Rumah Dunia! (Ini ceritaku, apa ceritamu?)

        Ikuti Kompetisi Blog Kebahasaan dan Kesastraan 2011. Klik di SINI
Rumah Dunia! 
(Ini ceritaku, apa ceritamu?)
Pertama kali ke RD
        Kalau boleh menertawakan kebodohan sendiri, aku ingin terbahak dan terpingkal dengan kebodohan yang pernah aku lakukan. Bukan mengapa? Aku menganggapnya ini sungguh bodoh. Ah! Mungkin kalian akan menganggap aku gaje alias gak jelas! Well, akan aku kisahkan sedikit mengenai kebodohan yang membawa keberuntungan itu, siapa tahu bisa menginspirasi. Begini, kawan;

            Siapa yang tak kenal Rumah Dunia? Aku rasa tidak ada! Kecuali kalian yang tidak berjenis sama denganku. Maksudku mempunyai hobi yang sama, membaca! Ya! Membaca, kawan! Gara-gara membaca aku seperti ini. Aku mengenal Rumah Dunia dari majalah bekas yang aku temukan di perpustakaan sekolah saat aku masih berseragam putih abu-abu di sebuah pelosok negeri di ranah Sumatera Barat sana. Jaman-jaman masih imut. Annida nama majalah itu. Di sana aku baca rublik yang namanya BCN. Sebuah halaman yang mengupas tuntas seluk-beluk bagaimana menjadi seorang penulis. Dari sana aku kenal GOLA GONG. Dia sebut-sebut kata Rumah Dunia.  Penasaranku muncul, dua onggok kata itu menjadi sebuah tanya bagiku. Sehingga untuk selanjutkan aku selalu menanti kiriman majalah Annida dari donatur yayasan tempat aku bersekolah. Maklum, aku menimba ilmu di sebuah SMA boarding school yang hanya boleh pulang sekali dalam sebulan. Setiap jatah pulang kampung, aku sempatkan berburu majalah Annida di kota kecil Bukittingi sebelum aku melanjutkan perjalan pulang ke rumah di Batusangkar. Rublik BCN menjadi santapan paling nikmat dalam perjalanan menyusuri horizon berkelok di pinggang Gunuang Marapi. Tulisan GOLA GONG menjadi magnet yang selalu menarikku untuk membacanya. Waktu itu aku mengenal Rumah Dunia dan GOLA GONG ya sejauh itu, tidak lebih!

            Tahun 2008 aku lulus SMA. Saat SNMPTN aku memutuskan untuk kuliah di pulau Jawa. Dimanapun itu, yang penting aku harus keluar dari Sumatera Barat. Hormon ‘Merantau-’ku mulai bekerja dan merangsang. Maka luluslah aku di Univ. Sultan Ageng Tirtayasa yang belakangan aku ketahui ternyata berada di Banten. Alamak! Mampuslah aku, begitu pikirku waktu itu.

            Waktu terus berputar, kegiatan kuliah yang menguras otak sering kali membuatku ‘galau’ bila berhapadan dengan mata kuliah yang paling aku tidak suka. Hitungan! Arg! Apalagi pengalaman tragedi IPK Nasakom pernah menimpaku. Aku makin galau, aku stress! Aku ingin pulang kampung saja. Ondeh Mandeh, Si Chogah baru satahun marantau alah pulang? Hahay! Tak sanggup aku mendengar Mandeh berucap demikian bila niat ‘gila’ku itu benar-benar aku laksanakan.

            Dalam suasana masih ‘galau’, aku bertemu dengan Hilal Ahmad di Facebook. Kebetulan waktu itu aku ingin menjadi model dalam sebuah rublik yang dia pegang di koran lokal di propinsi ini (contoh brondong gak tau diri, jangan dicontoh ya!). Beberapa kali berkomunikasi, kami makin akrab, mungkin karena ada persamaan hobi_yang pasti persamaan nasib di antara kami. Sama-sama perantau. Bedanya aku dari Padang, sedangkan Hilal dari Lampung. Dari pertemanan itu aku belajar banyak hal dari Hilal; salah satunya tentang menulis. Aku lihat cerpen-cerpennya di koran, di majalah, di note, di situs-situs online. Bah! Ini orang keren bana! Pikirku, aku harus contoh dia.

            Maka aku terbius untuk menulis di media. Aku praktekkan apa yang pernah aku baca di BCN, aku laksanakan apa yang pernah di tulis GOLA GONG di sana. Maka jadilah satu cerpen, dua cerpen, dan catatan-catatan kecil lainnya. Aku kirimkan ke koran lokal di sini, ke Annida. Ai! Ternyata dimuat sodara-sodara! Aku bisa seperti Hilal. (Tentunya prosesnya tidak semudah itu, banyak lika-liku yang harus aku lewati; ditolak, dicuekin, sampai dikacangin: curcol ni yee?).

            Pertengahan 2010, aku makin gencar ‘menyaingi’ eksistensi Hilal di dunia kepenulisan (cieeee... preet, hehee). Entah bagaimana awalnya, aku pun lupa, suatu hari Hilal mengirimkan pesan ke inbox-ku. Dia katakan Rumah Dunia mengadakan proyek penerbitan antologi cerpen. Lalu dia ajak aku untuk turut serta. Hah? Rumah Dunia? Seketika memoriku mengingat dua onggok kata yang dulu menjadi tanya bagiku. Rumah Dunia di Serang? Bah! Alamaaaak, betapa bodohnya aku ini, dua tahun keberadaanku di Banten, aku baru mengenal kalau kata yang sering disebut-sebut itu berada di kota ini? Sungguh lucu, bukan?

            Semenjak itu, aku bertekat ‘kebodohan’ ini tidak boleh berlanjut. Maka dengan muka malu-malu aku datangi Rumah itu. Subhanallah! Aku tengah berada di Rumah Dunia! Rumah yang dulu menjadi tanya di otakku. Lantas, seketika jiwa narsisku meledak. Jepret! Jepret! Berpose di gerbang Rumah Dunia adalah moment paling dahsyat yang selalu aku ingat.

            Kunjunganku selanjutnya bukan sekedar untuk pose-pose. Aku ingin melihat secara langsung sosok yang bernama GOLA GONG itu. Maka, ketika peluncuran antologi Gilalova, akhirnya orang itu berhasil juga aku rekat erat di kornea mataku. Low Profile! Santun! Dahsyat! Itulah kata yang sementara bisa aku katakan untuk menggambarkan sosok luar biasa itu.

            Semenjak itu, aku selalu menyempatkan diri berkunjung ke Rumah Dunia. Memang, karena aku mengenal Rumah Dunia ketika telah berada di semester banyak, maka kedatanganku tidak bisa terlalu intens. Namun, ketika Rumah Dunia mengadakan acara kepenulisan dan literasi, aku selalu menyempatkan diri untuk ‘nongol’.

            Di Rumah Dunia aku menemukan fenomena keakraban dan kebersamaan yang berkualitas. Sebuah rumah yang mewadahi orang-orang macam aku ini untuk berkembang, untuk mengeksplor diri, untuk mengekspresikan diri mereka lewat tulisan. Di Rumah Dunia aku menemukan keluarga baru, keluarga yang mengerti aku. Tawa, canda, dan cerita mengalir begitu saja. Lebur dan meluber macam lelehan sebatang coklat yang dipanaskan. Tawa yang nikmat, tawa yang mendamaikan. Tawa kami bersama GOLA GONG, bersama para pencinta literasi. Ah! Andai saja kebeodohanku yang terlambat mengenal Rumah Dunia tak pernah terjadi, tentu aku tidak akan pernah mengalamai hal yang namanya ‘galau’ sebagai mahasiswa. (*)

*Ciruas-Serang, kontrakanku yang sumpek; 6 Juli 2011- 02:47  Pagi
Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar