*Sudaryono Achmad
Untuk apa menulis? Barangkali banyak orang masih bingung ketika disodori pertanyaan tersebut.
Wajar, karena persoalan menulis memang belum membudaya di tanah air. Jangankan
masyarakat umum, mereka yang menyandang gelar doktor bahkan profesor sekalipun
bisa jadi banyak yang masih kesulitan dalam soal menulis (menuangkan gagasan
dalam bentuk tulisan).
Ini terbukti dengan masih
minimnya publikasi karya ilmiah (populer). Untuk merangsang para ahli dibidangnya
berbagi gagasan, muncul beberapa situs internet agar ilmu pengetahuan bisa
diakses dengan luas. Munculnya situs semisal www.beritaiptek.com, www.netsains.com atau www.kolumnis.com patut kita
apresiasi karena para pendiri dan aktivis situs ini setidaknya punya andil
dalam rangka menggiatkan dunia tulis menulis. Sehinga bisa menjadi ajang
berbagi ilmu.
Persoalan menulis, tentu bukan
hanya persoalan para pengarang, penulis atau wartawan saja. Siapapun diri kita,
kemampuan menulis itu diperlukan. Sepanjang kita masih punya otak dan hati,
aktivitas menulis akan senantiasa menyertai. Dalam kehidupan keseharian,
komunikasi kita tentu tidak hanya sebatas ucapan saja. Sering kita harus
membangun komunikasi dengan orang-orang yang jauh. Maka, tulisan menjadi
penting sebagai alat komunikasi sekaligus media yang lebih memungkinkan orang
mengeluarkan gagasan secara serius dan sistematis.
Biasanya, kalau ucapan
kerap kali hanya luahan spontanitas saja. Sedangkan, tulisan lebih mempunyai
bobot tersendiri karena sudah pasti kita memikirkan dan merenungkannya terlebih
dahulu sehingga gagasan lebih sistematis. Kegagapan dan ketidakmampuan dalam
menulis, bisa jadi akan menyebabkan salah persepsi dan kegagalan komunikasi.
Dan, ini bisa berakibat fatal dalam bisnis, kariel maupun hubungan personal.
Lantas, bagi mereka yang
akan berprofesi terkait dengan dunia tulis menulis (misalnya wartawan, editor,
pengarang), persoalannya akan lebih kompleks lagi. Sebab, persoalan menulis
tidak hanya sebatas alat komunikasi saja. Tetapi lebih dari itu, menyangkut
soal kemanusiaan, panggilan hidup, estetika kebahasaan, bahkan keberpihakan
kepada masyarakat kecil yang terpinggirkan oleh zaman yang semakin tidak adil
ini.
Nah, dalam artikel singkat
ini, saya akan memberikan semacam tips-tips segar kepada Anda agar lebih
bergairah dan lebih serius menulis;
1.
Jangan sekedar hobi
Masih banyak orang yang
menjadikan aktivitas menulis sekedar hobi belaka. Tak salah memang. Hanya saja,
ternyata menulis pun bisa dijadikan alternatif profesi, dalam arti mereka
mendapatkan nafkah dan penghasilan. Barangkali muncul pertanyaan, bisakah hidup
layak dengan menjadi seorang penulis ?. Saya kira ini tergantung kerja keras
masing-masing individu. Sudah terlalu banyak contoh orang-orang yang sukses
menjadi seorang penulis full time. Sebut saja Ahmad Tohari,
penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang kini juga menjadi kolumnis
sosial keagamaan di rubrik “Resonansi” Koran Republika. Atau JK Rowling,
pengarang “Haryy Potter” yang kini menjadi miliyader dari hasil penjualan
bukunya.
2.
Prioritaskan bacaan
Agar ide dan pikiran tidak
buntu, baca buku adalah solusinya. Seorang penulis sejati, tidak bisa tidak ia
harus akrab dengan buku. Bukan hanya menjadi kutu buku, lebih dari itu, ia
perlu menjadi “predator buku”. Melahab berbagai buku, seperti kata Hernowo
penulis buku “Quantum Writing” menjadikan buku ibarat sepotong pizza.
Memang, tidak semua buku
harus kita baca. Memilah buku-buku bermutu serta memprioritaskan jenis dan
waktu membaca itu perlu. Helvy Tiana Rosa Pendiri komunitas penulis Forum
Lingkar Pena (FLP) punya saran yang baik. Yaitu membaca 3 jenis buku dalam
sebulan, tentang keagamaan, tentang hobi atau minat kajian yang diminati, dan
tentang buku yang terkait latar belakang pendidikan seseorang. Dengan
pengaturan seperti itu, pikiran kita akan lebih fokus, ide-ide bermunculan
sehingga aktivitas menulis terus berkembang.
3.
Gunakan hati
Aktivitas menulis tak
cukup dengan wawasan pikiran dan referensi semata. Kita perlu
menggunakan hati. Seperti dalam kehidupan keseharian, orang akan lebih senang
diajak bicara secara lembut, siapapun pasti tak akan suka dibentak-bentak,
diperlakukan kasar oleh orang lain. Bahkan seorang premanpun tak mau
diperlakukan begitu.
Dalam menulis juga perlu
melakukan hal yang sama. Kalau ingin melakukan kritik pada seseorang atau
lembaga, cara yang halus perlu dimunculkan pada karya tulisan kita. Jika memang
perlu disindir atau disentil, lakukan dengan cara yang tidak frontal dan
memerahkan kuping. Prinsipnya, menulislah dengan hati, karena biasanya sesuatu
yang dari hati, akan sampai ke hati pula. Siapa tahu, dengan begitu, orang akan
berbalik pikiran dan berubah menjadi lebih baik setelah membaca karya kita.
Kalau seorang penulis bisa melakukan kebajikan semacam ini, betapa mulianya
dia.
4
Mulailah dari hidupmu
Banyak orang yang
kesulitan mau menulis apa. Tidak menyadari bahwa setiap manusia, perjalanan dan
pengalaman hidupnya pasti punya sesuatu yang menarik, sesuatu yang unik.
Bukankah ini inspirasi tersendiri ?. Ya, menuliskan cerita-cerita kita.
Torey Haden penulis buku
“Sheila”, buku yang laris manis itu, pernah mengatakan “Aku sama seperti
kalian, yang membedakan hanya karena Aku menuliskannya”. Begitulah, ia
menuliskan pengalaman hidupnya sebagai seorang guru untuk anak-anak “catat mental”,
ternyata buku buku itu digemari masyarakat karena temanya yang menarik, tentu
juga karena gaya penceritaannya yang menyentuh jiwa.
Lain dengan
Bayu Gawtama (gawtama.blogspot.com), Ia rajin menuliskan catatan hariannya yang
sampai saat kini 3 buku telah terhasilkan. Ceritanya cukup sederhana,
lagi-lagi menarik karena berbasis pengalaman dengan sentuhan personal yang
khas. Begitu juga novel “Laskar Pelangi” Karya Andre Hirata
(www.sastrabelitong.multiply.com), kisahnya tak lain adalah pengalaman masa
kecilnya.
Kini, saatnya menulis
sesuatu yang dirasa menarik dalam hidup, yah siapa tahu kelak layak diterbitkan
menjadi buku. Siapa tahu laris, siapa tahu kelak kita menjadi penulis hebat.
Siapa tahu...siapa tahu.
5.
Tradisi kaum intelektual
Menulis itu tradisi kaum
intelektual. Jika ada problem serius di mata umum (publik), ia menulis untuk
menjelaskan duduk masalahnya. Kemudian, punya alternatif pemikiran, bagaimana
jalan keluar dari masalah tersebut. Belum cukup rasanya sebutan intelektual
kalau ia tak punya karya (tertulis) satupun.
Menulis, sampai hari ini
masih menjadi tradisi kaum intelektual. Dengan membaca tulisan, baik artikel
atau buku, kita akan mendapatkan pemahaman yang cukup dan utuh tentang sebuah
pokok permasalahan. Hal ini kan sangat berbeda kalau hanya sekedar ucapan
semata.
Demikianlah sekilas
bagaimana gairah menulis itu bisa kita munculkan. Saatnya sekarang adalah
mempraktekannya. Seperti kata Kuntowijoyo (alm), Budayawan Jogjakarta), untuk
bisa menulis cukup mudah dan sederhana, ”Duduk dan Lakukan”. Itu saja. (*)
0 Komentar
SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)