Belajar dari Nurul F. Huda

Malam belum lagi larut. Tetapi sudah cukup untuk membuat mata seorang gadis kecil berusia empat tahun terasa berat dan ingin mengatup. Terlebih ia begitu lelah setelah seharian bermain dengan teman-temannya. Sambil memeluk guling dan menarik selimutnya, gadis kecil itu mencoba bertahan untuk tetap membuka mata dan memasang telinga. Mengapa? Karena ayahnya sedang bercerita tentang kancil dan gajah.

“Ayah, kasihan sekali gajah itu. Bagaimana nanti dia keluar dari lubang? Kancil nakal… aku tidak suka. Kemarin dia menipu buaya, terus menipu harimau, sekarang menipu gajah.” Ucap gadis itu dengan mata berkaca. Sang ayah tersenyum.

“Makanya kita tidak boleh menipu, apalagi mengorbankan orang lain untuk kesenangan dan keselamatan kita sendiri. Nah, sekarang bobo’, ya.” Jawab sang ayah sambil membelai kepala putrinya. Si gadis mengangguk. Ia pun tertidur. Dalam mimpinya, ia menjadi seorang peri baik hati yang membebaskan gajah dari lubang dengan keajaiban tongkat saktinya.

* * *
Dunia cerita yang pertamakali saya kenal adalah dongeng. Hampir setiap malam, ketika saya sudah mulai lancar berbicara, ayah mendongengkan cerita. Kadang fabel si kancil, legenda rakyat, atau sesekali cerita dongeng luar negeri. Kancil, Malin Kundang, Cinderella, Aladdin… ah, nama-nama itu begitu lekat di memori saya. Membuat saya sering bermimpi menjadi putri atau peri. Membayangkan seandainya saya bisa mengerti bahasa binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ya, Nurul F Huda kecil, hidup dalam angan-angan dan imajinasi dunia antah-berantah yang dipenuhi wangi bunga, semerbak hutan dan kedamaian dunia binatang dalam kesetiakawanan. 

Tetapi saat usia saya menginjak lima tahun, ayah mengenalkan saya pada realita kehidupan. Cerita dongengnya tak ada lagi. Berganti riwayat sahabat dan para nabi. Mula-mula ayah menceritakan kisah nabi, secara urut. Pasca cerita nabi Muhammad, secara kronologis pula beliau menceritakan para sahabat, era kekhalifahan hingga keruntuhan kejayaan Islam. Pelan tapi pasti, saya mulai tahu, siapa musuh saya yang sebenarnya selain setan. Di masa ini juga saya mulai mengoleksi buku, meski belum lancar membaca. Setidaknya saya mulai cinta dengan benda itu. Mungkin, karena saya melihat, dari benda itulah ayah menceritakan banyak hal kepada saya. Atau saya sekedar ingin meniru, entahlah. Yang jelas, saya suka.

Usia delapan tahun saya sudah keranjingan membaca. Bobo, Ananda, Kuncung, Kawanku (yang ketika itu masih majalah anak-anak), adalah teman-teman setia saya. Untuk mereka, saya rela kehilangan uang jajan. Rela berjalan kaki ke pasar membelinya sendirian. Oh, ya. Karena ayah saya tidak mampu membelikan majalah baru apalagi berlangganan, maka saya membelinya di pasar loak. Herannya, koleksi majalah saya, terutama Bobo, nyaris komplit. Kebutuhan saya untuk membaca semakin besar karena ayah sudah tidak pernah lagi mendongeng atau bercerita. Padahal saya tetap membutuhkan dunia maya di luar dunia nyata yang saya hadapi. Di masa ini juga saya mulai suka menceritakan kembali apa yang saya baca pada orang lain. Masih lekat di benak saya ketika waktu istirahat sekolah, teman-teman mengerubungi saya untuk mendengar cerita terbaru yang akan saya presentasikan. Saya pun mulai suka menulis, meski baru sebatas menulis uneg-uneg. Setiapkali saya jengkel atau marah dengan seseorang (yang paling sering tuh sebel dengan adik dan ibu), saya tulis di kertas. Oh, tentu saja kemudian saya buang. Yang penting saya lega. Puas.

Kelas empat SD saya mulai membaca buku. Saya ingat sekali, buku pertama saya adalah Trio Detektif. Buku-buku sejarah juga saya baca, terutama sejarah Islam. Bahkan buku politik pun dilahap juga. Belum lagi lulus SD, saya sudah menjadi partner ayah menonton Dunia dalam Berita dan berdiskusi tentang situasi dunia. Puisi saya semakin banyak, dan saya mulai mencoba menulis cerita. Wah, ternyata ada banyak hal yang bisa ditulis, begitu kira-kira pikiran saya ketika itu. 

Membaca, menulis, bercerita, akhirnya menjadi aktifitas dominan hari-hari saya. Bahkan saat-saat berat ketika saya harus bolak-balik menginap di rumah sakit selama kurang lebih 3 tahun karena katup jantung saya bocor dan pada akhirnya dioperasi di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Buku dan buku. Itulah pembunuh waktu hari-hari sepi dan menjenuhkan yang harus saya.lewati. Bagaimana lagi? Saya nyaris tidak bisa bermain. Boro-boro, berjalan saja sudah membuat nafas saya ngos-ngosan. 

Pasca operasi, keadaan saya jauh lebih baik. Boleh dikatakan tidak berbeda dengan aktifitas orang yang sehat. Yah, meski katup buatan itu membuat saya tidak bisa lepas dari obat dan dokter seumur hidup, tetapi saya mencoba tetap bersemangat menulis dan membaca. Rupanya inilah salah satu hikmah ujian yang harus saya jalani. Saya terlanjur suka dengan dunia tulis-menulis. Menulislah. Membacalah. Bahkan membuat majalah sendiri, dibaca sendiri, dibuang sendiri he… he… Belum ada keberanian sama sekali untuk mengirim ke media. Barulah setelah ayah menganjurkan dan satu tulisan saya muncul di koran lokal, saya sedikit PD mengirim ke media terbitan ibukota. Duh, tak satu pun dimuat! Payahnya, begitu ditolak, saya tidak mau mengirim lagi. Oh, ya. Ketika itu saya kelas dua SMP. 

Saat SMU saya nyaris tidak menulis. Mengapa? Yah, masa depan penulis bisa dibilang tidak menarik buat saya. Suram. Saya ingin jadi wanita karier yang sukses dan sibuk. Sampai akhirnya saya hijrah dan berkenalan dengan Annida. Keinginan kuat untuk kelak, stay at home, membuat saya selektif memilih cita-cita. Hilang sudah ambisi menjadi wanita karier. Tapi pekerjaan apa yang tetap membuat saya eksis tanpa banyak keluar rumah? Aha! Saya ingat hobby saya yang dulu. Penulis. Nekat, saya kirim cerita ke Annida berjudul “Mas Ery Sayang” . Alhamdulillah! Dimuat! Saya senang sekali meski honornya habis untuk menraktir teman-teman. Kalau saja… ya, kalau saja Mbak Helvy tidak bertahan memuat naskah itu (karena redaktur lain konon, tidak terlalu tertarik), mungkin sekarang ini tidak ada nama Nurul F Huda di jajaran penulis Islami. Yah, dengan dimuatnya cerpen itu, tekad saya menjadi penulis membulat (tadinya masih benjol-benjol). Saya pun memutuskan masuk Sastra Arab demi menunjang cita-cita tersebut. Padahal waktu itu saya sudah semester akhir SMU sodara-sodara! Jurusan Biologi lagi. UMPTN pun bela-belain ambil IPS dan cuma memilih Sastra Arab, titik. Nashrullah, saya diterima. Uh, tadinya lumayan pesimis. Soalnya hari kedua saya nyaris tidak bisa selain soal-soal Bahasa Inggris. Skor saya pun cuma 300. 

Bagaimana dengan kepenulisan yang saya jalani? Setelah naskah pertama dimuat, naskah kedua nongol setahun kemudian, meski saya tetap rajin mengirim. Saya sudah hampir nyerah. Yah, sudahlah. Jadi TKI aja ‘kali, ya. Eh, setengah tahun kemudian muncul cerita saya yang ketiga di Annida. Semangat lagi. Begitulah. Jarak pemuatan semakin rapat, dan saya sudah tidak terlalu wow ketika dimuat. Majalah lain mulai saya jajaki. Sabili. Ummi. Amanah. Dan… nyaris tanpa penolakan. Yess!

Setelah 5 tahun lebih menulis cerita lepas di majalah, lewat Mbak Helvy, saya mencoba menembus Mizan. Lolos, dan April 2001 terbitlah buku kumpulan cerpen pertama saya yang berjudul “Bayangan Bidadari”. Wah, saya sudah takut sekali buku itu tidak laku. Saya merasa belum layak punya buku. Alhamdulillah, sekarang ini sudah lewat cetakan ke-4. Oh, ya. Karena keberadaan Bayangan Bidadari-lah akhirnya ayah merestui keinginan saya untuk menjadi penulis. Betul, sodara-sodara. Sebelumnya ayah memang keberatan saya menjadi penulis, kecuali hanya sebagai sampingan. Tetapi setelah melihat kesungguhan saya, juga kenyataan bahwa dunia kepenulisan Islami cukup menjanjikan, fidduniya wal akhirat, beliau bahkan salut. 

Seiring pesatnya perkembangan dunia fiksi Islami, mau tidak mau saya harus semakin rajin menulis kalau tidak mau tenggelam dan tergilas penulis lain yang lebih produktif. Saya juga mesti makin rajin membaca. Menulis, membaca, menulis, membaca… begitu terus. Jenuh dan bosan kadang mampir juga. Tetapi ketika saya ingat bahwa ini adalah janji saya pada Allah, bahwa Dia telah menolong saya menapak tangga demi tangga, bahwa semua yang saya kerjakan dalam rangka cita-cita besar sebuah kontalasi dakwah, bahwa kebathilan terus berjalan… so? Keep going!

Begitulah kira-kira perjalanan saya menjadi seorang penulis. Tidak sekedar lurus dan mulus meski tidak juga terjal dan mendaki. Setidaknya selama kurun waktu itu saya belajar arti kesabaran, kesungguhan, istiqomah, dan perjuangan. 

Nah, sekarang sedikit tentang proses kreatifitas menulis. Secara teoritis, tidak ada panduan kreatifitas yang baku. Tetapi sepertinya setiap penulis mempunyai 3 langkah yang serupa. Yang pertama, menangkap kejadian dengan kepekaan. Yang kedua, merenunginya lebih dari sekedar kejadian belaka. Ketiga, keinginan kuat untuk menyampaikan ulang kejadian tersebut dalam bentuk tulisan.

Yang pertama, tentang kepekaan. Percayalah, setiap penulis apabila melihat kejadan tertentu tidak sekadar dilewatkan. Terlebih bila kejadian tersebut unik, menarik, dan menyentuh. Ia akan menyimpannya dalam pikiran dan hati. Jadilah ide. Muncullah tema. Misalnya begini. Ada seorang penjaja kue yang sangat tua, lewat pagi-pagi. Mungkin kebanyakan orang hanya akan berfikir, kasihan. Selesai. Tetapi seorang penulis akan menganggap lewatnya Pak Tua bukan kejadian biasa yang hanya cukup dikasihani. Ia akan tersentuh dan berpikir, jangan-jangan ada banyak Pak Tua lain yang juga seperti itu. Mulailah fase kedua, perenungan. Mengapa orang setua itu masih berkeliaran di jalan mencari nafkah? Kemanakah anak-anaknya? Berapa penghasilannya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Sekian tanda tanya muncul dan tiba-tiba ia merasa perlu menjadikan peristiwa tersebut perenungan untuk banyak orang. Fase ketiga pun dimulai. Cerita disusun. Kata-kata dirangkai. Sosok Pak Tua dimasukkan sebagai tokoh utama. Dicarikan jalan cerita yang akan mampu membuka mata dan hati banyak orang. Dipertemukan dengan tokoh-tokoh yang mendukung pesan tersebut. Bahkan supaya meyakinkan, dicarikan data-data. Begitu cerita selesai disusun, penulis membacanya berulang-ulang. Bukan hanya mengoreksi kesalahan tulisan, tetapi involve. Sudahkah cerita tersebut mampu membawa pesan yang ingin disampaikan? Akan terkesankah pembaca nantinya? Sebagian penulis akan mengetesnya dengan meminta beberapa orang membaca karya tersebut dan mengomentarinya. Tetapi ada yang bahkan langsung mengirim ke media. Mana yang lebih disukai? It’s up to you.

Yeah, pada intinya semua orang bisa jadi penulis asal rajin. Setiap orang punya perasaan, yang akan digunakan untuk menangkap peristiwa dengan kepekaan. Setiap orang punya pikiran, yang digunakan untuk mengolah sekian banyak pertanyaan yang akan dijawab  sendiri lewat cerita yang dibuatnya. Setiap orang suka cerita, entah dalam bentuk obrolan, buku, atau tayangan. Jadi, asal tidak buta huruf, semua orang punya kesempatan untuk menjadi penulis. Apakah mau berusaha atau tidak, itu saja persoalannya. Mau terus menulis atau tidak. Betul, sodara-sodara, menulis tidak bisa hanya ketika kita suka. Menulis adalah ketrampilan yang akan semakin lincah apabila dilatih terus-menerus. Ibarat mata pisau yang akan semakin tajam ketika sering dipakai dan diasah. Jangankan yang sekedar coba-coba, bahkan yang sudah eksis pun bisa jauh menurun kemampuan menulisnya apabila sekian lama tidak dilakukan. Semakin sering menulis, semakin pekalah perasaan, semakin tajamlah pikiran, dan semakin baguslah mutu tulisan, yang pada akhirnya, semakin mudahlah menembus pemuatan. 
* * *
Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar