ADSC, GalNas, 18 Desember; Ini Ceritaku

Aku tidak tahu ingin memulai dari mana ceritaku ini. Aku bingung, aku ingin menceritakan banyak hal, banyak kejutan, dan…, hmmm, aku rasa lebih baik langsung saja pada bagian yang aku anggap paling ‘penting’ dan bersejarah.

ADSC! 2 Album Dangdut dan Sekotak Coklat. Seketika ingatanku kembali ke beberapa waktu ketika tidak banyak yang tahu tentang itu. Sebuah booklet imut bonus dari Story edisi 17 (Februari 2011). Booklet ADSC langsung habis aku lahap dalam sekali perjalanan Serang-Cilegon, menuju kampusku. Goresan kisah yang manis antara Killa dan Didu. Ah, bicara soal Didu aku suka sedih. Kenapa orang-orang macam Didu selalu diperlakukan secara tidak adil. Kemayu itu kan bukan pilihan! Huuu, sudahlah, itukan hanya cerita yang dikarang Bunda Erin. Tapi kenyataannya orang seperti Didu beneran ada!

Satu tahun sudah booklet ADSC ada di tas kuliahku. Aku memang tidak pernah lagi mengeluarkannya semenjak aku membacanya dalam perjalanan berangkat kuliah Februari lalu. Satu tahun telah mengendapkan kisah tentang Didu yang kemayu dan Killa sang calon model. Namun, cerita tentang cowok ‘bences’ itu kembali menguap ketika aku berkesempatan bertemu Bunda Erin 20 November yang lalu di kafe Penus, Taman Ismail Marzuki.

“Huaaa, novelku mau terbiit!” dengan cerianya Bunda mengeluarkan buku berwarna kuning dominan dari dalam tasnya.
“Bundaaa, covernya….”
“Yap! 2 Album Dangdut dan Sekotak Coklaaaat.” Bunda Erin menjawab nada penasaranku.
“Haaaaa…, dijadiin novel? Kereeen! Tapi Didunya gak jadi mati kan?”
“Kasih tahu gak yaa…, pokoknya lebih seru Chogaah!”
“Hmm…, awas aja kalo Didu beneran mati. Aku gak rela, Bundaa!”

***

15 Desember 2011
Hari ini aku tidak ada kuliah. Bermalas-malasan di kontrakan aku rasa adalah pilihan yang paling tepat. Aku masih meringkuk di atas kasur apek kamar kontrakanku. Tiba-tiba hand phoneku melantunkanLihatlah Lebih Dekatnya Sherina. Telpon dari Bunda Erin. Bah! Bunda Erin menelponku? Dengan jiwa penuh tanya aku menjawab panggilan masuk itu.

“Assalamualaikum, Bundaaa. Halooo.”
“Waalaikumsalam, Hallo Chogaaah.” Suara di seberang sana masih saja gurih. Suara khasnya Bunda Erin.
“Apa kabar, Bunda? Ada apa gerangan menelponku?”
“Chogaaah! Tanggal 18 aku loncing ADSC. Datang yaaa! Ajakin pasukan Seraang!”

Hahaaa. Aku selalu tak kuasa menahan senyum setiap kali mendengar suara Bunda kalau sedang ceria. Selalu saja menular energi positif.

“Okee, Bunda. Tugas siap dilaksanakan.”

Sabtu, 17 Desember 2011
Launching ADSC tinggal hitungan jam. Aku sudah memutuskan untuk datang semenjak Bunda bela-belain menelpon tempo hari. Tapi…, malamnya badanku meriang! Hidungku mampet, dan suaraku serak macam nyanyian kodok. Sampai pagi kembali menyapa Kota Serang di Minggu 18 Desember, badanku masih saja lemas.

Aku buka facebook, langsung berhadapan dengan status Mbak Enno:
Siap-siap ke Jakarta. Insya Allah pukul 09.35 saya tiba di Stasiun Gambir. Kemungkinan saya tidak akan online di perjalanan. Selain menghemat batere juga kembali ke selera asal: ngeliatin orang di jalan *siap-siap nyambar ide*. Mengingat acara baru mulai jam 14, kalau mau mendadak konsultasi, mendadak kopdar, mendadak reuni, mendadak beli buku, silakan cari saya di sana. :)) Sampai jumpa di sana, ya. :))

Arg! Bodo! Mau meriang kek, mau batuk kek. Aku harus berangkat ke GalNas!

Aku langsung mandi, walau badan rasanya ngilu ketika bersentuhan dengan air, aku tidak peduli. Ini acara langka. Ini kesempatanku betemu Mbak Enno. Penulis keren, low profile, dan baik hati dari Ujung Berung itu.

11.00 WIB
Aku menyetop angkot di jembatan tol Pipitan. Aku malas kalau harus ke Pakupatan dulu, lalu menumpang bus Arimbi tujuan Kali Deres. Selain naik di tol lebih hemat, aku tidak ingin lama-lama terkena angin.

Aku melirik jam di hand phoneku ketika menginjak Kampung Rambutan. Naik di tol memang tidak ada bus yang ke Kali Deres, tepatnya bukan tidak ada, tapi supir busnya tidak mau memuat penumpang di jalan tol. Heuuu.

Aku menuju toilet umum, mencuci mukaku yang kucel. Sebab selama perjalan Serang-Kampung Rambutan aku habiskan dengan tidur. Biar nanti di GalNas aku lebih segar. Alasan! Hehehe.

Pukul 14.00 aku masih di bus way. Pasti telat! Aku pasti telat. Tapi tidak apa-apa, dari pada aku tidak datang sama sekali. Akhirnya setelah beberapa kali meneror Naminist tentang rute bus way, aku sampai juga di depan stasiun Gambir. Melewati jembatan penyeberangan, lalu masuk ke area Galeri Nasional dan akhirnya berakhir di Jambodroe Café. Ingar bingar music dan cuap-cuap renyah Bunda menggetarkan gendang telingaku, pun badanku ikut bergetar *geuring gela :((

ADSC Full kejutan
Huaaa, ADSCnya Bunda Erin membuat meriang jadi gembira. Begitu sampai di depan pintu masuk, aku langsung mengisi daftar hadir dan celingak-celinguk mencari-cari sesuatu. Yap! Mbak Enoo, di mana ibu-ibu yang membuat aku naksir itu? Hah?

Jreng…, jreng…, jreeeng. Sosok bersahaja dan berkaca mata itu awalnya pura-pura sombong ketika aku cipika-cipiki dengan Mbak Uniku Riri Ansar. Aha! Ada Nando Namaku? Seketika ingatanku kembali ke beberapa bulan yang lalu. Aku begitu familiar dengan nama Nando. Tapi siapa? Ohmy…, dia kan teman duet fenomenalku di Story edisi Ulang Tahun. Hihihiii. Ampun Udaa.

Ya, suswanto bangetlah bisa ketemu Uda Nando di launching ADSC. Secara beberapa kali gagal bertemu sesama “Urang Awak” ini setelah Uni Riri mengajak kami untuk makan lamang tapai, tapi Uda selalu tidak pernah waktu luang. Dasar bujangan sibuk! *Hahahaa*

Detik demi detik berlalu, aku makin larut dalam suasana hangat GalNas. Kembali bertemu Dad Mayoko yang keren, Mbak Dela Bunga Venus nu geulis tea, Nimas Aksan yang makin cihuy, Bekti yang 11-12 dengan Didu, Mas Oke yang selalu woke, Uda Erry Sofid yang tuing-tuing, Mpok Mercy yang keren abis, Mbak Arumy yang satu bangku denganku di Kopaja, Naminist yang makin merambah media, dan…, aha! Di launching ADSC aku bertemu seseorang yang sok akrap dan ngajak aku tosh. Alisku bertaut. Siapa ya? Woooooiii, Mas Rendy! Hahahaa. Gila, kenapa gue gak diwawancara, Bro? *Pletak

Yang paling ‘sesuatu’ di launching ADSC
Satu hal yang paling tidak pernah aku duga. Sesuatu yang menjadi catatan penting dalam hidupku. Bertemu Mas Fahri Asiza! *ada jeda*

Hfff…, Bunda…, tengkyu somatch udah ngebolehin aku datang ke launching ADSC. Bertemu Mas Fahri Asiza adalah satu di antara mimpi yang ingin aku wujudkan selama ini. Gak tahu kenapa, bagiku Mas Fahri mempunyai arti tersendiri yang sulit untuk aku terjemahkan. Eaaa.

Begini; Mas Fahri adalah penulis idolaku ketika jaman SMP dulu. Di awal-awal terbiasa membaca aku memang lebih condong ke arah fiksi Islami. Ketika itu majalah Annida menjadi bacaan wajibku. Maka tak heran, ketika itu aku lebih melek dengan nama HTR, Asma Nadia, Pipiet Senja, dkk. Pun termasuk Mas Fahri di dalamnya. Puncaknya ketika perpisahan kelas tiga SMA, sahabatku memberi kenang-kenangan sebuah buku yang berjudul Luka Cinta Rangga padaku. Buku serial remaja yang ditulis Mas Fahri. Di sanalah titik awalku mulai menyukai bacaan teenlit yang penuh aroma remaja. Hmm, seandainya di tahun itu Story sudah lahir ya, Bund? Pasti lebih ‘sesuatu’.

Keinginan bertemu Mas Fahri semakin menggebu-gebu ketika aku berhasil satu edisi dengan beliau di Story edisi 18. Pertama kali aku muncul di Story. Wooooi…, itu keren sekali tau! Norak ya? Bodo!

Apalagi sebelumnya aku telah berhasil bertemu Mas Gola Gong, Om Donatus, Dony Dhirgantoro, dan tentu saja Bunda Reni Erina yang keren abisss. Tak ayal, ketika mataku menangkap sosok subur dengan poni bak Justin Beiber itu duduk dengan tatapan cool bersama BB di tangannya itu, aku langsung bisa menebak. Itu! Orang itu…, Fahri Asiza.

Aku selalu menanti-nanti moment yang tepat untuk mencegat Mas Fahri. Tapi ketika acara tinggal beberapa menit lagi, kesempatan itu belum juga datang. Mas Fahri antri ngobrol dengan fansnya. Aku bersabar. Dan, selelah sekian lama menanti, aku melihat penulis yang status facebooknya selalu aku nantikan itu bercengkrama dengan Bunda Erin. Yess! Ini saatnya, langsung aku memanfaatkan kamera digitalnya Naminist untuk mengabadikan kami bertiga. Jrep! Jrep! Mimpiku tuntas sudah! Haah! Sebuah foto paling mahalku saat ini. Aku, Bunda Erin, dan Mas Fahri Asiza terekam dalam bingkai kaca di atas rak buku di kontrakanku.

Terkadang aku suka berhayal, andai semua penulis seperti Mas Fahri. Hmm, andai-andaiku bukan tanpa alasan. Aku salut dengan kepribadian Mas Fahri. Siapa coba yang tidak kenal beliau? Tapi satu hal yang menjadi perhatian bagiku. Mas Fahri berbeda dengan beberapa penulis ‘songong’ yang aku kenal. Huuu, tuh kan aku keceplosan lagi. Hihihiii, aku suka iseng mengkotak-kotakkan penulis ‘baik hati’ dan penulis ‘songong’ dalam catatanku. Aku pun pernah bertemu Mas Joni Ariadinata, gila! Penulis sekaliber itu sangaaat low profile. Bang Guntur Alam yang sudah wara-wiri di media, tapi tak satu pun komen dan chatku yang tidak beliau balas. Bunda Erin yang punya sejuta fans (Storylovers) tapi begitu bermurah hati mau menelponku. Mbak Enno yang bukunya sudah beranak-pinak tapi masih suka jewer-jeweran denganku di dunia maya. Ah, Tuhan. Abadikan sifat-sifat mulia orang-orang yang menjadi panutan bagiku ini.

Hei! Ceritaku jadi ngalor-ngidul dan melebar kemana-mana. Intinya, aku hanya ingin mengisahkan kalau launching ADSC membawa berkah bagiku. Bagi semua. Sukses ya Bunda buat ADSCnya. InsyaAllah best seller. Amiin.

Koridor Pustaka, FT Untirta – Jumat, 23 Desember 2011
*Masih geuring :((


Ayah, Ibu, dan Anak *ngarang! 

2 Album Dangdut dan Sekotak Coklat (Novel Kerennya Bunda Erin)

Serial Luka Cinta Rangga yang mengenalkanku pada Mas Fahri (2003) 


Mbak Enno, Mbak Uni Riri, Gue, dan Mbak Adel 


Bareng Uda Erry dan Uda Nando (Full Padang) 
Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar