Ikutlah Bersama Saya, Kawan!

Ikuti Kompetisi Blog Kebahasaan dan Kesastraan 2011. Klik di SINI
Menebus Mimpi dari Menulis

Cerpen perdana di Tribun Jabar
     
          Saya selalu merasakan sensasi luar biasa setiap kali menerima/ mengambil honor tulisan. Begitupun tadi siang. Kondisi ‘dompet’ saya lagi sereg-sementara kegiatan Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) tinggal hitungan hari. Saya lagi butuh daya cepat. Dan keputusan untuk tidak menerima kiriman dari kampung sudah saya ikrarkan semenjak memutuskan untuk berkuliah keluar dari Sumbar. Bukannya tidak mau menerima kiriman, tapi memang kondisi orang tua yang tidak memungkinkan untuk itu. Bukan pula mengumbar ‘kemiskinan’ keluarga, untuk makan dan sekolah adik-adik tercukupi oleh bonyok itu sudah sangat Alhamdulillah.


         Dan yang namanya mahasiswa tentu tidak luput dari yang namaya biaya! Biaya SPP, biaya makan, uang kost-an, transportasi, biaya nonton (heh!), biaya foto copy, dan biaya-biaya lainya. Lalu ketika melihat kondisi dompet yang kosong melompong, aduhai! Saat-saat seperti inilah yang paling menyedihkan bagi seorang mahasiswa perantauan yang jauh dari orang tua.

           Pengalaman itulah yang menuntut saya untuk memutar otak. Saya harus tetap menjaga cita-cita dan harapan Abak dan Amak saya di kampung. Saya harus menyelesaikan kuliah saya. Saya butuh uang!
Entah dari mana datangnya. Mungkin hanya Tuhan yang tahu, jalan itu saya temukan dari menulis. Ya! Menulis. Karena menulislah usaha yang tidak membutuhkan modal besar. Apasih modal untuk jadi seorang penulis? Cuma 26 abjad A sampai Z dan beberapa tanda baca. Laptop, printer, email, amplop; itu hanya pelengkap saja saya kira.

          Tidak terasa malam ini sudah berada di Juli 2011, itu berati sudah hampir satu tahun pilihan ‘menulis’ ini saya jalani. Memang sebuah perjalanan yang belum terlalu lama. Tapi jangan dikira satu tahun itu saya lalui dengan mudah. Pernah mengalami yang namanya tertatih, lerlunta, merana, dan berdarah-darah. Saya masih ingat ketika ditertawakan teman satu gank saya, ketika saya sibuk mengirimi berbagai redaksi koran dan majalah dengan cerpen-cerpen ‘jelek’ saya satu tahun yang lalu. Ketika kami berpapasan atau sedang menikmati sepiring nasi goreng dan segelas the Sisri seharga Rp 6000 di takol, sering kali guyonan yang sebenarnya bikin nyesek saya dengar. “Hallo calon penulis…” , “Penulis gagal!” lalu tawa kami pun pecah. Tertawa! Ya, saat itu saya ikut tertawa, padahal hati ini perih. Tapi ya sudahlah! Ini konsekuensi yang harus saya terima dengan keputusan untuk ‘murtad’ dari jalur saya sebagai mahasiswa teknik.

              Dan hari ini, perih itu setidaknya sudah terobati. Memang jumlah honor yang saya terima tidaklah seberapa. Tapi dari sanalah dana KKM saya tutup, dari sana juga saya bisa mengisi ulang pulsa modem saya, dari sana saya bisa merasakan nyamannya memakai kemeja, kaos, dan sepatu beraroma distro. Dari sana pula saya berkesempatan merasakan sensasi update status melalui Blackberry. Karena menulis saya jadi tahu bedanya minum secangkir kopi instan yang saya beli di warung sebelah kost-an dengan coffee di Starbuck, dari menulis saya jadi merasakan bagaimana rasanya nyasar di Jakarta. Ah! Mungkin ada yang berpendapat, cuma itu yang didapat dari menulis? Howek! Hei! Ini bukan pengalaman biasa buat saya, kawan. Mustahil saya bisa mendapatkan itu semua kalau saya tidak berani untuk menulis. Mustahil saya bisa ber-say hello dengan Pipiet Senja, haha hihi dengan Fahri Asiza, Gol A Gong, Tias Tatanka, Triani Retno, atau berdiskusi mengenai sastra dengan Guntur Alam, bersahabat dengan Syamsa Hawa, Senda Irawan, Donatus A Nugroho, Benny Arnas, atau Asma Nadia. Bah! Ini bukan sebuah pengakuan kesombongan saya, sungguh bukan sama sekali.

             Lalu bagaimana mekarnya pipi saya, bagaimana saya menahan haru ketika mengirimkan kerudung buat Amak, kemeja Batik buat Abak, dan pulsa ketika si Icen mengirim saya SMS “Uda, minta pulsa Cen yo”. Dan ketika si bungsu Rafly yang meminta dibelikan buku dan tas sekolah ketika dia kenaikan kelas kemaren. Seketika kenangan membawa saya ke masa 10 tahun silam. Dulu setiap kenaikan kelas, saya selalu mengirimkan surat ke Mamak dan Etek saya di Pekanbaru. Isinya tak lain minta dibelikan buku dan seragam baru. Hahahaaa, dan sekarang giliran saya yang dapat ‘teror’ itu dari si Rafly.

           Ayolah kawan. Ikut dengan saya. Kita menulis bersama. Saya tidak meminta kalian untuk investasi seratus ribu, dua ratus ribu, atau tiga ratus ribu ketika diajak ikut MLM. Kalian tidak harus menyewa tempat untuk buka lapak ketika berjualan asesori. Hanya selembar kertas dan pulpen. Itu tok! Ayo kita berpetualang ke dunia fantasi, ayo tuangkan uneg-uneg kalian lewat tulisan. Setelah itu kita nikmati hasilnya.

           Saya punya pengalaman yang saya sendiri tidak pernah memikirkannya. Dan saya menilai itu lucu. Begini;
Minggu lalu saya menerima honor tulisan saya yang dimuat di sebuah koran lokal. Seperti biasa, setiap minggu saya membiasakan untuk membeli satu buku. Ini investasi buat saya. Siang itu, dengan kaos oblong dan PDH Kampus saya mendatangi toko buku Tisera di Mall Serang. Tengah asyik memilih-milih buku, beberapa ABG berseragam SMA bisik-bisik di sebelah saya. Karena saya termasuk pemuda yang tidak sombong dan senang berteman, maka tersenyumlah saya.

           “Ada apa, Neng?’’ saya bertanya sembari tersenyum manis.
           “A’ Setiawan Chogah ya?” sahut salah seorang dari mereka.
           Saya cukup kaget. Seketika memori saya berputar, mengingat kejadian apakah saya pernah mengenal mereka. Ah! Rasanya wajah-wajah mereka baru di mata saya.
           “Hehee… Iya, kok tahu?” Saya cengengesan bercampur sedikit grogi. Ada ABG unyu gitu loooh,
           “Waktu itu liat Aa’ di loncing Gilalova,” jawabnya dengan senyum yang tak kalah manis dengan senyum saya tadi.
           “Oooo…” Saya ber O dengan hati berbunga-bunga sembari berjabat salam dan kenalan dengan mereka.

            Nah! Bukan bearti saya merasa saya jadi artis. Bukan sama sekali. Tapi bagaimana mungkin mereka mengenal saya kalau saya tidak menulis di Gilalova? Lagi-lagi pengalaman kenalan dengan ABG unyu itu gara-gara menulis.
Bagaimana kawan? Masih ragu untuk ikut bersama saya? Oke… Saya tidak akan memaksa. Karena menulis itu pekerjaan yang wajib dilakukan dengan hati. Kalau kalian terpaksa melakukannya bagaimana mungkin akan melahirkan tulisan yang indah dan menghanyutkan (minjem slogannya STORY).

            Saya tunggu cerita dari kalian, siapa tahu cerita kalian lebih wah dan barangkali saya tertarik untuk ikut serta. Hehee.

Kontrakan Abang, Ciruas-Serang, (Selasa Malam, 12 Juli 2011-11:27 PM)
*Saya sertakan ucapan terima kasih buat Teh Aiko Ary (Tribun Jabar), honornya sudah nyampe Teh, Alhamdulillah; bisa makan duren bareng di kost-an Alm. Abang. Nuhun, ^^
Baca juga:

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Postingan keren kak..
    pengen deh punya karya nampang di toko buku kayak punya kakak,,
    jadi termotivasi buat terus nulis.. :)

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)