Perlukah Penulisan Skripsi untuk Mahasiswa S1?



Perlukah Penulisan Skripsi untuk Mahasiswa S1?
Oleh: Dr. Kholis Abdurachim Audah PhD,
Biochemistry (Auburn University, USA)Postdoctoral,
Infectious Diseases (Yale University School of Medicine, USA)




Penulisan skripsi untuk mahasiswa tingkat strata 1 (S1) sudah diterapkan sejak lama dan masih dilakukan sampai saat ini di seluruh perguruan tinggi (PT) di Indonesia baik PT negeri maupun swasta. Dengan berbagai pertimbangan baik ilmiah dan juga praktis, ternyata penulisan skripsi untuk mahasiswa S1 ini lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya. Maraknya praktek pemalsuan atau plagiarism dalam penulisan skripsi di tanah air, hanya merupakan salah satu dari sekian banyak efek negatif dari kewajiban penulisan skripsi ini.

Dalam tulisan yang singkat ini, penulis akan jabarkan beberapa pertimbangan mengapa penulisan skripsi untuk mahasiswa S1 ini tidak diperlukan. Dengan tulisan ini diharapkan bahwa perguruan-perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta, meninjau kembali kewajiban penulisan skripsi untuk mahasiswa S1 dan bila perlu dihapuskan sama sekali dari kurikulum pendidikan tinggi. Setidaknya hal ini bisa dijadikan sebagai wacana yang menuju kearah penghapusan kewajiban penulisan skripsi ini.

Sebagai bahan informasi, penulisan skripsi ini tidak banyak dikenal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Jepang ataupun negara-negara maju di benua Eropa. Sekalipun ada kewajiban penelitian untuk para mahasiswa, maka itu hanya dijadikan sebagai latihan untuk mereka dan semua kegiatan penelitian harus sudah selesai ketika semester berakhir.

Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa penulisan skripsi untuk mahasiswa S1 tidak diperlukan:

1. Menghambat kelulusan
Pada umumnya penulisan skripsi berbobot sekitar 4-6 jam kredit saja. Jika kita bandingkan dengan jumlah keseluruhan kredit yang harus diambil oleh seorang mahasiswa S1 di Indonesia yang berkisar di atas angka 140-an jam kredit, maka angka 4-6 kredit hanya berbobot sekitar 3-4 % saja dari total jam kredit yang harus diambil mahasiswa. Artinya bobot kreditnya hanya sebagian kecil dari jumlah keseluruhan kredit yang harus diselesaikan oleh seorang mahasiswa. Bayangkan saja setelah beberapa tahun berjibaku dengan ketatnya perkuliahan dengan berbagai tugas-tugasnya, dan berapa besar biaya yang sudah dikeluarkan, seorang mahasiswa harus melupakan cita-citanya meraih gelar sarjana yang dia dambakan.

Apakah kegagalan seseorang menulis skripsi mencerminkan kegagalan dia sebagai seorang mahasiswa yang memiliki potensi yang besar untk maju di bidang yang dia geluti? Lalu apa artinya semua perkuliahan yang sudah ditempuh oleh mahasiswa dengan segala perjuangannya? Apakah semua itu tidak ada artinya sama sekali? Sebagai informasi saja, sebenarnya jumlah kredit yang harus diselesaikan mahasiswa S1 di Indonesia sudah jauh melebihi rata-rata jumlah kredit di berbagai negara lainnya yang hanya di bawah 130 kredit. Parahnya lagi, kegagalan menyelesaikan skripsi ini bukan hanya dikarenakan kesalahan atau keengganan mahasiswa untuk melakukan penelitian atau penulisan skripsi, tetapi juga tidak sedikit yang disebabkan faktor-faktor “non-teknis” seperti hubungan yang kurang harmonis antara si mahasiswa dengan pembimbing dengan berbagai alasannya. Sayangnya penulis belum memiliki data statistik yang jelas berapa jumlah mahasiswa yang harus “dropped-out” hanya karena gagal menyelesaikan skripsi.

2. Ketidakpastian waktu lulus
Efek negative lain yang ditimbulkan oleh kewajiban penulisan skripsi ini adalah tidak adanya kepastian tentang waktu, berapa lama seorang mahasiswa dapat menyelesaikan penulisan skripsinya dengan berbagai permasalahan yang ada. Sebagai contoh, untuk mereka yang menggeluti bidang sains dan teknologi misalnya, banyak sekali kendala-kendala yang harus dihadapi berkaitan dengan proyek penelitian mereka. Sebut saja ketersediaan alat-alat atau bahan-bahan penelitian yang sebagian besar harus didatangkan dari luar negeri. Terkadang diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk itu.

Hal ini dialami sendiri oleh penulis ketika melakukan penelitian untuk tugas akhir penulis. Diperlukan beberapa bulan untuk mendapatkan satu jenis bahan penelitian yang dibeli dari luar negeri. “What such a waste of time?” Sebagai alternatifnya adalah, seorang mahasiswa bisa diwajibkan melakukan penelitian hanya jika perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian di Indonesia bisa menampung mereka untuk melakukan penelitian tanpa mengeluarkan biaya satu senpun. Jadi mereka hanya diikutsertakan untuk membantu penelitian yang sedang berlangsung dan tugas mereka selesai ketika semester sudah habis. Selanjutnya hasil penelitian mereka bisa dipublikasikan melalui sebuah seminar atau konferensi bersama di perguruan tinggi atau jurusan mereka masing-masing tanpa harus menulis skripsi. Kalau hasil penelitian mereka memiliki kualitas, tentu saja bersama pembimbing mereka, bisa dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional dan untuk kelulusan mereka, mahasiswa tidak harus menunggu sampai hasil penelitian mereka bisa dipublikasikan. Hal ini justru akan memiliki nilai tambah yang lebih besar baik bagi si mahasiswa sendiri maupun untuk dosen pembimbingnya, ketimbang setiap hasil penelitian untuk S1 dibuat dalam skripsi dan selebihnya disimpan di perpustakaan dan sekedar menjadi sejarah saja.

Untuk bidang-bidang sosial misalnya, untuk penulisan tugas akhir cukup dosen pembimbing memberikan topik-topik tertentu atau studi kasus yang harus ditulis oleh mahasiswa dalam bentuk essai dan kemudian pada akhir semester dinilai oleh pembimbing mereka masing-masing tanpa harus melalui proses yang panjang seperti penulisan sebuah skripsi. Dan sekali lagi, waktu yang dialokasikan untuk semua tugas akhir ini baik untuk bidang sosial maupun sains dan teknologi, tidak boleh melebihi satu semester.

Dengan demikian, setiap mahasiswa bisa mendapatkan kepastian waktu mereka bisa lulus. Kepastian waktu ini sangat penting untuk kelanjutan karir para mahasiswa, baik bagi mereka yang terus ingin bekerja ataupun bagi mereka yang memiliki keinginan untuk melanjutkan perkuliahan mereka. Mereka bisa menyusun rencana-rencana mereka ke depan dengan lebih pasti jauh-jauh hari sebelum waktu kelulusan mereka. Misalkan untuk melakukan persiapan melamar pekerjaan atau menyiapkan diri untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk pendaftaran kuliah di tingkat selanjutnya baik di dalam maupun luar negeri. Sistem pendidikan tinggi kita saat ini tidak memungkinkan seorang mahasiswa tingkat akhir untuk banyak berencana apa selanjutnya dan kapan mereka bisa menyiapkan semua hal itu karena ketidakpastian waktu yang harus mereka jalani dalam menyelesaikan tugas akhir mereka.

3. Biaya Tinggi
Perlu diingat bahwa sebagian mahasiswa Indonesia banyak berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Orang tua mereka sudah bersusah payah membiayai perkuliahan mereka yang sudah berjalan pada umumnya selama sekitar empat tahun. Maka itu pembuatan skripsi yang memerlukan biaya yang tidak sedikit merupakan beban berat tambahan buat mereka karena biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan skripsi ini tidak sedikit. Akhirnya sebagian mahasiswa mengambil jalan pintas bagaimana dapat menyelesaikan skripsi mereka dengan cepat dan murah. Lahirlah cara-cara yang tidak baik yang mereka lakukan sebagai akibat dari rasa frustasi mereka dalam rangka menyelesaikan perkuliahan mereka yang sudah berlangsung cukup lama. Sebut saja plagiarism seperti yang disebutkan di atas atau dengan memanfaatkan jasa pembuatan skripsi yang banyak tumbuh di kota-kota yang banyak terdapat perguruan tinggi, seperti di Bandung misalnya dan kota-kota besar lainnya. Karena melalui jasa ini mereka dapat menyelesaikan penulisan skripsi mereka dengan biaya yang jauh lebih murah dan waktu yang lebih cepat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat tidak sehat baik bagi dunia pendidikan itu sendiri maupun secara sosial. Untuk bidang sains misalkan, terkadang mahasiswa harus mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan penelitian seperti yang dialami oleh beberapa teman penulis di masa perkuliahan dulu yang tentu saja jumlahnya cukup besar karena sebagian besar bahan kima di Indonesia harganya jauh lebih mahal dibandingkan di luar negeri.

Di negara-negara maju, hal seperti ini tidak akan pernah dijumpai, seorang mahasiswa S1 melakukan penelitian untuk tugas akhir mereka dengan mengeluarkan biaya sendiri. Ironis memang, di tengah-tengah kesusahan seorang mahasiswa dengan biaya perkuliahan dan biaya hidup selama menjadi mahasiswa, khususnya di negara kita, dimana banyak mahasiswa dari kalangan tidak mampu, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan yang jumlahnya terkadang tidak sedikit untuk menyelesaikan tugas akhir mereka. Lalu dimana tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam hal ini. Harapan penulis, tulisan ini dapat sedikit menggugah para pengambil kebijakan di lingkungan pendidikan tinggi, baik di pemerintahan maupun di tingkat perguruan tinggi masing-masing. Bagi perguruan tinggi yang sudah memiliki fikiran kearah sana, apalagi yang sudah mulai menerapkan kebijakan seperti yang penulis paparkan, penulis menyampaikan appresiasi yang setinggi-tingginya.

Hal tersebut menandakan bahwa mereka memang mengerti realita yang ada di masyarakat. Menurut hemat penulis, kita sah-sah saja memiliki idealism yang tinggi dalam bidang apapun termasuk pendidikan, namun realita yang dihadapi masyarakat sehari-hari sangat penting untuk terus diperhatikan dan dijadikan bahan pertimbangan. Meskipun sering kali antara idealism dan realita sering kali tidak sejalan, namun pemimpin yang bijak harus mampu memadukan antara keduanya untuk sebaik-baik kepentingan masyarakat. Hal ini berlaku bukan hanya untuk bidang pendidkan dari tingkat dasar sampai tinggi, tetapi berlaku untuk seluruh aspek kehidupan masyarakat. (*)


Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar