Tidak Ada yang Tidak Mungkin

Tidak Ada
yang Tidak Mungkin
(*Dimuat di rublik Dapur Penulis Annida, 11 Juni 2011
 

Sebenernya saya malu untuk ikut ‘nimbrung’ di rublik baru Nida ini, tapi setelah saya pikir-pikir, kalau cerita saya ini bisa menginspirasi sobat semua, kenapa tidak? 

    Oke, sebelumnya saya ingin menggarisbawahi, saya bukanlah penulis besar, apalagi terkenal. Apalah saya ini, hanya seorang mahasiswa salah jurusan yang tergila-gila dengan dunia literasi. Baru menulis beberapa cerpen dan sedikit antologi. Alhamdulillah. Tapi dari pengalaman yang sedikit itu saya ingin berbagi dengan sobat Nida semua, barangkali ada hikmah, pelajaran, maupun motivasi yang bisa dipetik. Amin.

    Dari awal tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang ‘penulis’ di benak saya. Saya sama seperti pelajar cowok kebanyakan. Mungkin yang membedakannya, saya bukan tipe laki-laki sporty yang jago menggiring bola, bukan tipe laki-laki romantis yang piawai memainkan gitar, juga bukan tipe laki-laki pemberani yang jago karate. Ah! Saya rasa bagian ini tidak penting. Hehee.

    Saya lebih memilih bacaan ketimbang hal-hal di atas. Menyedihkan memang, ketika diolok-olok sebagai ‘banci’, ‘kuper’, ‘gak gaul’, kutu kupret, eh kutu buku’ sama teman-teman saya. Tapi ya bodo amat_begitu reaksi saya waktu itu. Saya begitu jatuh cinta dengan bacaan semenjak bisa mengeja rangkaian huruf dari bangku kelas satu SD. Membaca menjadi seperti candu, apapun saya baca. Saya menemukan lembaran koran bekas bungkus nasi ramas di pinggir jalan ketika pulang sekolah (1996-2002), saya pungut dan saya baca. Saya rela tidak jajan asalkan bisa membeli majalah Bobo bekas kesayangan saya setiap hari Jum’at di pasar yang hanya ada sekali dalam satu minggu di kampung saya di Atar sana, sebuah Nagari di pelosok daerah Sumatera Barat. Saya punya koleksi komik Tatang S yang melegenda dengan Desa Tumaritisnya itu, menanjak masa SMP bacaan saya mulai lebih dewasa (hehee). Saya mulai membaca novel-novel Freddy S, Wiro Sableng, Majalah Aneka, dan menemukan kenikmatan setelah berkenalan dengan Annida di tahun 2003. Saya jatuh cinta dengan cerpen-cerpen Annida, sosok perempuan berjilbab biru lebar dan bermata dower begitu membuat saya tersepona. Tak hanya itu, rublik Bengkel Cerpen Nida yang dikelola Mas Gola Gong menularkan virus ‘mengarang’ pada saya. Ulasan cerpen yang diasuh Mas Joni Ariadinata selalu menjadi halaman yang wajib saya lahap. Bermodalkan cerpen-cerpen Annida dan rublik BCN, saya dengan ‘tidak tahu malu’ mulai coba-coba menulis cerpen. 

    Dalam proses pembelajaran untuk menjadi seseorang yang bisa menulis itu, saya mempunyai sebuah buku catatan khusus tempat saya ‘ngoret-ngoret’ (saya masih ingat, waktu itu saya menggunakan buku big boss). Di sanalah saya tuangkan ide-ide yang beseliweran di benak saya. Saya menulis tentang mualaf, tapi baru beberapa paragraf tiba-tiba mentok dan dibiarkan begitu saja, begitu seterusnya. Akhirnya saya tidak berhasil melahir sebuah cerpen yang oke dan keren. 

    Tapi emang dasarnya ‘bandel’ kali ya, saya gak mau berhenti, saya praktekkan apa yang disampaikan Mas Gong di BCN. Bagaimana bermain di setting, apa itu alur, dan sebagainya. Bagaimana Mas Joni mengulas cerpen Annida, saya simak sedetail mungkin. Tapi tetap saja cerpen buatan saya tidak seciamik cerpen-cerpen Nida yang membuat saya lemes, tersenyum, dan menitikkan air mata setelah membacanya. 

    Lantas, dengan sebuah tekad yang bulat, tahun 2006 saya berhasil menyelesaikan cerpen perdana saya (sampai ending. Red). Judulnya Jingga Langit Pusara, itu pun setelah melewati beberapa kali revisi dan corat-coret. Cerpen itu saya salin lagi ke kertas double folio, saya tulis serapi mungkin. Lalu saya minta teman-teman se-asrama untuk membacanya (waktu itu saya bersekolah di SMAN Agam Cendekia-Boarding School, Maninjau-Sumatera Barat). “Bagus Ded!” begitu tanggapan mereka. Saya masih ingat, sahabat yang selalu menjadi pembaca pertama saya adalah Ruddy Nefid. Nefid selalu mengkritisi cerpen saya habis-habisan. Begitupun dengan saya tidak segan-segan mengkritik cerpennya Nefid. Proses ini secara tidak langsung mengasah dan memperkaya diksi dan gaya bercerita kami. Saya akan sangat puas ketika Nefid mengatakan cerpen saya bagus. Dasar!

    Sampai suatu ketika tiba-tiba saja ada keinginan untuk meminta pendapat guru Bahasa Indonesia tentang cerpen yang saya tulis. Beliau adalah Bunda Silvia Marni. Dan ketika saya menyerahkan Jingga Langit Pusara, saya sangat kaget ketika beliau mengatakan “Ya ampun Deeed, ini bagus, Nak! Kirim ke media ya!”. Hah? Yang benar saja? Saya masih tidak percaya dengan saran Bunda Icin. Akhirnya dengan bujukan dan sedikit paksaan saya merelakan arsip cerpen itu di bawa Bunda dan dia ketik dalam Microsoft Word di komputer pribadi beliau. Secara diam-diam Bunda mengirim cerpen itu ke Padang Ekspres.

    Satu minggu, dua minggu, saya sudah melupakan perihal cerpen itu. Bunda sepertinya juga tenang-tenang saja. Ah! Pasti cerpen itu tidak akan dimuat. Orang jelek ini, ^^

    Ai! Sampai pada suatu Senen pagi, saya merinding bukan main. Pipi saya merah, badan gemetaran. Bunda Icin mempermainkan perasaan saya, sodara-sodara. Entah apa maksud Bunda Icin menempelkan selembar koran di mading utama yang ada di sekolah kami. Di tengah kerumunan siswa-siswa lain saya menyusup. Alamaak! Di sana terpampang dengan huruf yang besar judul cerpen saya yang dibawa Bunda beberapa minggu yang lalu. Ih! Bunda gak lucu! Hihihiii

    Semenjak itulah, menulis seperti candu yang wajib terpenuhi setiap saat. Namun lagi-lagi saya tidak berani mengirimkan ke media. Lagi pula waktu itu saya tengah mempersiapkan Ujian Nasional SMA. Waktu untuk menulis tersita, ludes digantikan dengan kegiatan belajar, diskusi, latihan soal UN, dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan kelulusan. Stress!

    Tahun 2008 saya merantau ke Banten. Kebetulan lulus di Jurusan Teknik Industri Univ. Sultan Ageng Tirtayasa. Alamaaak! Jurusan apa pula itu? Saya keteteran, lagi-lagi stress ketika berhapadan dengan mata kuliah Kalkulus, Statistik, dan kawan-kawannya itu. 

    Di tengah kondisi ‘galau’ saya menjadikan Annida sebagai penawar agar kegalauan saya tidak berlarut-larut. Cuma beberapa edisi saja, pada akhirnya saya harus menelan kesediahan yang kental setelah Annida memutuskan untuk tidak lagi beredar dalam bentuk majalah. Saya sempat ngambek dan berhenti membaca (apalagi membaca diktat kuliah, hihiii).

    Dengan perasaan masih kecewa, akhirnya saya ikhlaskan hati untuk mampir ke Annida-Online. Wiiiih! Keren juga nih, walaupun rasa rindu sama Annida di dunia nyata masih belum terobati, tapi kehadiran Annida di dunia maya cukup membawa angin segar dalam situasi galau yang makin menjadi-jadi. Lebay ah!

    2010. Iseng-iseng saya mengirimkan 2 buah cerpen ke Annida lewat email. Bidadari di Lampu Merah dan Ridho Sahabatku. Kedua cerpen ini saya tulis waktu SMA di Maninjau, tahun 2007.

    Jreng… Jreng… Jreng… Dua minggu kemudian Bidadari di Lampu Merah saya nongol. Horreee, saya jingkrak-jingkrak, nyebarin link cerpen itu di facebook, di wallnya Nefid, Bunda Icin, dan kawan-kawan semasa SMA. Tanggapan mereka beragam. Rata-rata bilang ‘selamat’ sih. Heheee. Beberapa hari kemudian disusul oleh Ibuku Sahabatku (yang judulnya awalnya Ridho Sahabatku). Saya makin terbius. Menulis menjadi kegiatan yang tidak terbatasi. Apalagi setelah menerima honor, au au au,,, bangganya luar biasa!

    Hari-hari selanjutnya saya mulai coba-coba kirim ke beberapa koran dan majalah, tentu saja Annida tetap menjadi sasaran utama. Alhamdulillah ada yang dimuat (kebanyakan ditolak sih, ^^), tapi itu bukan persoalan. 

    Tahun 2010 akhir, saya ditawarkan untuk ikut dalam Antologi oleh seorang cerpenis Rumah Dunia, Kang Hilal Ahmad (Saya baru tahu Rumah Dunia ada di Serang tahun 2010. Hohohooo). Tentu saja ini kesempatan yang tidak saya sia-siakan. Bukan main, dalam antologi itu ikut nimbrung guru saya waktu SMA (Baca; BCN di Majalah Annida). Siapa lagi kalau bukan Mas Gola Gong. Subhanallah. Mimpi apa saya semalam bisa satu buku dengan beliau. Saya harus akui, Annida yang memperkenalkan Mas Gong pada saya, dan melalui Antologi Gilalova#2 saya bertemu langsung dengan sosok luar biasa itu. Thank God. 

    Saya makin ‘gila’, ikut event nulis di sana-sini. Ikut berbagai pelatihan. Sekalipun itu di luar daerah, saya tidak peduli. Honor cerpen saya tabung untuk ongkos dan HTM pelatihan (Kapan lagi bisa main ke Jakarta dan bertemu penulis yang dulu hanya bisa dilihat di majalah dan koran saja, iya kaan? Heheee). Allah benar-benar canggih memprogram hidup makhluknya. Saya masih seperti bermimpi, ketika bisa mempunyai 5 buku Antologi dalam waktu 6 bulan. Bisa berkomunikasi dan berdiskusi dengan penulis-penulis yang dulu mungkin hanya mimpi di siang bolong untuk diwujudkan. Bertemu Mas Gola Gong, Mas Fahri Asiza, Mbak Reni Erina, Pak Donatus A Nugroho, Mas Mayako Aiko, Bunda Pipiet Senja, Pak Putra Gara, Radhitya Dika, Adzimatinur Siregar, dan nama-nama beken lainya. Oooooooh… Ini bukan mimpi, Mandeeeeeh. Bahkan bukan sekedar bertemu, tapi berada dalam satu majalah dan buku dengan mereka. Saya speachless!

    Begitulah sodara-sodara! Ketika kita yakin dengan kemampuan kita, minat kita; melalui usaha, doa, kerja keras, dan keberanian. Allah bisa melakukan apa saja. Saya yakin sobat Nida sekalian lebih dahsyat dari cerita norak saya ini. Ayo sobat!!! Ayo menari di key board komputermu, mainkan penamu, dan beranilah untuk mengirimnya ke media. Ditolak! Sekali dua kali itu belum seberapa. Ssssttt, bocoran, saya sering tuh direjeck sama Nida, hihiii.

    Ikuti setiap event menulis yang sekarang begitu menjamur di dunia maya. Event-event semacam itu akan mengasah kemampuan kita sob! Dan jangan lupa ikuti berbagai pelatihan menulis; itu sangat bermanfaat buat kita. Berbanyak membaca karya-karya penulis idola kita, awalnya memang akan mempengaruhi gaya bertutur kita, tapi lala-lama kita akan menemukan gaya kita sendiri. Bergabunglah dengan komunitas penulis, bersahabat dengan penulis-penulis senior, percaya deh, mereka akan dengan senang hati membagi ilmunya dengan kita. 

    Sebagai penutup, saya mau mengutip satu kalimat dahsyat alabumbum dari film 3 Idiots “Jadikan hasratmu sebagai profesimu, maka pekerjaan akan seperti sebuah permainan”, Ayo bermain kata, Sobaat!
Serang, 8 Juni 2011- 12:38PM

Kunjungin Postingan Aslinya di Annida-Online
Baca juga:

Posting Komentar

1 Komentar

  1. mantap kali tulisannmu ka... hebat..hebat..hebat.. plok..plok..plok..

    BalasHapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)