Mas, Dibayar Berapa? Hah!


Mas, Dibayar Berapa? Hah!

Saya akan sangat menentang ketika ada yang bilang “Laki-laki yang menulis diary adalah banci”. Untungnya sampai saat ini belum ada orang yang terang-terangan mengatakan fitnah itu kepada saya. Hehehe. Yaps! Tentu saja saya menolak dikatakan banci. Heih! yang bilang saya banci siapa? Tapi saya suka menulis diary! *Ah, ribet.

Well, dari SD saya suka sekali menuliskan perasaan saya ke atas kertas, apa yang saya lihat, atau impian-impian saya, atau juga barang-barang yang ingin saya beli. Semuanya saya catat. Saya masih ingat, kelas 5 SD saya baru kenal yang namanya buku harian. Lucunya, buku harian pertama saya berwarna biru dengan gambar bunga dan cewek cantik berambut panjang di sampulnya. Duuuuh, manis sekali! Di sana saya tuliskan bagaimana saya menyukai teman satu kelas saya. Namanya Purnama Sari.

Dia teman sepermainan saya di kampung, tubuhnya mungil dan rambut sebahu yang hitam mengkilap. Kami sering pulang sekolah bersama-sama, atau berangkat mengaji ke surau, juga sama-sama. Saya semakin tertarik untuk semakin dekat dengan dia. Beberapa kali saya pernah mengirimkannya surat, menyatakan perasaan saya, saya katakan kalau saya telah jatuh cinta. Hah? Jatuh cinta? Ohh, jatuh cinta itu indah sekali. Membayangkan wajahnya di setiap kali saya mau tidur, lalu berharap bisa bertemu dia di dalam mimpi saya, atau berangan-angan sekiranya besok pagi saya bisa berangkat ke sekolah sama dia. Heeem. Tapi itu dulu. Saya berharap semoga Purnama Sari segera menemukan jodohnya. Heheeee.

Kebiasaan menulis diary berlanjut sampai SMP. Saya jatuh cinta lagi, kali ini dengan cewek yang dulunya kami beda SD. Namanya Dita. Lagi-lagi cewek mungil. Entah mengapa saya suka sekali jatuh cinta dengan cewek bertubuh mungil. Heh? Jatuh cinta lagi? Hahahaa. Tapi dasarnya saja saya study oriented, saya tidak berani mengungkapkan perasaan saya sama Dita lantaran waktu itu saya menjadi siswa kesayangan guru BK. Dia bilang saya gak boleh pacaran. Lalu jadilah saya jomblo akut selama kelas tujuh. Kelas delapan, lagi-lagi saya menyukai teman satu kelas, mungil? Ohh tentu! Namanya Syafrina. Hahaaaa. Ada cerita lucu antara saya dan Syafrina. Waktu itu saya sudah susun rencana untuk nembak dia di belakang kelas. Ya, saya tidak tahu mengapa belakang kelas selalu menjadi tempat paling starategis buat nembak cewek di sekolah saya waktu itu? Lalu apa yang terjadi? Ternyata teman satu geng saya juga menyukai Rina. Waks! Alhasil saya mengalah dan memendam rasa cinta saya sampai kami lulus.

Cerita tentang cewek-cewek itu masih saya simpan sampai sekarang, di buku diary. Belum lagi kisah tentang Selvi, Ranti, Mutia, juga Anna. Yaaa, memang sudah nasib, walau pernah beberapa kali jatuh cinta, tapi saya tetap tidak berpengalaman dengan yang namanya pacaran. Mungkin karma, tapi saya berpositif thinking aja, barangkali Tuhan pengen saya berhasil nembak cewek saat saya benar-benar sudah siap untuk menikahi dia. Cieelaa. Haahaaa.

Tapi sekarang saya tahu, kalau kegemaran saya menuliskan semua cerita hidup saya dalam buku harian sangat menentukan diri saya saat ini. Saya tidak tahu namanya apa? Yang jelas, saya sangat menyukai dunia saya yang sekarang. Saya suka menulis, bagi saya menulis itu seperti terapi jiwa. Sebuah istilah yang saya tidak tahu beberapa tahun yang lalu. Saya baru sadar, ternya menulis mampu mengobati luka hati saya saat cinta saya gagal berlabuh di hari cewek-cewek yang sebut di atas. Uyyeah!

Begitulah, sekarang, saat saya dipercaya untuk mengisi sebuah acara kepenulisan, atau saya diminta untuk menceritakan proses kreatif saya dalam menulis, saya selalu meminta mereka untuk menulis diary.

Minggu lalu, saya diundang oleh KNPI Kecamatan Citangkil untuk menjadi pemateri dalam workshop menulis di gedung Bappeda Kota Cilegon. Saya tidak pernah membayangkan kalau hidup saya akan mengalir seperti ini. Saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi pembicara ataupun motivator. Hidup saya sangat berliku, dan tidak mungkin saya bisa menyemangati orang lain dengan hidup saya yang seperti itu. Mimpi saya pengen jadi artis! Itu tok! Tapi Tuhan ternyata punya rencana berbeda dengan keinginan saya. Saya hanya bisa berucap sukur atas pilihan hidup yang Dia berika pada saya.

Saya sempat kaget ketika hadir di gedung Bappeda jauh sebelum acara dimulai. Suasana gedung masih kosong melompong, belum ada sesiapa. Tapi apa yang terjadi dalam beberapa menit setelahnya sungguh membuat saya merinding. Sekitar 120an pelajar se-Kec. Citangkil (berdasarkan info yang saya dapatkan) hadir memenuhi gedung. Hahaaaa. Ya, mau gimana lagi, saya terlanjur meng-iyakan untuk bersedia menjadi pembicara. Saat itu saya berpikir, hari ini saya bertanggung jawab untuk hidup mereka. Saya langsung berdoa, “Ya Allah, kalau memang Engkau menginginkan hamba untuk memberikan mereka semangat, maka ridhoilah.” 

Satu hal yang membuat saya terkaget-kaget. Beda sekali dengan beberapa acara pelatihan yang pernah saya isi, seperti di Cisata-Pandeglang, sekolah yang pertama kali meminta saya untuk sharing tentang pengalaman menulis, atau di Cisadane, ketika Yayasan Cendol mempercayakan saya untuk menjadi salah satu pemateri di samping Putra Gara yang notabene saat saya masih dalam proses pembuahan, dia sudah lalang melintang di dunia kepenulisan, atau juga saat saya diminta untuk hadir di acara talkshow Stasiun Menulis di Fakultas Teknik Universitas Indonesia beberapa waktu lalu; acara kali ini berbeda sekali dengan semua itu. Selain peserta yang tiga kali lebih banyak, di sini sebelum acara memulai MC meminta peserta untuk berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Oh Tuhaaan, sudah empat tahun bibir ini tidak lagi bergetar ketika melantunkan syair ajaib itu. Sungguh, saya merinding minta ampun.

Acara pun dimulai. Dengan menyebut nama Allah, saya berkoar-koar. Saya mencoba membuat suasana sehangat mungkin. Meminta peserta untuk berdoa, lalu meneriakkan kata “Bismillah, Saya Pasti Bisa! Bismillah, Saya Pasti Bisa!” gedung Bappeda seperti dibuat pekak dengan teriakan 120 pemuda Cilegon. Huh hah!

Di menit-menit selanjutnya saya sampaikan beberapa cerita tokoh yang berhasil mengubah dunia lewat tulisan. Saya lihat mereka menikmati saat saya bercerita, atau mereka mengira saya tengah mendongeng? Entahlah yaaa. Heeeehee. Lalu saya pancing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan menggelitik, seperti tadi ke sini naik apa? Kok mau datang ke sini? Sudah pernah jatuh cinta? Aduuh! Saya senang melihat mereka tertawa. Saya pikir saya sukses membuat mereka tidak mengantuk di saat saya lagi butuh perhatian.

Semua pengalaman saya selama menulis, saya beberkan, saya tidak mau memberikan teori si A ataupun si B. Saya takut, ketika mereka meminta saya untuk menceritakan lebih jauh saya akan kalang kabut. Tapi ketika saya menceritakan bagaimana saya menulis, sampai subuh saya ladenin. Hahahahhaa.

Ohya, sudah kebiasaan saya, dalam beberapa kali mengisi acara pelatihan, saya menyempatkan diri untuk untuk mampir ke toko buku atau toko serba 6000. Sekedar membeli beberapa diary, pulpen, atau barang-barang yang menurut saya lucu. Barang-barang itu saya gunakan untuk menghargai mereka yang berani tampil ke depan dan bercerita. Uhah! Cara ini saya adopsi dari Mbak Reni Erina. Sungguh, perempuan mungil itu benar-benar menginspirasi saya. Entah perasaan saya atau bukan, Mbak Erin berbeda dari beberapa perempuan yang pernah saya kenal. Mbak Erin itu orangnya bersahabat sekali dengan semua orang. Mbak Erin itu kalau mengajarkan saya suatu hal, dia seperti bercerita, bukan menggurui, bukan tengah pamer eksistensi dia di dunia menulis. Itu yang saya suka dari cara dia berkata-kata. sangat-sangat-sangat menyenangkan. Saya ngefans dengan dia.

Saya suka tidak enak hati ketika di akhir acara ada peserta yang mendatangi saya. Untuk minta poto bareng? Ohh, tentu saja saya sangat senang. Minta tanda tangan? Hooh, mauuu banget! Itung-itung saya belajar membiasakan diri jikalau suatu saat nanti impian saya jadi artis dikabulkan Tuhan. Amiiin. Hihihiiii. Tapi kedatangan mereka adalah untuk meminta sesuatu kenang-kenangan dari saya. Mereka bilang, mereka sangat ingin mengabadikan barang pemberian saya. Haduuuh, coba saja saya ini orang kaya. Makanya saya selalu membawa beberapa barang, seperti pernak-pernik seharga goceng yang saya cari di toko buku tadi, beberapa majalah bekas (tapi masih bagus) yang kebetulan saya punya beberapa buah di edisi yang sama, juga saya bawa untuk mereka. Senang sekali melihat mereka senang. Kadang saya iri. Kenapa di seusia mereka saya tidak pernah diperlakukan sepeti ini. Heih! Ngawur! Hahahaa.

Sesuatu yang khas, dan akan terus saya lakukan. Di penghujung acara, saya selalu meminta peserta untuk menuliskan pesan kesannya terhadap acara yang telah mereka ikuti. Bukan saya narsis, tapi saya ingin melihat kejujuran mereka, lalu seberapa sukses saya memengaruhi mereka. Apakah mereka bosan dengan joke yang saya luncurkan ternyata sangat garing, atau mereka sangat menyesal mengikuti acara saya? Dari note-note mereka saya belajar memperbaiki kekurangan saya. Saya kira ini adalah sebuah latihan juga untuk mereka bagaimana mengungkapkan perasaan ke dalam kata-kata, lalu saya abadikan. Haseeek. Dan seperti biasa, saya akan senyum-senyum sendiri ketika membaca lembaran demi lembaran isi hati mereka. Isinya macam-macam, dari yang biasa saja sampai yang kurang ajar! Hahahhaaa.

Saya sempat kaget ketika menerima pesan singkat di hape saya dalam perjalanan pulang ke Serang. Ternyata itu dari salah seorang peserta yang meminta nomer hape saya ke panitia. Dia menanyakan sesuatu yang sampai saat ini sungguh menggelitik hati saya. Saya ingin tertawa dan sesekali memikirkan hal yang tak sepatutnya saya pikirkan.


Itulah SMS dari peserta yang namanya Rasid, dia pikir saya Mario Teguh yang dibayar jutaan rupiah setiap kali berbicara di hadapan audiencenya? Tidaaak! Saya ikhlassss, sedikasihnya aja. Cukup buat makan anak kost sebulan, ongkos pulang pergi ke tempat acara, lalu sisanya buat beli mobil. Hahahaaaa. Ada ada saja. :))

(*Di kamar 2 kali 3, Bhayangkara, 2012









Baca juga:

Posting Komentar

9 Komentar

  1. wah ada dalil baru nih komen sebagian dari iman?? :)

    satu kata = salut untuk bang cogah, entah itu nama beneran atau bukan, yang pasti dari secuil kisah inspiratif saya bisa rasakan semangat yang ada di ruang pelatihan itu, saya merasakan lewat tulisan yang abang (abang?? emang tukang bajigur.. xixixi).. sip sip, di tunggu kisah selanjutnya, :)

    BalasHapus
  2. @cakra Inderasena:

    Hihihihiiii. Bang, bajigurnya gak mau dibungkus, Bang? Alhamdulillah, makasih ya, Fahmii. Semoga persahabatan ini kekal. :D

    BalasHapus
  3. amin ... :D, bajigurnya bungkusnya pakai panci aja ya bang, ... :)

    BalasHapus
  4. kl kisah cinta yang semasa SMA gmn ded?, hehehe
    lanjutkan ded semoga cita2 jadi artisnya kesampaian, hehe :D

    BalasHapus
  5. weww... menginspirasi tuh... hhee..
    itu kok gambarnya bisa goyang-goyan gimana ceritanya tuh..

    BalasHapus
  6. @Akhwatul Chomsiyah Firdausa

    Heheehe. Amiin, semoga menginspirasi. Waah, pengenn juga ya digoyang goya? Hihihiihiii

    BalasHapus
  7. @catatan kecil

    Hahahaha. Awktu SMA kan gak sempat jatuh cinta, Mas. Hahha. Siip. Amiiin, doa yang sama buatmu, Mas Heru. :))

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)