Aku, Mimpi, dan Tuhan



Aku, Mimpi, dan Tuhan


Kadang aku berpikir, Tuhan ternyata begitu telaten memprogram hidup setiap ciptaanNya. Semuanya terencana dengan begitu manis, begitu indah. Seperti adanya siang yang bergandengan dengan malam, atau bumi yang dinaungin langit. Sama halnya dengan hidup manusia yang tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya esok hari. Pun demikian denganku. Aku paling tidak bisa menjawab ketika ada bertanya mengapa aku begitu santai menjalani hidup ini. Aku sendiri tidak terlalu mengerti apa definisi santai yang mereka maksudkan. Yang jelas, bagiku kini hidup adalah sebuah skenario Tuhan dan kita sebagai manusia sudah mendapat jatah peran masing-masing. Tinggal bagaimana kita menjalankan peran itu sebaik-baiknya.

Baiklah, aku ingin menceritakan sedikit kisah hidupku yang ‘santai’ itu pada kalian. Bila pada kisahku ini tumbuh tunas-tunas hikmah yang bisa kalian panen, tentu dengan senang hati aku persilakan kalian untuk memetiknya. Kalaupun tidak, yah, anggap saja aku tengah bercerita pada kalian, atau hanya sebatas dongeng pengantar tidur, barangkali tidur kalian bisa lebih nyenyak dari biasanya.

Hmm, Kawan. Dengan melihat diriku yang sekarang, aku suka tersenyum cukup lama ketika membandingkannya dengan aku yang tiga atau bahkan sepuluh tahun yang lalu. Yah, semuanya berawal dari ketidaksengajaan. Maksudku begini; sebagian dari kalian mungkin pernah membaca cerpenku di majalah, koran, atau mungkin di internet. Oh, mungkin aku terlalu pede dengan pernyataan ini. Kalian pasti mengira aku over convidence. Aku ingin meluruskan dulu, kalau cerpen-cerpenku memang tidak begitu banyak, apalagi aku bukanlah seorang cerpenis papan atas yang wara-wari di media nasional. Aku baru memulai kecintaanku pada menulis semenjak tragedi ‘tidak sengaja’ itu menimpaku di pertengahan 2010 lalu.

Bukan! Tepatnya bukan 2010. Sebenarnya tanda-tanda itu sudah terbaca beberapa tahun sebelumnya, ketika ibu membuatku seorang yang haus akan bacaan. Kebetulan aku terlahir sebagai anak laki-laki yang handal menyulam mimpi. Yah, aku sendiri tahu tahu mengapa itu bisa terjadi. Barangkali karena keadaan yang menuntut seperti itu, atau bahkan sudah takdir tang ditetapkan Tuhan memang begitu? Entahlah….

Aku lahir dari rahim seorang ibu juara satu yang pernah ada. Ibu yang tak seorang pun aku biarkan untuk menyakitinya. Siapapun! Begitu fanatiknya cintaku pada ibu. Bagaimana tidak, dia satu-satunya wanita yang mampu membuat aku jatuh cinta. Ibu yang membuat aku tergila-gila dengan kata-kata. Ibu yang rela tidak jadi membeli ikan asalkan bisa membawakan majalah bekas untukku. Cintaku pada ibu melebihi cinta Romeo pada Juliet. Ah, aku rasa itu bukan bandingannya. Anak mana yang tidak cinta pada ibunya bukan? Jangankan manusia, seekor anak ayam pun akan menciap-ciap sepanjang pagi ke petang ketika terpisah dari induknya. Tapi cintaku pada ibu melebihi itu semua. Apalagi semenjak dinasti keluargaku runtuh di akhir tahun 2005 silam, kecintaanku pada ibu makin menjadi-jadi.

Tepat beberapa hari menjelang ulang tahunku yang ke tujuh belas, ayah dan ibu bercerai! Kado (sweet) seventeen yang begitu manis. Hingga detik ini pun aku tidak pernah tahu apa alasan perceraian ayah dan ibu yang menyisakan luka mendalam di hatiku kala itu. Luka itu semakin menganga ketika aku menyadari kalau kini keluargaku tidak utuh lagi. Ibu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sementara ada empat mulut kelaparan yang harus diberi makan oleh ibu. Aku berada dalam lingkaran galau yang amat sangat. Masih segar betul di benakku, pernah di suatu hari aku membantu ibu menggali kunyit di belakang rumah peninggalan ayah. Kunyit-kunyit itu untuk dititipkan di warung-warung. Tapi hingga malam menjelang, dagangan kami tidak satu pun ada yang laku. Ngilu! Betapa ngilunya hatiku melihat ibu bermuram di ruang dapur rumah panggung kami. Dengan mata yang berpendar, ibu menemani kami makan dengan nasi seadanya. Tidak biasanya ibu menasihati kami untuk makan secukupnya, entah mengapa malam itu, satu kaliamat ibu yang masih terngiang-ngiang di telingaku. “Nak, anak sekolah itu ndak baik makan banyak-banyak. Nantinya bodoh.” Ah, padahal bukan itu alasan ibu melarang kami makan banyak-banyak. Aku tahu perasaan ibu. Aku tahu betul risau yang melanda hati ibu kala itu, ketika persediaan beras kami kian menipis.

Sekolahku terancam putus. Aku pasrah kalau hal paling buruk itu benar-benar terjadi. Bagiku sekolah bukan lagi menjadi prioritas, apalagi ada Ap, Icen, dan Ayib - ketiga adikku yang lebih butuh perhatian. Saat itu aku bilang sama ibu, “Bu, aku berhenti sekolah saja, ya. Biar adik-adik saja yang sekolah. Aku bantuin ibu menyadap karet ya…” Jawaban ibu hanya air mata. Selalu itu yang menjadi andalan ibu ketika aku membuka cerita soal putus sekolah. Air mata....

Seperti yang aku sebutkan tadi, Tuhan begitu piawai memprogram hidup makhlukNya. Dari SD aku menerima beasiswa prestasi dari sekolah. Dengan modal Rp 150.000,- kami membuka warung kopi dan rokok yang dijual ketengan di beranda rumah. Rezeki memang tidak ke mana, dan ajaibnya dengan itu kami bisa bertahan hidup hingga sampai saat ini.

2008 aku lulus SMA. Sebagai keturunan Minangkabau, darah merantauku membuncah. Apalagi kini usiaku sudah bukan anak-anak lagi. Aku sudah siap untuk menjalankan kebiasaan yang menjadi tradisi di kampungku itu.

Awalnya ibu keberatan ketika aku mengungkapkan niat untuk kuliah ke pulau Jawa. Tapi dengan penjelasan yang panjang lebar akhirnya restu ibu aku dapatkan juga. Aku mengikuti tes SNMPTN di Padang, mengambil pilihan Universitas di pulau Jawa. Dalam pikiranku, aku harus keluar dari Sumatra Barat. Aku harus membawa perubahan bagi keluargaku. Itu saja!

Lagi-lagi Tuhan memberikan jawaban. Aku lulus di Universitas Negeri di daerah Banten. Dengan uang pinjaman satu juta lima ratus ribu, aku berangkat ke Banten. Menitipkan ibu pada ketiga adikku. Aku percaya, Tuhan pasti melindungi mereka. Aku percaya itu.

Kuliah di pulau Jawa ternyata tidak seindah yang aku bayangkan. Aku memasuki episode baru dalam hidupku. Hidup jauh dari ibu di rantau orang, tidaklah gampang, Kawan. Pilu rasanya ketika aku tiba-tiba rindu masakan ibu tapi aku hanya bisa mencicipi dalam mimpi. Amat perih rasanya ketika lebaran tiba, tapi aku tidak pulang ke Padang. Dan yang paling membuat aku selalu tidak kuasa menahan bening itu tumpah dari kelopak mataku ketika aku sakit, meriang, demam, dan tanpa ada ibu di sisiku. Duhai, aku rasa itulah puncak kesedihan seorang anak yang jauh dari ibu-ketika dia sakit di rantau orang.

Tapi sejauh itu, aku tetap bertahan. Semua itu demi ibu. Demi perempuan bernilai 10 dalam hidupku itu, demi satu-satunya perempuan yang saat ini mampu membuat aku benar-benar jatuh cinta.

Entah karena sebuah ketidaksengajaan atau memang lagi-lagi Tuhan yang punya rencana, aku masih tidak tahu. Aku terjebak dalam kesalahan besar. Salah jurusan! Ya, aku mengambil jurusan teknik yang saban hari berjibaku dengan angka dan analisis. Sementara aku terlahir dengan jiwa yang melow dan mencintai kata-kata. Kesalahan itu semakin jelas terlihat ketika aku berhasil menorehkan angka 1,8 di transkrip nilaiku. Seorang mahasiswa luar daerah sukses mendirikan dinasti galau dengan IP 1,8. Bah! Aku sungguh berada dalam kekalutan luar biasa. Kepergianku ke tanah Jawa sia-sia belaka. Aku gagal total! Aku ingin pulang saja ke Padang, dan hidup seperti biasa dengan ibu, lalu mengubur mimpiku untuk menjadi sarjana pertama di keluarga kami. Mimpi ibu.

Beberapa hari sebelum aku benar-benar berniat hengkang dari kampus teknik, lagi-lagi Tuhan menegurku dengan cara yang sangat cerdas. Di suatu malam, secara iseng aku membuka catatanku selama berada di Banten. Sudah enam bulan aku berpisah dari ibu, ternyata telah menggoreskan kisah yang panjang. Aku baca teliti pengeluaranku selama bertarung di negeri orang. Ongkos keberangkatanku ke Jawa, biaya selama kuliah, SPP, uang buku, kost-kostan, transportasi. Oh Tuhan! Aku menggigil. Sebuah angka yang tidak kecil telah aku habiskan, dan itu akan sia-sia tanpa makna ketika aku mengundurkan diri dari teknik dan memilih pulang ke Padang. Tidak! Pilihan itu sama saja aku telah durhaka pada ibu. Bahkan lebih durhaka dari Malin Kundang. Ibu telah mengorbankan segalanya untukku demi mimpi-mimpiku ke tanah Jawa, lalu aku menyerah dengan kesalahan yang sebetulnya belum tentu benar-benar salah? Oh, tidak! Aku tidak sedurhaka itu, Kawan.

2010. Aku masih di Serang, sebuah kota yang menjadi saksi lika-liku hidupku selama dua tahun menjadi pendatang di sini. Statusku masih saja sama, seorang mahasiswa yang mempunyai masa depan suram dengan IP di bawah dua. Alamak! Apa yang bisa aku banggakan?

Saat itu aku benar-benar berada pada zona paling kritis. Aku bertransformasi menjadi makhluk melankolis. Merasa lebih nyaman bercerita dengan buku harianku. Aku ceritakan semuanya, tentang kerinduanku yang memuncak akan hijaunya kebun karet di belakang rumahku, tentang senyum ibu yang selalu membayang dalam tidurku, tentang keinginanku untuk segera pulang, tentang semuanya. Kadang aku iseng menjadikannya materi untuk andai-andai, membauri kenyataan pahit dengan imajinasiku. Maka lahirlah cerpen-cerpen cengeng itu di buku harianku. Hei! Aku menulis cerpen, Kawan. Ya, seperti kataku tadi, kegilaanku pada bacaan telah membuat hatiku peka dan terkadang tergoda juga untuk menjadi seseorang yang namanya terpampang di koran atau majalah. Heeeu! Ada-ada saja! Keinginan yang mustahil.

Tapi ternyata Tuhan berencana lain. Tidak ada yang mustahil di dunia ini ketika Dia berkehendak. Kunfayakuun! Jadi, maka jadilah dia. Pun demikian dengan aku. Ketika aku mengirimkan tugas-tugas kuliahku di warung internet melalui surat elektronik, iseng-iseng aku sempatkan mengirim cerpen-cerpen cengeng itu ke beberapa media. Iseng-iseng saja, Kawan.

April 2010. Aku sungguh kehabisan kata-kata. Lidahku kelu dan tubuhku bergetar hebat. Andai kalian bisa melihatku kala itu, tentulah kalian akan keget melihat pipiku tiba-tiba merah bak strawberry masak, dadaku menggelembung dan berteriak macam orang kesurupan. Cerpenku dimuat di sebuah website majalah remaja. Ai! Mimpi apa aku semalam?

Semenjak itu aku kecanduan menulis. Kepalaku penuh dengan ide-ide dan aku ledakkan dengan pulpen, kertas, lalu menyalin kembali di laptop teman satu kostku ke Microsoft Word, kemudian mengirimkannya lagi ke media. Oh Tuhan, lagi-lagi dimuat. Aku tidak dapat menggambarkan bagaimana perasaanku kala menerima honor tulisan pertamaku. Yang jelas, saat itu aku merasa bahwa aku adalah orang paling kaya di dunia. Titik!

Hari-hari berikutnya aku makin gila. Aku mencoba mengirimkan cerpen-cerpenku ke media nasional. Gengsiku naik tahta. Beuh! Tapi ternyata sampai 2010 berakhir pun tak satu pun di antara cerpen-cerpen itu yang berhasil tembus.

Kegagalan itu tidak serta-merta membuat aku harus mengangkat bendera putih. Aku sudah nyaman dengan caraku membunuh galau. Menulis! Ya, dengan menulis beban pikiranku menjadi sedikit lebih ringan, lalu dimuat media dan aku dapat uang. Hmmm, ternyata hidup begitu sederhana.

Aku mulai mengikuti pelatihan menulis cerpen. Uang honor tulisan yang dimuat media lokal aku sisihkan. Sementara aktivitas kuliah tetap berjalan seperti biasa dan pekerjaan paruh waktuku sebagai pekerja fotokopi masih aku lakoni. Semua berjalan dengan manis. Aku mulai bertemu beberapa nama yang dulu aku kenal di majalah. Aku bersalaman dengan mereka, berdiskusi tentang cara mengarang yang baik. Ah, ternyata kebanyakan dari mereka begitu terbuka membagi ilmu denganku.

Hasil dari pelatihan dan diskusi di forum kepenulisan membuahkan hasil yang membuat aku sumringah. Penghujung Februari 2011 cerpenku masuk majalah remaja terbitan ibukota. Cerpenku dibaca orang di seluruh Indonesia. Permintaan pertemanan di Facebook membludak. Begitupun pesan yang masuk di inbox Facebook-ku.

“Mas…, aku baca cerpenmu di Story. Kereeen. Aku sampai nangis lho :)”

“Hallo Mas Chogah, aku Dinar dari Surabaya. Kiaramu apik tenan yo Mas, aku ngefans lho sama Mas Cho.”

Ah, Kawan. Aku dibuai hal-hal semacam itu. Tapi aku selalu mengingatkan diriku bahwa aku bukan siapa-siapa! Aku baru orang yang bisa menulis kemarin sore dan akan terus belajar bagaimana menjadi penulis yang baik. Aku selalu menekankan itu pada diriku ketika aku lengah dan lupa pada asalku.

Sekarang aku sudah semester delapan. Itu artinya sebentar lagi aku harus menyudahi sesuatu yang dulu aku anggap sebuah kesalahan. Aku akan segera menjadi sarjana. Sarjana, Kawan! Tiga onggok kata yang dari dulu begitu keramat ketika ibu mengucapkannya. Kini aku baru sadar, kesalahan yang aku lakukan tiga tahun yang lalu kini mebuahkan hasil yang manis. Cerpen dan artikelku dimuat di berbagai media, buku-buku antologiku pun beberapa telah terbit, dan sebentar lagi aku akan jadi seorang sarjana. Ah, Kawan. Nikmat yang mana lagi yang pantas untuk aku dustakan?

Begitulah sedikit kisah hidupku dalam meraih mimpi. Penuh lika-liku dan kejutan-kejutan manis dari Tuhan. Aku sadar, bahwa kejutan-kejutan itu diberikan Tuhan bukan untukku seorang. Kejutan itu juga untuk ibu, untuk sahabat-sahabatku. Pengalaman tentang menulis aku bagikan kepada sahabatku yang membutuhkan dan mereka mau mendengarkan ceritaku lewat diskusi di Facebook dan pelatihan kecil-kecilan. Inilah jalan hidup yang direncakan Tuhan untukku. Menjadi seorang sarjana teknik dan mengabadikan mimpi serta imajinasi dalam tulisan. Bagaimana, Kawan? Masih sangsikah kalian tentang kekuatan sebuah mimpi yang Tuhan ikut campur tangan? (*)

(*Terima kasih buat wanita-wanita hebat yang pernah aku temui. Amak, Mak Wak, Bunda Guru, Mbak Achi, Bunda Erin, dan mereka yang tak dapat aku tuliskan satu per satu di sini.

Baca juga:

Posting Komentar

13 Komentar

  1. Keren... :')
    Sakit pasti, tapi akhirnya manis... *no coment lagi, pokoke sangat menginspirasi...

    BalasHapus
  2. @Peri Hujan:

    Heheee. Terima kasih Peri Hujan. Wah, namamu indah sekali, semoga orang juga ya... Heheee. Salam kenal :D

    BalasHapus
  3. Terimakasih.. Aamiin... ^_^
    Salam kenal juga, Mas Setiawan Chogah.. :>


    #ternyata gak mengenali saya.. #angkat koper, pulang
    >_<a

    BalasHapus
  4. @Peri Hujan:

    Hihihiii. Maaaaafff Maaaffff #blokir jalan tol

    BalasHapus
  5. @Peri Hujan:

    Wacaaau-Godain lewat gang depan, pasang tampang mabok, colek dikit...

    BalasHapus
  6. Langsung gampar bolak-balik sampe kempot pipinya... #nah lho
    pulang lewat gang belakang... #lempar sabun colek sekardus

    BalasHapus
  7. @Peri Hujan:

    Kejar naik scooter... bawa bunga bangke

    BalasHapus
  8. Good uda. Berhasil buat butiran kristal dipelupuk mataku jebol. ='(.
    Aku tidak menyangka, hidup uda segitu pahitnya.. Aku kadang jadi malu karna selalu mengeluh sama tuhan.. Baiklah. Cerita uda ini akan menjadikan cambukan buat ku sekarang dan nanti untuk membuat hidup ini lebih baik

    DENIS

    BalasHapus
  9. @Anonim:

    Sama-sama Den. Ayo tetap semnagat yaa...

    BalasHapus
  10. hebat mas...!!! semoga aku juga bisa seperti mas chogah ne,,

    BalasHapus
  11. @Darkness Prince:

    Amiiin, aku yakin kamu bisa lebih dari ini kok. Sukses terus yaaa

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)