Untuk Perempuan Mungil yang Kemaren Ulang Tahun

Untuk Perempuan Mungil yang Kemaren Ulang Tahun
Aku selalu dihadapkan pada sebuah kebingungan bila ada yang menanyaiku seperti ini; Siapakah yang paling berjasa dalam pencapaian Mas Cho dalam menulis? Aku tidak bisa langsung memberikan jawaban begitu saja. Padahal apa susahnya, bukan? Tinggal menuliskan list dari A sampai Z. Beres. Bah! Tapi bagiku sungguh tak mudah, Kawan.
Begini; beberapa kali pertanyaan senada aku jumpai di inbox facebook-ku. Ah! Aku selalu bersuka cita setiap kali membaca pesan ataupun kiriman teman-teman di facebook soal tulisanku. Kadang aku sendiri bingung, sebegitunyakah Waang, Gah? Bagiku, aku ini bukan siapa-siapa. Yah! Aku masih Dedi Setiawan, mahasiswa ‘kampung’ yang dengan begitu nekatnya hijrah dari Padang ke Serang. Aku lebih suka menyebutnya merantau. Bagiku kata merantau lebih eksotis, lebih macho, dan mungkin lebih kereeen. Keren? Ah! Kata-kata itu, kata-kata yang selalu mengingatkanku pada seorang perempuan yang begitu mempunyai arti besar dalam pencapaianku selama ini. Perempuan yang menjungkirbalikkan aku dari Dedi Setiawan menjadi Setiawan Chogah. Kau mau tahu siapa perempuan itu, Kawan? Baiklah, akan aku ceritakan padamu perihal perempuan itu, cobalah kalian simak aku berkisah.

Seperti yang aku katakan tadi, Kawan. Aku hanyalah seorang mahasiswa perantauan di kota bagian barat pulau Jawa. Orang-orang menyebutnya Kota Serang. Di September 2011 ini genap tiga tahun keberadaanku di jantung provinsi Banten ini. Lalu apa hubungannya perempuan itu dengan keberadaanku di Serang? Kau tentu bertanya-tanya, bukan? Sabarlah dulu, akan aku lanjutkan kisahnya.

2010. Sebuah masa yang mengingatkanku pada kata yang belakangan ini jadi nge-trend di selaput gendang kita. Kata yang selalu dijadikan kambing hitam bila lagi tak enak rasa, ah! Kata-kataku terlalu melayu. Begini saja, kalian pernah dengar kata galau? Aha! Tentu saja pernah, bukan? Atau saat ini kalain lagi dikuasai oleh dua onggok kata itu?

Ya! Galau! Tahun-tahun itu adalah masa berjayanya aku sebagai mahasiswa galau. Bagaimana tidak galau? Seorang mahasiswa teknik begitu sukses menorehkan angka 1,8 di transkrip nilai ujian semesternya. Ip-ku 1,8! Alamaak! Kalau boleh aku berhiperbolis, saat itu aku merasakan ajal akan segera menjemputku. Selat Sunda seakan menyesal telah diseberangi mahasiswa bodoh macam aku. Aku berada di puncak tertinggi dalam kurva yang menggambarkan kegalauanku saat itu. Aku ingin pulang saja ke Padang, sempat berfikir seperti itu. Hah! Tidak! Pulang ke Padang sama saja bunuh diri. Mempermalukan Mandeh pada orang sekampung. Sungguh aku akan merasa sangat berdosa bila itu sampai terjadi.

Di tengah wabah galau yang tengah menguasaiku, aku makin menjadi-jadi. Dari pada setengah hancur, lebih baik hancurkan saja semuanya. Dinastiku di kampus teknik terancam kudeta galau. Aku berniat mundur. Aku ingin pindah saja ke jurusan sastra, sebuah kenikmatan pasti akan aku dapatkan di sana, begitu aku berfikir waktu itu.

Keputusan untuk meninggalkan kampus teknik sudah matang. Aku sunggguh tidak lagi menemukan kebahagiaanku di jurusan itu. Galau benar-benar telah mengambil alih kekuasaan. Hingga pada suatu sudut sore, di bawah temaram lampu jalanan Kota Serang, pikiranku melanglang buana menembus batas Jawa dan Sumatera. Wajah Mandeh seperti menari-nari, kadang menangis. Ah! Aku selalu tidak kuasa bilamana Mandeh telah hadir di ruang pikiranku. Bening itu pasti jatuh. Aku menangis, mengulum sesal dan dosa biar tak ada yang tahu selain aku dan Tuhan. Tersedu di pojok photo copy; rutinitas paling nikmat yang aku rasakan bila mana sore telah menjelang di Kota Serang.
Terfikirkan olehku biaya yang akan terbuang sia-sia bila aku benar-benar hengkang dari teknik, uang 1,5 juta yang dulu dipinjam Mandeh ke Uwo Nansir saat aku meninggalkan kampung belum tentu lunas dibayar Mandeh. Lalu aku aku akan membuat hutang baru? Ondeh Mandeh, sungguh aku Bujang yang tiada berguna.

Juli 2010. Aku mulai melakukan perlawan, setidaknya mengambil alih kekuasaan yang sempat dikuasai si raja galau. Aku tekuni kecintaanku pada sastra, cerpen-cerpen yang pernah aku tulis waktu es-em-a masih aku simpan di flash disc 512MB hadiah dari Kak Ria, guru Biologi yang menganggapku sebagai adiknya. Aku baca ulang cerpen-cerpen itu, aku pergi ke warnet, lalu mengirimkannya ke majalah dan koran lokal di Kota Serang ini. Seperti dugaanku, cerpenku tak akan pernah dimuat.

Memang benar, satu bulan waktu berselang, tak ada kabar perihal nasip cerpen-cerpenku. Aku mengulum senyum kecut. Hingga pada suatu siang, ketika aku meluapkan segala perasaan pada status facebookku dengan bahasa alay. Iseng-iseng aku mengunjungi sebuah situs majalah online yang sudah tidak terbit lagi versi cetaknya. Semasa es-em-a, aku banyak belajar menulis dari cerpen-cerpen di majalah itu. Aku belajar otodidak! Tidak pernah mengikuti pelatihan menulis. Bah! Mana ada pelatihan semacam itu di desa terpencil di kampungku. Heuh!

Jreeng! Pipiku merah delima, dada seakan dipompa, menggelembung. Tanganku kaku dan tubuhku bergetar hebat. Aku merasakan sensasi luar biasa ketika judul cerpenku muncul di halaman depan website majalah itu. Ah! Tak dapat aku ceritakan bagaimana perasaanku saat itu. Entahlah, Kawan. Yang aku ingat aku begitu norak dan memalukan.

Semenjak itu aku tergila-gila dengan menulis. Apapun aku tulis, cerpenku dimuat di koran lokal dan beberapa kali di situs online yang pertama kali memuat cerpenku tadi. Waktu itu hanya sebatas itu. Menulis, mengirimkan, menulis, begitu seterusnya. Hingga sampai pada perkenalanku pada sebuah majalah bergambar wanita muda di sampulnya. STORY! Pertama kali perkenalanku dengan majalah itu ketika aku melihat covernya di tabloid remaja langganan teman seprofesiku sebagai karyawan photo copy. Bedanya dia kerja full saban hari, sementara aku part time. Paruh hari saja. Aha! Dia update juga ternyata soal mode dan info seputar artis. Di pikiranku, aku harus mengirimkan cerpenku ke majalah ini.

Lalu mulailah aku mengirimkan cerpen-cerpenku. 2010 tinggal beberapa hari lagi, namun kabar cerpenku tak kunjung datang. Sampai ketika aku menemukan sebuah undangan acara di facebook. Pelatihan menulis bersama STORY dan Gerai Buku. Aku lihat waktunya. Desember 2010. Bertepatan dengan ulang tahunku. Aku lihat lagi tempatnya. Jakarta! Seketika pikiranku melayang, Jakarta? Ah! Aku harus ikut, dua tahun keberadaaku di pulau Jawa, belum pernah aku menginjakkan kaki di Jakarta. Sempat aku bingung, bagaimana cara mencapai Jakarta. Sementara semumur hidup belum pernah aku mendatangi kota itu. Lalu aku mengirim pesan ke akun facebook yang menyebarkan info pelatihan itu beberapa waktu lalu.

“Mbak Ren, helep me lah, diriku sudah trdaftar sbgt peserta even 5 Dec. Tp msh bngung. Tak tau step step untk menuju TKP ny mbak. Gini lho mbak. Bsok itu anggap sya trun d kmpg rambutan/ kali dres. Slanjutny sya naik apa ya mbak? Apakah busway melewati uhamka? Oh mbak, sya buta jakarta.” (11 November 2010. Aku copas dari inbox-ku)

Lihatlah tulisanku begitu acak-kadut! Ompong di sana-sini.

Lalu perempuan yang aku lihat memakai nick Reni Teratai Air itu menjawab,
“Waduh, Mas. Saya juga gak tahu rute bus. Maaf banget. Coba ikuti thread di kolom pelatihan itu dan tanya sama Gerai Buku (Panitia yang mengadakan acara). Mas, coba buka link ini ya,” perempuan yang bernama Reni Teratai Air itu memberikan link padaku. Aku klik, ada beberapa peserta pelatihan dari Serang. Bersama guruku dalam menulis, Hilal Ahmad, Ali Sobri, Gayuh, Dini, Uka kawanku sesama mahasiswa perantau asal Padang, dan perempuan luar biasa yang belakangan aku tahu bernama Ina Inong. :)

Oke, aku bisa ikut. Di pikiranku perempuan itu pasti peserta juga, tapi kenapa dia yang menyebarkan info petihan itu ya? Ah! Sudahlah.

Pagi itu matahari menyapaku dari balik tirai kaca Bus Primajasa jurusan Merak-Kp. Rambutan. Sepanjang perjalanan aku tak henti menyulam senyum. Terbayang sudah gambaran Kota Jakarta yang megah di pikiranku. Bunderan HI, Monas, Patung Pancoran, Sudirman. Nama-nama yang selama ini hanya kulihat dan dengar dari kotak ajaib di photo copy itu akan segera aku lihat wujudnya secara langsung. Hihiiii, aku menyeringai, udik!

5 Desember 2010. Gedung UHAMKA sempat membuat aku menggigil kedinginan. Wanita mungil yang aku kenal dengan nama Mbak Iren itu tak bergeming dengan tubuhku yang dari tadi tak bersahabat dengan dinginnya ruangan berAC. Beberapa jam dia bercuap-cuap, melempar senyum, meminta kami berfikir, berhayal, menuliskan, lalu membacakaan apa yang kami tulis. Bah! Aku suka gaya dia. Di tengah kedinginan yang menusuk tulang, aku membacakan apa yang aku tulis. “Wiiii, kereeeeeen” perempuan itu bersorak. Hah! Dia bilang keren? Aku melongo, lalu luluh dalam senyum bingung ketika peserta pelatihan lain bertepuk tangan. Ya Tuhan! Sungguh sampai mati pun aku tidak bisa melupakan detik-detik itu. Wanita mungil yang aku kenal Mbak Iren itu benar-benar membiusku. Membuka mataku, memberikan jawaban mengapa cerpen-cerpenku tak pernah dimuat di majalah ibu kota. Djiaah! Aku malu pada diriku sendiri. Eh, tunggu. Aku membaca spanduk di hadapanku.

Reni Erina! Lah? Jadi tadi aku menyebutnya Iren bearti salah? Alamaaak! Diam-diam aku menyembunyikan rasa maluku. Lalu, hanya aku yang tahu, ketika kata 'Iren' yang terlanjur aku tulis di noteku, aku ganti menjadi 'Mbak RENI ERINA (Managing editor Story)'. Hihihiiii.

Reni Erina? Kamu terfikirkan sebuah nama. Info pelatihan menulis yang waktu itu aku baca? Jadi Reni Teratai Air itu? Oh my good. Itu dia! Ya, kebodohanku terjawab sudah ketika aku melihat photo profil facebook akun Reni Teratai Air. Maafkan aku, Mbak. Aku sungguh tak tahu. :)

Kali ini aku sebenarnya sangat beruntung. Di sini juga pertama kalinya aku bertemu laki-laki hebat yang belakangan aku ketahui ternyata dia adalah Donatus A. Nugroho. Raja Cerpen dari Solo itu. Agr! Andai dari awal aku tahu kalau itu Mas Donatus, tentu aku akan memberikan print out cerpen yang jauh-jauh telah aku siapkan dari semalam.

Begitu sampai di Serang, aku makin keranjingan menulis. Aku praktekkan apa yang disampaikan Mbak Iren, eh maksudku perempuan mungi yang membuat aku jatuh cinta dengan gayanya bicara. Edukatif! Komunikatif! dan begitu gurih aku dengar; dialah Mbak Erin. Warna media, layout, don’t push! EyD; kata-kata yang membuat aku malu dengan naskah-naskahku selama ini.

Setelah aku tulis, satu cerpenku lahir. Aku kirim ke STORY. Satu bulan, dua bulan, sampai tiga bulan, tahun 2011 berlalu sudah. Cerpenku tak kunjung ada kabar. Arrrg! Aku menyeraaaaah.

Maret 2011. Aku mendapat telpon dari nomor Jakarta. 021xxxx. Siapa? Aku bertanya-tanya? Sebab, selama ini tak ada orang lain yang menelponku selain momor Sumatera. Siapa lagi kalau bukan Mandeh.

Ambooooy! Sekred STORY yang menelponku, Kawan. Sungguh aku tak kalah norak saat itu. Melonjak-lonjak, menelungkup dan jungkir balik di kasur kusam kamar kost-anku. Cerpenku akan dimuat di STORY edisi 19.

25 Maret terasa begitu amat lama. Setiap kali pulang kuliah, aku selalu dikuasai rasa berbunga-bunga setiap melawati lapak majalah di depan halte kampus Untirta Serang. Hmm, sebentar lagi aku akan menemukan tulisanku di majalah bercover wanita cantik itu.

Jumat, 25 Maret 2011. Pagi-pagi aku sudah barangkat dari kost-ku di Walantaka, dua kali naik angkot ke terminal Pakupatan-Serang. Amat pagi, padahal kuliahku jam satu. Sebuah kejadian langka. Sesampai di lapak halte kampus Serang, aku menelan kekecewaan. STORY belum sampai. Hiks, dengan perasaan gundah aku menuju kampus teknik di Cilegon.

Sabtu sore, Lapak Majalah Ciceri, Serang.
Aku baru saja selesai menghadiri acara soft launching buku Gilalova#3 di Graha Pena Radar Banten. Ada cerpen temanku di antologi itu, maka dia mengundangku untuk menghadirinya. Melewati jalan Fatah Hasan, pandanganku berserobok dengan wajah Donita. Majalah STORY. Stop, Mang! Kiriiii! Teriakanku melengking, angkot biru berhenti seketika. Setelah membayar dua lembar uang ribuan, aku berlari, menyambar STORY dengan senyum anggun Donita di covernya itu. Aku bagai tupai dapat kelapa muda. Begitu bergairah membuka majalah itu. Jreeeeng! Lagi-lagi tubuhku bergetar hebat. Langit Kota Serang berbinar-binar. Seakan terang-benderang. Cerpenku tampil di STORY. Oh Tuhan, untuk kali ini izinkan aku menelan tangis haru ini pelan-pelan, biar sensasinya tak cepat berlalu.

Tak henti-henti aku pandangi kata ‘KIARA’ dengan ukuran besar di halaman itu. Warna biru begitu dominan, dipadu dengan ilustrasi wanita anggun dengan rambut sebahu. Begitu memesona. Apalagi gambar Jam Gadang menghiasi pokok halaman yang memuat cerpenku. Ah! Itu ilustrasi cerpenku KIARA.

Hari-hari selanjutnya, bulan Maret membuatku bagai artis dadakan. Ai! Tentu kalian kita aku kepedean. Hei! Dengarkan dulu ceritaku ini, Kawan. Tak apalah kali ini kalian menyebutku kegeeran, tak apa juga kalian menyebutku lebay, alay, jijay. Tak apa...

Sepanjang Maret friend request di facebook-ku membludak. Saban hari ada saja permintaan pertemanan, lima bahkan sampai sepuluh. Belum lagi inbox dan suara tuing! tuing! ketika chatroom-ku dalam status ON.

“Mas, salam kenal. Aku Sofianti dari Gorontalo. Waaah, Kiaramu membuatku nangisss, hiks,”
“Hai Mas Chogah, Kiara kok sad ending sih, fufufufu,” itu bunyi inbox Dinar di facebook-ku, Storylovers asal Surabaya. Ah! Pengalaman baru yang benar-benar membuat aku melambung ke langit ke tujuh. Itu karena siapa? Karena Dia dan dia. Dia Sang Pemurah dan dia Mbak Erin, perempuan mungil yang menularkan ilmunya padaku.

STORY telah merubah hidupku. Ya, aku tak sembarangan menyebut STORY adalah ‘dalang’ yang disiapkan Tuhan untukku. Bagaimana tidak, semenjak KIARA dimuat, aku menjadi begitu akrap dengan mereka yang jauh lebih dahulu menikmati sensasi menulis dibandingkan aku; Mas Mayoko Aiko, Donatus A. Nugroho, Tandi Skober, Fahri Asiza, Adnan Buchori, Triani Retno, Nando, dan… begitu banyak deretan nama beken yang tidak bisa aku tuliskan disini, Kawan. Kalian tentu tak asing dengan nama-nama itu, bukan?

Hari ini, 2 Septeber 2011. Perempuan mungil yang dulu aku panggil Mbak Iren tengah bersuka cita. Perempuan pembawa berkah dalam hidupku itu tengah berulang tahun. Aku terpaku lama ketika melihat notif di beranda facebook-ku. Reni Teratai Air berulang tahun! Pikiranku melayang-layang cukup lama. Mengumpulkan puing-puing sejarah nama yang sekarang begitu tak asing lagi di telingaku. Mengenang pertama kali aku salah menyebut namanya, kemudian aku bertemu dia di suasana menggigil gedung UHAMKA. Lalu pertemuan-pertemuan kami selanjutnya di Rumah Pena, Kebun Raya Bogor, launching buku, temu penulis Rumah Dunia, dan diskusi hangat soal sastra di Grup STORY. Bah! Kristal itu lebur dan membentuk sebaris anak sungai di pipiku. Izinkan aku menangis lagi Mbak Erin. Izinkan aku mengenang persahabatan kita yang begitu nikmat bagai sebatang coklat, izinkan aku menikmati keharuan ketika kamu memanggilku Adik. Izinkan jua aku menyimpan virus ini sampai mati, dan menularkan pada mereka yang juga tergila-gila sama seperti aku. Virus menulis.

Duhai, Mbakku. Tak ada sesuatu yang berharga yang bisa aku berikan. Hanya kado doa berpitakan harapan yang aku punya saat ini. Semoga Mbakku senantiasa dalam lindunganNya, senantiasa diberikan kesehatan, kemudahan, kelancaran, dan kesehatan. Semoga Mbak tetap tegar dan menjadi ibu yang hebat bagi peri-peri kecil jelitamu. Semoga senantiasa menjadi pelita bagi pencinta Story. Semoga Allah memberkahi, Amin.
Selamat Ulang Tahun, Mbakku sayang. Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir & Batin :)
(*Serang, penghujung malam di lebaran ketigaku di negeri Tirtayasa, 2 September 2011
Pelatihan Menulis UHAMKA 5 Des 2010
Pelatihan Menulis Rumah Pena
Euforia STORY edisi 19
Ilustrasi Cerpen KIARA di STORY 19
Pelatihan Menulis di Kebun Raya Bogor
Acara Banjir Penulis Rumah Dunia, Serang-Banten
Pelatihan Menulis Perdanaku, SMPN 1 Cisata Pandeglang
Pose Bareng STORY sebelum Pelatihan di Cisata
Baca juga:

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Wuaaaaaa..
    postingannya keren..

    aku terharu.. :')

    BalasHapus
  2. kereen cyiiiinth.... http://us.i1.yimg.com/us.yimg.com/i/mesg/emoticons7/8.gif

    BalasHapus
  3. wow..mamtap,jadi pengen menulis lebih aktif lagi...

    salam menulis
    mampirlah di gubuk reotku..^.^

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)