Dari Bobo, Annida, hingga Google



Tadi siang, secara iseng-iseng saya meng-googling nama sendiri. Entah kenapa tiba-tiba saja keinginan itu muncul begitu saja, saya ketikkan kata Dedi Setiawan. Lalu muncul sederat artikel yang memuat nama itu, yang jelas itu bukan “Dedi” saya. Keisengan saya makin menjadi-jadi, dengan begitu pedenya saya ketikkan kata “Setiawan Chogah”, alamaak! Itu tentang saya semua, sodara-sodara! Saya tersenyum cukup lama, memplototi layar notebook saya. Seketika pikiran saya melayang ke beberapa tahun silam, asal muasal mengapa Google bisa tahu tentang saya. Ceritanya begini;

Sebenarnya Setiawan Chogah itu bukan nama pemberian Amak dan Abak dari kecil. Saya terlahir dengan nama Dedi Setiawan. Hanya dua kata itu saja, tidak ada embel-embel lain.

Dari kecil saya tidak saya bercita-cita untuk menjadi seorang yang suka menulis (soalnya belum pantas disebut penulis). Ketika di sekolah bu guru menanyakan cita-cita saya apa, saya selalu menjawabnya ‘ingin jadi dokter’. Dokter itu seperti apa saya sendiri belum begitu kenal, yang saya ingat dokter itu suka mengobati orang sakit. Itu saja.

Lalu roda waktu terus berputar, tidak terasa saya sudah kelas 3 SD. Saat itulah saya berkenalan dengan Bobo. Majalah yang bergambar kelinci warna biru di bagian sampulnya. Saya langsung jatuh cinta, saya begitu tergila-gila dengan Nirmala, suka jengkel sendiri ketika membaca kejahilan dan kenakalan si Oki, kurcaci dari negeri dongeng itu. Saya juga tidak bisa tidur sebelum mengikuti petualangan Bona dan Rong-Rong, tertawa kalau membaca rublik Tak Disangka dan Arena Kecil. Oh ya, waktu itu sekitar tahun 1999. Saya menemukan Bobo bekas di pasar (pakan) yang kebetulan dekat dengan sekolah saya. Pasar itu hanya ada seminggu sekali, setiap hari Jum’at. Semenjak itu, hari Jum’at selalu menjadi hari yang saya tunggu-tunggu. Setelah seminggu menyisihkan uang jajan yang dan terkumpul dengan nominal seribu rupiah pada hari Jum’at, saya bisa membawa satu buah majalah Bobo edisi lama. Saya memang tidak sempat berlangganan Majalah Bobo edisi terbaru, disamping lapak Uni yang menjual majalah itu tidak ada Bobo terbaru, rasanya uang saya juga tidak cukup untuk membelinya, hehee. Itu berlangsung sampai saya lulus SD, tahun 2002.

Setamat dari SD saya melanjutkan ke SMP yang jaraknya cukup jauh dari pasar. Waktu itu uang jajan saya sudah naik menjadi seribu per harinya. Saya juga sudah terbiasa dengan bisnis kecil-kecilan. Membuat tas dari kardus bekas (ilmu dari membaca Bobo), kemudian saya jual ke teman-teman dan adik kelas saya yang masih di SD. Saya juga berjualan buah rambutan, mencari kayu bakar sepulang sekolah, mengumpulkan pasir di sungai, atau membuat koprah. Ada kalanya saya menyewakan loleksi Bobo saya pada teman-teman dengan membayar dua tarus rupiah satu hari. Dan hasilnya lumayan untuk tambahan uang jajan saya. Senangnya lagi, setiap Jumat saya bisa membawa dua sampai tiga majalah Bobo bekas ke rumah dan membacanya secara sembunyi-sembunyi (maklum kan udah SMP). Itu berlangsung sampai saya kelas tiga, dan ketika saya kumpulkan, koleksi Bobo saya sudah menumpuk di kamar.

Tahun 2004 akhir, secara tidak sengaja saya membaca majalah yang kebetulan dibawa oleh seorang teman ke sekolah. Saya masih ingat, halamannya masih hitam putih. Saya lihat edisinya, terbit tahun 1992. Annida nama majalah itu. Saya lihat, banyak gambar perempuan berjilbabnya, saya baca cerpen-cerpen yang ada di sana. Alamaaak! Kereeen!!! Dan saya pun jatuh cinta (sensasinya beda ketika pertama kali saya jatuh cinta sama Bobo). Mulai saat itu saya selalu memburu teman saya itu dengan pertanyaan tentang Annida. Ada Annida lagi gak? Pinjem ya? Besok bawa ya? Saya bawa pulang ya, satu hari saja? Saya seperti ketergantungan.

Seperti yang saya katakan tadi, perkenalan saya dengan Annida terjadi di tahun 2004 akhir. Saya sudah mau lulus SMP. Dan saya pun (harus) melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Berhubung keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung untuk tetap tinggal bersama Amak dan Abak di kampung, saya menerima tawaran Paman (sepupu ibu) untuk bersekolah di Payakumbuh. Di sinilah hubungan saya dan Annida semakin intens, Payakumbuh adalah sebuah kota kecil, jauh lebih maju dari kampung saya yang hanya ada pasar satu kali dalam seminggu .Di Payakumbuh saya bisa mendapatkan Annida terbaru tiap bulannya. Ai! Ternyata kedekatan saya dengan Nida tidak berjalan mulus sodara-sodara. Itu tahun 2005, saya masih ingat, cover Annida identik dengan cewek. Jadilah saya bahan olok-olokan oleh teman-teman baru saya, awalnya cukup membuat kuping panas, tapi setelah saya jelaskan seperti apa Annida yang sesungguhnya, akhirnya saya pun dapat dengan bebas membawa si Nida kemana saja. Heheee.

Februari 2006 saya pindah ke Maninjau, Alhamdulillah waktu itu saya mendapat beasiswa full dari pemerintahan kabupaten Lima Puluh Kota untuk belajar di sebuah sekolah asrama (boarding school) di kabupaten Agam. Sebuah sekolah unggulan Sumatera Barat. SMAN Agam Cendekia nama sekolah itu. Hanya 15-20 murid satu kelas, melalui seleksi masuk yang ketat pula. Kepindahan saya ke Maninjau dan bersekolah di sekolah berasrama yang hanya diizinkan keluar satu kali sebulan membuat saya berfikir bahwa ini hubungan saya dengan Annida mungkin harus dipending untuk beberapa tahun. Ai! Ternyata saya salah sodara-sodara. Malah di Agam Cendekia saya menemukan berbagai kemudahan untuk tetap berhubungan dengan Nida. Salah satu guru saya ternyata punya koleksi Annida cukup lengkap, dan beliau dengan berbaik hati menyumbangkan koleksinya itu ke perpustakaan sekolah kami.

Ahai! Dapatlah dibayangkan, bagaimana reaksi anak-anak yang haus bacaan ketika disuguhkan majalah Annida. Semuanya berebutan, ada yang secara diam-diam membawa Nida ke asrama, lalu kami mebacanya secara bergantian. Di AC lah saya menemukan edisi-edisi yang sebelumnya belum sempat saya baca, saya menemukan bagaimana cerita mbak Syamsa Hawa mengirimkan puluhan ceritanya ke redaksi Nida dengan tulisan tangan yang kata mbak HTR mirip cakar ayam (pisss mbaaak), saya jadi bisa membaca cerpen perdana mbak Samsa Hawa yang berjudul Dialog Dua Janin, saya juga jadi tahu ternyata mbak Syamsa Hawa itu bernama asli Sinta Dewi. Itu semua saya tahu ketahui di Agam Cendekia.

Di tahun yang sama saya masih seorang Dedi Setiawan yang hanya sebagai ‘pembaca’. Hanya itu. Lalu… entah karena apa, tiba-tiba ada hasrat kalau suatu hari nanti nama saya bisa muncul di majalah ini. Di pikiran saya waktu itu, saya harus bisa menulis cerpen. Lalu dimulailah petualangan itu, saya menyediakan sebuah buku tulis big boss untuk dicoret-coret, mencoba menulis sebuah cerpen seperti cerpen-cerpen yang ada di Annida. Ondeh Mandeh, ternyata tidak mudah, untuk membuat satu paragraf kalimat pembuka yang ‘cantik’ saja susahnya minta ampun.

Tiba-tiba muncul ide ‘gila’. Plagiat! Ya!!! Saya memplagiat cerpen-cerpen yang pernah muncul di Annida (Eiit, persisnya bukan plagiat sih). Saya copot kata-kata yang menurut saya keren dari beberapa cerpen, saya kumpulkan dalam buku catatan saya. Saya tiru, saya gabungkan, aha! Saya berhasil membuat sebuah kalimat pembuka yang menurut saya sudah keren sekali, heheee.

Waktu itu saya menulis untuk saya bacaan sendiri, ada kepuasan ketika saya berhasil menyelesaikan dua sampai tiga paragraf. Dan ketika saya kembangkan dalam sebuah cerita yang utuh, hasilnya tetap ketauan kalau saya tidak berbakat menulis cerpen. Padahal itu cuma empat halaman buku tulis saja lho, tapi saya butuh waktu sampai berminggu-minggu untuk menulisnya. Hahaaa, ckckckck.

Suatu hari, ketika keinginan ingin tampil di Annida sudah tidak terbendung lagi, saya mati-matian menyelesaikan cerpen pertama saya. Saya tulis, saya coret lagi, tulis lagi, begitu seterusnya sampai saya merasa ceritanya sudah bagus dan kalimatnya sudah indah seperti cerpen-cerpen di Annida. Akhirnya tahun 2006 , jadilah cerpen pertama saya Jingga Langit Pusara. Hmmm, saya begitu puas ketika menyelesaikan cerpen ini, setelah saya putuskan kalau cerpen ini sudah oke, saya salin lagi ke dalam buku tulis saya dengan rapi. Kemudian saya minta teman-teman di asrama untuk membacanya. Saya teror guru bahasa Indonesia saya (Bu Silvia Marni) untuk memberi masukan dan kritikan, atau menambahkan/ mengurangi kata-kata (yang akhirnya saya ketahui kalau nama kerennya adalah diksi).

Saya keget luar biasa ketika Bu Sil meminta saya agar cerpen ini dikirim ke media? Hah? Mana mungkin? Begitu respon saya waktu itu. Tapi akhirnya saya menerima tawaran bunda Icin (Bu Sil. Red), beliau dengan senang hati mengetikkan cerpen saya ini di komputer di rumahnya. Beliau juga yang mengirimkan ke Padang Ekspress dengan uang beliau sendiri. Satu minggu, dua minggu, saya sudah melupakan cerpen itu. Saya kembali menulis cerpen-cerpen baru, walau sebenarnya tidak pernah sampai selesai. Sampai pada suatu Senen. Anak-anak berkerumun di mading sekolah (satu-satunya mading di sekolah saya waktu itu). Dengan penasaran saya pun ikut berkerumun. Alamaak, satu lembar koran terpajang dengan manisnya di sana. Lalu dengan gagahnya tertera tulisan ‘JINGGA LANGIT PUSARA’, oleh Dedi Setiawan (SMAN Agam Cendekia).

Tiba-tiba pipi saya panas, tangan saya bemetaran, dada saya menggelembung, saya merasakan sensasi luar biasa. Ai! Bunda Iciiin, ini pasti kerjaanya Bunda Icin. Begitulah sodara, akhirnya Jingga Langit Pusara terbit di Padang Ekspres tahun 2006. Semenjak itu saya begitu tergila-gila dengan menulis, dimanapun saya berada pikiran saya melanglang buana kemana-mana. Buku tulis saya penuh dengan coret-coretan. Tapi itu hanya bertahan sebentar. 2007 saya sibuk mempersiapkan UN. Waktu yang semula saya gunakan untuk corat-coret berganti dengan menyelesaikan soal-soal, diskusi, malamnya belajar tambahan, saya tidak lagi menulis, kalau pun ada waktu senggang hanya saya gunakan untuk membaca, membaca, dan membaca.

Sodara-sodara, ternyata saya hanya mampu mengantarkan satu cerpen dalam kurun waktu 2006-2008 ke media. Lulus SMA, saya disibukkan dengan persiapan SNMPTN. Balajar mati-matian. Saya harus lolos di Perguruan Tinggi Negeri. Dan Alhamdulillah, saya berhasil masuk Teknik Industri Univ. Sultan AGeng Tirtayasa, Banten. Teknik Industri! Hahaaa, tidak ada hubungannya dengan tulis menulis, apalagi menulis sastra. Awal-awal kuliah saya keteteran, tugas, laporan, praktikum, organisasi. Ai! Saya capek! Saya jenuh! Saya butuh reflesing! Otak saya seperti penuh dengan uneg-uneg. Lalu meluaplah semua endapan itu ketika saya kembali menemukan Annida di lapak korana kampus Serang. Itu September 2008. Saya berlangganan beberapa edisi, tapi lagi-lagi kedekatan kami mendapat kendala. Annida tidak lagi hadir dalam bentuk majalah. Annida dikonversi ke media online. Saya ngambek!

Tidak pernah lagi berlangganan majalah! Protes ini pernah saya sampaikan ke redaksi Nida lewat e-mail (jadi ingat, waktu itu awal-awal saya mengenal e-mail, hihiii). Saya memohon agar Annida kembali ke dunia nyata, melalui surat itu juga saya berpromosi kalau saya mempunyai beberapa naskah cerpen yang saya tulis sewaktu di Agam Cendekia. Beberapa hari kemudian saya mendapatkan balasan e-mail dari redaksi Annida-Online. Saya diminta untuk mengirimkan cerpen-cerpen itu ke Annida. Tentu saja saja mau. Tanpa ba-bi-bu, lima naskah langsung saya kirimkan, satu minggu kemudian saya ke warnet (mau ngirim tugas kuliah dan sekalian buka Fecebook, ^^), saya iseng-iseng buka web Annida. Ooow!!! Saya terpekik hebat! Mata saya menangkap tulisan BIDADARI DI LAMPU MERAH pada tab Cerpen. Waktu itu saya memakai nama Setiawan Chogah (Kebetulan nama itu juga saya pakai di akun FB, dan sampai sekarang nama itu tetap saya pakai sebagai nama pena). Saya menggigil, saya menjadi orang paling norak saat itu, saya langsung menyebarkan link cerpen saya ke wall teman-teman saya di Facebook, saya langsung menelpon Amak di kampung kalau saya masuk Annida. *Norak banget.

Satu minggu kemudian, cerpen kedua saya yang berjudul IBUKU SAHABATKU kembali muncul di Annida. Itu membuat saya makin tergila-gila dengan menulis. Apalagi ketika menerima honor, heheee. Ada kepuasan yang tak terdefinisikan ketika menerima honor dari tulisan sendiri. Saya makin gencar menulis, tujuan utama saya saya Annida. Hanya Annida, itu terbukti dalam tahun 2010 lima cerpen saya tayang di Annida. Luar biasa! Begitu menurut saya, sodara-sodara. ^_*

Lalu… saya mulai berfikir, saya tidak boleh terpaku dengan Annida, ada banyak media yang harus saya taklukkan di luar sana (wiiih, gayanyaaa… heheee). Saya mulai mengirimkan cerpen saya ke banyak media, ke koran-koran, ke majalah, ke tabloid. Dan Alhamdulillah kebanyakan dimuat, saya pun mulai ikut beberapa event lomba menulis cerpen, Alhamdulillah walau tidak menang masuk nominasi, dan dibukukan. Sampai saat ini baru lima buku keroyokan (antologi) dan itu belum akan berhenti (ambisius.com).

Ah! Ternyata menulis itu seperti candu, sodara-sodara. Satu hari saja tidak menulis, seperti ada yang kurang hari itu. Beberapa bulan yang lalu saya aktif menulis di blog (silahkan mampir ke www.setiawanchogah-online.co.cc), saya mengirimkan tips menulis berdasarkan pengalaman saya ke Annida, Alhamdulillah selalu dimuat, saya hanya berharap semoga itu bermanfaat buat temen-teman yang kebetulan mempunyai cerita seperti saya. Jatuh cinta pada Annida, lalu terbius ingin tampil pula di Annida. Kalian pasti bisa, kawan! Banyaklah membaca! Seringlah menulis! Tulis saja apa yang kalian rasakan, nanti lama-lama juga terbiasa dan tulisan kalian akan bagus dengan sendirinya (Halah! Kayak tulisan sendirinya sudah bagus aja, Heheee). Kita sama-sama belajar, Sob! Saya sendiri pun masih begitu banyak mimpi-mimpi yang harus diwujudkan. Saya berkeinginan ingin bisa menulis untuk majalah yang pertama kali mengajarkan saya jatuh cinta pada membaca, Bobo. Saya mau punya buku sendiri, saya mau jadi penulis (kan tadi saya bilang, saat ini belum panytas disebut penulis).
Begitulah ceritanya, bagaimana mbah Google bisa kenal dengan saya, semuanya berawal dari membaca, jatuh cinta, berambisi, dan nekat. Saya harus akui, Annida-lah yang menjembatani saya sampai dikenal Google seperti yang saya ketahui dari kegiatan iseng-isenga tadi siang. Hohohooo,

*narsis.
Serang, 26 Mei 2011- 03:50 AM
Baca juga:

Posting Komentar

8 Komentar

  1. okay.. nice talking budy.....where is my name.. hahhahah

    BalasHapus
  2. terharu...
    *melelehkan air mata

    BalasHapus
  3. @evariyanty:

    Hehee. Terima kasih kunjunganya Mbal Eva :D Salama kenal yaa

    BalasHapus
  4. Wah Mas, baca ini jadi meletup-letup senyum - senyum sendiri pas di bagian noraknya itu. aku sudah kenal Mas Chogah dari dulu loh, dari sebelum aku aktif di facebook dan komunitas-komunitas penulisan. entah di mana, tapi sering banget baca karya mas Chogah, es akhirnya sekarang bisa temenan... di facebook, di beberapa grup juga.. (wahhh giliran saya yang norak)

    BalasHapus
  5. Halo Bg Chogah, haha setelah melanglang buana mencari jawaban di tengah kedilemaan mau tetap menulis atau tidak, akhirnya aku sampai di laman ini ya wkwk
    Kalau dihitung-hitung ini komentar terbaru ya kayanya, setelah 10 tahun sejak diposting tahun 2011. Sepertinya jalan hidupku mirip dengan kisah yang barusan ku baca. Bedanya semasa di AC dulu cerpenku tidak berhasil dimuat di media.
    Kalau baca tulisan-tulisan lama di sini aku serasa dinasehati oleh sosok versiku di masa depan wkwk
    Tetap menulis, Bang Chogah, biar aku terus termotivasi hehe salam kenal btw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Suci! Wah, tulisan ini sudah 1 dekade, lho. Masya Allah, ternyata masih ada pembacanya. :)

      Senang kalau Suci dapat mengambil motivasi dari blog sederhana saya ini. Terus menulis, ya! Salam kenal. :)

      Hapus

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR (◠‿◠)