembaca majalah yang diasuhnya itu. 

Saya: Mbak. Aku lagi hancur, nih. Pengin nangis. Kalo cowok nangis itu banci nggak sih, Mbak? (sebenarnya BBM saya lebih lebay dari ini, saya menggambarkan kalau saya seperti tak lagi mampu berdiri, kesusahan bernapas). 

Mbak Erin: Huaa, dikau sedang patah hati? Adikku... Ayo menangislah banyak-banyak, sepuasnya. Habiskan airmatamu, habiskan! Ketika airmatamu habis, dadamu yang sesak perlahan akan memberi celah untuk masuknya udara baru. Menangislah. Air mata milik semua orang... juga lelaki. 

Saya setuju! Airmata adalah milik semua orang. Lalu menangislah saya sepanjang malam, sampai paginya mata saya bengkak. *bodo amat* 

Perihal mengapa saya menangis, saya kasih clue-nya sedikit. Seperti yang saya katakan tadi, saya ini bodoh dan tidak pernah bisa belajar dari kebodohan itu *betapa bodohnya, kan, saya?* Saya baru saja kehilangan sahabat terbaik yang pernah saya punya *itu menurut saya sekarang* Semua sahabat saya adalah terbaik dengan kadar dan komposisi kebaikannya masing-masing. Tapi beberapa bulan semenjak saat berkenalan dengan seseorang yang kebetulan pembaca majalah yang kebetulan dia pernah membaca cerpen saya dan kebetulan juga obrolan kami langsung nyambung. 

Entah kebetulan atau bukan, dari perkenalan itu tiba-tiba saja kami menjadi akrab, sangat akrab. Saya masih ingat *dan pastinya tidak akan pernah lupa*, sepanjang Januari 2012 sampai Juni 2012 dia rajin sekali menyapa saya di chatroom Fesbuk, terkadang melalui SMS, pernah juga dia menelepon saya. Obrolan kami awalnya biasa saja, seputar perkembangan dunia kepenulisan, tentang penulis idola dia, idola saya, lalu mengalami perkembangan tentang pekerjaan kami, bisnis, dan hal-hal paling pribadi di antara kami (tentang keluarga dan percintaan). 

Saya menganggapnya lebih dari sekadar teman, begitupun dengan dia. Kami sudah seperti saudara walau tak sedarah. Dia selalu mengabari apapun pada saya, dia baru dihianati pacarnya, dia resign dari pekerjaannya, dia berlibur ke Bandung, kehilangan ponsel. Saya senang menjadi pendengar yang baik untuk dia. Memberi solusi semampu saya. Awalnya hanya seperti itu. 

Hingga suatu hari dia pindah ke Jakarta. Seharusnya kami makin dekat. Tapi, mungkin karena kesibukan dia, komunikasi di antara kami menjadi tidak lagi seintens dulu. Ya, walau masih berkabar melalui SMS, paling dia hanya menjawab dengan kata-kata yang sudah bisa saya tebak sebelum bertanya. “Ya, Nggak, Apa? Maksudnya? Hahahaa. Gak juga kok. Oooh” Hk! Saya tidak lagi menyukai pribadinya yang sekarang. 

Tapi bersahabatan kami tetap bertahan, sampai saya mengganti ponsel lama dengan Blackberry, komunikasi kami tetap berjalan. Saya menyempatkan diri untuk mengingatkan dia makan siang, saya tahu dia bermasalah dengan lambung. Lama-lama itu menjadi kebiasaan, sama halnya ketika saya menyebut nama dia dalam doa-doa saya lima kali sehari, setelah nama ayah, ibu, keluarga, dan guru-guru saya.

Kami pun pernah ketemuan di Jakarta, saat saya ada kegiatan peliputan di ibukota yang tidak pernah membuat kita kangen untuk kembali mengunjunginya. Sampai pada satu titik yang tidak pernah saya duga akan menjadi puncak persahabatan kami. Saat dia tengah pusing dengan pekerjaan kantornya, dan saya yang galau dengan tugas akhir dan bisnis saya; mungkin kami sama-sama butuh waktu untuk sendiri, tak mau diganggu. Sore itu dia mengirim pesan di BBM. Saya menanggapi seadanya, saya akui, saya lagi penuh. Obrolannya menjadi tidak menarik untuk saya tanggapi. Sampai dia jenuh sendiri, dan satu kata pamungkas yang membuat semuanya berakhir. Dia mendelete saya dari BBM contact, Fesbuk saya diblokir. Saya kaget luar biasa. Saya mengirim SMS bertubi-tubi meminta penjelasan, tepatnya meminta maaf kalau saya ada salah. 

Dia tidak lagi mebalas SMS saya. Gila! Saya sering kali kehilangan, tapi kehilangan dengan cara begini baru kali ini saya alami, walau itu sama-sama kehilangan, tapi mengapa saya menjadi begitu tidak mampu untuk menyikapinya dengan biasa? Mengapa saya merasa begitu bebal untuk mendengar nasihat-nasihat teman saya? 

Persahabatan saya dan dia memang tidak bisa. Bahkan teman-teman saya bilang kami seperti orang pacaran. Heih! Saya bukan homo! Saya hanya terlalu menganggap dia sahabat yang kenal saya dengan baik, yang tahu saya orangnya seperti apa. Itu saja. 

Dan caranya memutuskan semua yang sudah menjadi kebiasaan saya dan dia sungguh membuat saya menjadi asing. Itu yang membuat saya jadi hobi bersedih dalam dua hari ini. 

Sore tadi, si Ncus, sahabat saya datang ke toko saya. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk bercurhat ria dengan dengan dia. Saya paksa dia mendengarkan keluhan-keluhan saya. tentang ketidakadilan yang saya rasakan dua hari ini. Tentang saya yang kehabisan energi dan lupa bagaimananya caranya berdiri tegak. Juga tentang hobi baru saya yang menangis. 

Ncus tidak bilang apa-apa selain satu kalimat yang membuat saya ingin segera mengusirnya. “Laki-laki itu kudu tegar, Coy! Laki-laki nangis itu kalau gak banci bearti homo.” 

“Koplak! Gue bukan banci!” 

“Bearti lu homo!” 

“Ah, nggak manfaat curhat sama lu. Udah, pulang sanah!” 

Hahahaa. Hari ini saya sudah tidak secemen dua hari yang lalu. Ncus ada benarnya juga, lelaki harus kuat, tapi bukan bearti haram untuk menangis, kan? Buktinya setelah saya menuruti kata hati, juga saran Mbak Erin kemaren, saya merasakan kelegaan di dada saya, juga mata saya yang capek, saya jadi berpikir, hidup saya akan terus berjalan dengan atau tanpa sahabat terbaik saya yang baru saya pergi (untuk sementara). Ya, saya berkeyakinan, suatu hari nanti, saya dan dia akan bertemu lagi. Masih banyak janji-janji yang belum sempat saya bayar, juga janji-janji dia pada saya. Salah satunya ini: 


Bye, and see you again, Brader. Kebiasaan mengirim BBM pengingat makan siang mungkin akan hilang, tapi kebiasaan menyebut nama lu lima kali sehari dalam doa-doa gue, Insya Allah akan terus berlangsung. 

Baca juga:

Posting Komentar

3 Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)