27 atau 30?


27 atau 30?

12 September 2012

Malam ini saya jadi berpikir lebih dalam tentang hidup saya. Entahlah…. Saya seperti hidup dalam sebuah pusaran angin, dan kesulitan sekali untuk mencari celah yang bisa saya gunakan untuk keluar. Saya merasa dunia saya menjadi begitu sempit. Saya bagai dipasung layaknya seorang pendosa.

Hfff… saat ini saya sudah 23 tahun, menuju angka 24. Lagi-lagi saya tercenung cukup lama ketika angka itu menyelinap masuk ke ruang pikiran saya. 24 bukanlah usia yang masih muda buat saya. Alm kakek saya di usia itu sudah mempunyai keturunan dua atau tiga orang. Saya tidak tahu persis, sebab rupa muka kakek saja saya tidak sempat melihatnya.

Sementara saya, ibarat seekor anak ayam, paruh saya masih terlalu lunak untuk mematuk sebutir padi. Beberapa malam yang lalu saya bercerita banyak dengan ibu. Banyak sekali. Tentang renovasi warung kami yang kini menjadi tumpuan hidup ibu dan dua adik saya di kampung, tentang kebun karet yang dijual pada Tek Len agar proses renovasi cepat selesai. Oh, Lebaran kemaren saya sempat diajak duduk bersama, musyawarah keluarga di rumah kaum kami. Mak Dang, Mak Enek, dan Niniak Mamak meminta pertimbangan saya sekiranya kebun karet peninggalan ayah itu diserahkan saja pada Tek Len, adik perempuan ibu yang kini merintis usaha fotokopi di Bengkulu. Saya setuju, dengan pertimbangan daripada kebun itu dijual pada orang lain, semetara Tek Len dan suaminya bersedia untuk membantu. Toh, Tek Len masih keluarga saya juga. Lagipula, sangat sulit rasanya bila kebun itu saya pertahankan karena probabilitas saya untuk hidup di kampung sudah semakin kecil. Tak hanya itu, mengurus kebun bukanlah passion saya, kalaupun dipaksakan, tentulah saya akan menjadi seorang pengurus yang buruk.

Obrolan kami berlanjut pada masalah kuliah saya. Saya katakan kalau saya akan berusaha bulan Mei tahun depan saya sudah bisa wisuda. Seperti biasa ibu hanya tersenyum, saya tahu persis, sebab ada beberapa jedah, ibu diam di telepon.

Lalu, sebuah pembicaraan paling langka itu pun terjadi. Saya katakan pada ibu kalau saya sudah bekerja part time sebagai editor naskah, juga sudah bisa fokus mengelola toko yang dulu diurus oleh adik saya, namun sayang, dia menyerah. Ini semester ke sembilan bagi saya, dari 24 SKS yang dijatah saya hanya mengambil delapannya saja. Satu mata kuliah pilihan, gara-gara nilai saya E di sebuah MKP semester lalu. Otomatis semester ini saya wajib mengambil penggantinya. Sisanya saya habiskan untuk TA dan seminar. Ya… semester ini dada saya terasa sedikit lebih lapang dan saya bisa bernapas lebih lega dari biasanya. Saya mendengar ibu mengucap syukur. Saya juga katakan kalau gaji pertama saya sudah cair di awal September lalu. Awalnya sudah saya niatkan untuk dikirim saja buat ibu, juga ayah yang belakangan ini sulit sekali mendapatkan pekerjaan. Tapi diluar kendali saya, ada kebutuhan yang lebih urgent yang harus saya tebus. Monitor komputer saya tiba-tiba tidak bisa berfungsi, sementara satu minggu sebelumya saya sudah terlanjur membeli sebuah printer untuk cetak foto dan printing. Kalau dihitung-hitung harganya memang di atas standar, tapi tidak apa-apa, kalau usaha ini berjalan lancar saya optimis dalam beberapa bulan sudah bisa balik modal. Toh saya juga tengah butuh printer untuk mencetak draf laporan tugas akhir saya. Dengan alasan itu, mengirimkan gaji pertama untuk ibu saya tangguhkan, dalam hati saya niatkan uang yang awalnya saya anggarkan untuk ibu dan ayah saya simpan di LED monitor yang mau-tidak mau harus saya beli.

Ibu bilang tidak apa-apa. Bahkan beliau mengatakan tidak usah. Pendapatan dari warung masih cukup untuk sekadar makan dan biaya sekolah Rafli. Lalu saya sempatkan untuk menggoda ibu, “Bu, sebentar lagi Di mau lulus, nih. Sudah siap punya menantu, kan?” tanya saya sembari menahan tawa. Ibu terkekeh. Lalu obrolan itu berlalu begitu saja, sebab itu bukanlah sesuatu yang serius menurut saya. Terlalu dini membicarakan hal ini pada ibu, lewat telepon pula.

Akhir-akhir ini saya memang berubah menjadi lebih materialistis. Oh bukan, mungkin lebih tepatnya mencoba lebih realistis memandang hidup. Saya mencoba menekan sisi hedonis di diri saya, kalau bisa membabatnya sampai tuntas. Tapi itu tidak mungkin, saya masih suka mendengar bisikan-bisikan halus di telinga saya, “Stttt! kamu masih muda, belum saatnya memikirkan hal-hal yang belum seharusnya kamu pikirkan. Ayo, sekarang saatnya bersenang-senang!” Heih! Itu sangat tidak mungkin. Seperti yang saya katakan tadi, 24 bukanlah usia untuk hura-hura lagi. Saya jadi teringat obrolan saya dengan monyet beberapa bulan lalu. Waktu itu saya ada acara di kampus UI Depok, dan kebetulan monyet adalah mahasiswa UI. Saya menginap di kontrakan dia. Monyet bertanya perihal rencana saya dalam 5 tahun ke depan. Saya hanya menyungging senyum. Pertanyaan monyet terlalu serius saya pikir. Jangankan 5 tahun ke depan, satu bulan ke depan saja saya tidak mau memikirkannya, waktu itu.

Tapi ternyata monyet menang telak. Obrolannya itu sukses menggangu pikiran saya akhir-akhir ini. Menikah! Ya… saya sudah targetkan, bahkan print out-nya masih tertempel di dinding kamar saya kalau saya akan menikah di usia 27 tahun. Itu hanya planning. Lalu ketika setiap hari saya melihat print out itu, secara sengaja atau kebetulan, beban pikran saya menjadi sedikit lebih berat. Angka 27 itu tinggal 3 tahun lagi. Well, anggap tahun depan saya bisa lulus dan mengantongi gelar sarjana teknik, saya hanya punya waktu dua tahun untuk mempersiapkan niat sakral itu. Kalau seandainya Tuhan memuluskan niat saya, saya menjadi berpikir lagi, 2 tahun rasanya sangat mustahil bagi saya untuk mencapai comfort zone dengan kemerdekaan secara finansial. Saya tidak mau istri saya *heih!* marah-marah lantaran saya tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga saya kelak. Saya juga tidak ingin anak-anak saya terlantar kebutuhannya. Makannya, gizinya, pendidikannya. Ah, pusing!

Tiba-tiba saya menjadi takut menatap ke depan. Hidup setelah ini rasanya begitu menyeramkan. Saya mencoba mengutak-atik tombol kalkulator tua di toko saya. Saya hitung-hitung pendapatan saya selama satu bulan. Lalu saya coba berdiskusi ringan dengan bapak tukang ojek yang sering mengantar saya ke pintu tol Serang Timur saat saya masih aktif kuliah dulu tentang biaya hidup dalam sebuah rumah tangga. Saya juga terlibat dalam obrolan panjang dengan Ridwan, sahabat saya lulusan Biologi yang kini merintis usaha rumah makan di samping toko saya. Ah, mengapa saya menjadi begitu serius? Hahahaa. Bahkan setiap customer yang saya kenal saya ajak bicara dan perpendapat tentang modal mendirikan sebuah rumah tangga. Yang lebih lucu lagi, saya sempat-sempatnya mengorek informasi tentang gaji seorang pegawai perusahaan swasta dari Mas Kerio, saudara saya di dunia maya. Ya, sempat juga muncul niat untuk bekerja sebagai pegawai kantoran setelah saya lulus nanti. Tapi hasil kalkulasi saya tetap mengatakan kalau itu belum cukup. Hahahaa.

Kesimpulannya adalah, bias. Yaa, masih sangat bias. Sepertinya saya harus mencopot print out angka 27 di dinding saya itu, lalu menggantinya menjadi angka 30. What? Apa 30 tahun tidak terlalu tua untuk menjadi seorang ayah? I don’t know, boro-boro memikirkan nikah, calon perempuan yang bersedia untuk saya nikahi saja sampai saat ini saya belum punya. Hidup ini lucu, jadi tertawa sajalah. :D


Berdikari, Serang-Banten - di saat saya galau dengan naskah labil abege ini. :))
Baca juga:

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Kegalauan ini sama seperti yang saya rasakan

    BalasHapus
  2. insya Allah pasti bisa nyet, just do the best with what you have!!

    BalasHapus
  3. @Anonim

    Nyett? Ini eluuu? Amiiin. :D

    Parah luu, wisuda gak bilang-bilang. Udah gak dianggap nih gue?

    BalasHapus
  4. Ternyata pikiran cowok itu begitu ya?
    Kalo cewek yang berpikir menikah di usia 27 or 30 apa kabarnya dunia ini ya?
    Hmm ... pokoke selamat berjuang!

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)