Ramuan Menjaga Gairah Menulis

 *Kang Arul

“Lemes gue, Kang.”

“Loh, kenapa?”

“Kerjaan banyak numpuk. Bla… bla….”

“Namanya juga orang kerja.”

“Ya, tapi bikin lemes nih. Saya perlu obat kuat biar greng.”

“Minum gingseng aja.”

“Tambah sate kambing?”

“Hmmm… buat seger badan atau apaan, nih?”

“Ya sekaian…”"Aih, doping itu mah.”

“Tapi sebenarnya bukan soal tenaga, Kang.”

“Nah loh, jadi soal apa?”

“Rasa…”

***

Suatu sore saya datang ke toko buku di kawasan Bintaro. Biasa, sebuah rutinitas yang sudah saya lakukan bertahun-tahun; mendatangi toko buku sekadar membaca buku terbaru tanpa mengeluarkan uang. :)

Rak pertama yang selalu saya datangi adalah majalah. Sebuah majalah film lllllllllllllllllll selalu menjadi lauk pertama yang saya kunyah. Minimal saya bisa update film terbaru keluaran Hollywood. Sayang tak ada majalah yang khusus membahas film India….

Setelah selesai baca majalah, saya mengunjugi rak buku lainnya. Tidak pernah harus rak ini atau rak itu; yang penting bisa mencari buku terbaru.

Saya mengambil sebuah buku. Kebetulan plastik pembungkusnya sudah lepas (atau saya yang lepas ya? *pura-pura mode on). Membaca halaman demi halaman… sampai seseorang tiba. Dari lirikan sekilas dia seperti mahasiswa. Saya cuek, maklum sedang konsen melahap buku baru.

Tak lama kemudian si mahasiswa itu mengeluarkan buku saku dan bulpen. Buku yang dibacanya disalin pelan-pelan. Serius sekali dia.

Saya penasaran, saya lirik dia, saya lirik buku yang sedang dibacanya, dan….

Deg…plash… saya melihat kaver buku itu akrab sekali. Bagaimana tidak akrab, wong kaver buku itu adalah buku yang saya tulis soal panduan bagaimana llllllllllllllllllllllllll    lllllllllllllll.

Saya jadi lupa dengan buku di tangan. Perasaan ini terasa sulit dituliskan; bagaimana buku yang saya tulis bisa dinikmati oleh orang lain. Ge er? Pastinya.

Tanpa diketahui, saya saksikan si mahasiswa itu sampai habis membacanya, habis menulisnya, dan meninggalkan rak buku tersebut. Saya ingin menikmati perasaan yang sedang menyelubungi hati saya. Menikmati sebuah kebanggaan yang mengalir di dalam darah dan, kalau mau lebay, sampai ke pori-pori serta mendirikan bulu kuduk. Beuuhhh…

Itulah perasaan yang selalu saya cari. Perasaan bangga dan bahagia karena karya kita bisa dinikmati oleh orang lain. Perasaan yang tidak bisa saya dapatkan secara instan. Duit atau ketenaran dalam menulis adalah relatif, tetapi perasan itu tak bisa diukur dengan nominal.

Itulah perasaan yang membuat saya selalu menemukan gairah dalam menulis. Perasaan yang ingin selalu saya temukan setiap memegang buku terbaru atau membaca artikel saya tayang di media cetak/online.

Itulah perasaan yang saya ungkap ketika host Ferdy Hasan, di salah satu tayangan televisi, bertanya kepada saya buku apa yang paling spesial. Saya menjawab, “Semua buku bagi saya memiliki kesan tersendiri. Semuanya spesial.”

Itulah doping bagi saya. Itulah pahala yang mengalir sebagai balasan usaha dan kerja keras saya dalam menulis.

Saya menikmati proses menawarkan naskah, proses berdialog dengan penerbit, proses diterima cum ditolak penerbit, proses melihat rancangan kaver buku, dan tentunya semua proses dalam menulis; saya tak jarang kelelahan, kehabisan modal, menyiapkan durasi panjang untuk membaca dan meneliti sumber, dan berjuang sampai halaman terakhir naskah selesai…

Inilah penghargaan yang tidak bisa saya nilai sama sekali….

***

“Kang, saya sudah bekerja dengan semangat 45.”

“Loh, kok bisa? Nggak pake doping?”

“Nggak.”

“Nah, terus?”"Saya menikmati pekerjaan saya.”

Saya manggut-manggut.

“Ini kontemplasinya lama banget…. saya yakin Kang setiap pekerjaan dan tempat kerja selalu ada masalah, selalu ada rintangan, dan selalu ada halangan. Tapi kalau kita menikmati pekerjan, saya yakin dua ribu persen kalau semuanya akan terlewati jika hati saya menikmati pekerjaan itu.”

Saya mendengarnya dengan seksama.

“Duit… itu ukuran yang tidak pernah habisnya. Ada temen saya kerja sebagai operator complaint sebuah provider, kerjanya mengeluh saja. Bagaimana tidak mengeluh karena kerjanya hanya mendengarkan orang marah-marah dan itu tidak pernah berhenti 8 jam. Padahal gajinya gede dan minggu lalu baru saja naik 1 juta, tapi tetep saja hatinya tidak bahagia. Dia mau keluar bulan depan.”

Saya merenungi kata-katanya.

“Yang diperlukan adalah menikmati perasaan itu dalam bekerja, Kang.”

Saya tersenyum…

“Kang…”

“Ya?”

“Boleh pinjem duit nggak? Mau jalan-jalan nih ke pantai. Buat nenangin perasaan.”

Aih,,,, @#@#@$%$&#@

(www.menulisyuk.com)
Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar