DI BALIK NAMA SETIAWAN "CHOGAH"

*Buat Abang gua yang bentar lagi jadi Sarjana
Sumber: Google
 Aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Bang Ardi. Abang yang sudah kuanggap seperti kakak laki-lakiku sendiri. Bukan mengapa aku begitu berani menyebutkan kakak laki-lakiku. Bang Ardi begitu telaten berkata-kata dan itu yang membuat aku semakin yakin untuk memasukkan namanya dalam daftar spesial thanks buku terbaruku, Bang Ardi adalah orang yang sangat persuasif. Biji-biji kata yang berlompatan dari mulutnya setiap kali menesehatiku benar-benar bernyawa. Kata-kata itu seakan nyata dan berwujud.
***
          Bang Ardi adalah senior dua angkatan di atasku. Dulu, waktu aku memutuskan memilih jurusan Teknik Industri di kampus Cilegon itu, aku amat membenci yang namanya senioritas. Bagaimana tidak! Aku bukannya tidak punya alasan untuk tidak menyukai kata senior. Kalian tahu? Senior nyaris membuat aku buta.
Kisah pilu itu bermula ketika aku menjabat sebagai sekbid mading waktu SMA. Entah setan apa yang merasuki pikiranku. Aku benar-benar tidak dapat mempertimbangkan kelayakan sebuah naskah yang harus aku tampilkan di sebuah majalah dinding. Hari itu, 16 Februari baru saja berjalan separuh. Aku baru saja menyelesaikan tugasku menempelkan semua karya yang masuk. Dan akhirnya kesialan itu pun datang. Ketika aku pulang ke asrama, aku dicegat segerombolan senior. Awalnya aku mengira semua akan baik-baik saja, tapi ternyata pikiranku salah. Seumur hidup nama manusia yang nyaris membuat dunia akan aku lewati dengan kegelapan itu tidak akan pernah pupus dari ingatanku. Bogem mentah mendarat persis di pelipis kiriku, nyaris mengenai mata. Seketika aku terpekik, tubuh kurusku terhuyung dan akhirnya abruk setelah aku merasakan sempat melayang di udara. Seperti adegan film India saja. Aku merasakan cairan anyir menyembur dari batok kepalaku. Darah! Senior setan itu membuat kepalaku bocor setelah aku terjatuh dan kepalaku terhempas mengenai ujung-ujung batu lancip. Itulah, awal dari sebuah dendamku dengan kata senior.
Namun lain halnya dengan Bang Ardi, senior yang aku kenal sebagai koordinator sebuah lab di jurusanku itu. Perkenalanku dengan Bang Ardi boleh aku nilai cukup terlambat. Aku mengenalnya setelah semester lima berjalan hampir sepertiga dari waktu yang semestinya. Katika aku wajib mengambil mata kuliah praktikum dimana Bang Ardi adalah koordinatornya, mau tidak mau aku harus pandai-pandai mengambil hatinya. Begitulah tak-tik yang aku tahu bila aku ingin mata kuliah ini berjalan dengan mulus tanpa ada istilah gugur modul yang sangat ditakutkan oleh praktikan otak pas-pasan macam aku ini. Istilah gugur modul itu bukanlah isapan jempol semata. Ria, Nana, Kusnadi adalah deretan nama-nama yang sudah merasakan kejamnya kepemimpinan Bang Ardi. Sebenarnya aku tidak tega menyebut kata kejam itu, tapi ya apa mau dikata. Coba kalian pikir, cerita Ria padaku ketika aku bertanya perihal dia digugurkan dalam praktikum ini sungguh membuat aku cukup ngeri.
“Gue telat ngumpilin laporan”
“Berapa lama emangnya?”
“Hitungan detik”
Glek! Aku menelan liur. Hanya hitungan detik? Ah! Benar-benar peraturan gila kupikir. Dan itu semakin membuat aku makin yakin untuk mendekati Bang Ardi. Sang pembuat peraturan paling konyol.
Tak payah untukku mengumpulkan semua informasi mengenai asisten kejam itu. Mula-mula aku merequestnya untuk menjadi temanku di facebook. Dan itu sukses aku lakukan.

Desember 2010.
Aku lagi online. Itu adalah hobi baruku semenjak aku membeli netbook second hand dari honor menulis cerpen yang susah payah aku kumpulkan. Mataku mengabsen satu persatu orang-orang yang online di chatroom facebook-ku. Aha! Senior itu bertahta pada deretan teratas. Ini kesempatanku.
“Malam Bang Asisten, statusnya dahsyat euy ^^”
“Malam Pak Penulis, Haha… kerjaan temen2 gw tuh.”
Hei! Dia menyebutku penulis, aku makin tertarik untuk melanjutkan pembicaraan itu.
“Penulis? Penulis dari Hongkong? Haha”
Beuh! Penulis dari Untirta geh! Mana buku gratis buat gue?”
“Haha, bisa aja lo! Tau dari mana gue nulis buku?”
“Offline”
Setelah percakapan singkat itu ada yang berbeda dengan aku melihat Bang Ardi. Sepertinya dia tidak sekejam seperti yang aku takutkan. Ah! Aku tidak boleh percaya begitu saja.
          Hari-hari selanjutkan setiap kali aku meluapkan kejenuhanku dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, laporan praktikum yang diburu deadline, bahkan pekerjaan part time-ku di photo copy orang Padang itu. Online menjadi satu-satunya pilihan yang sangat pas. Pun begitu dengan Bang Ardi. Ketika dia muncul  aku tidak mau sungkan-sungkan lagi, aku berusaha terkesan akrap dengannya. Tentu saja motivasinya untuk menyelamatkan mata kuliah 3 SKS-ku.
          Tapi peristiwa memalukan dengan pak Ilham tadi pagi, dosen mata kuliah yang paling aku benci.. Dia mencercaku ketika aku mencoba berargumen setelah dengan gaya angkuh dia menyuruhku maju ke depan kelas mengerjakan materi yang sama sekali belum dia ajarkan. Tentu saja aku protes. Namun sial. Protesku berbuah kepahitan. Dosen otoriter itu habis-habisan mempermalukanku di depan puluhan pasang mata mahasiswa. “Mulutmu Harimaumu!” Aku tertunduk lesu, kalau boleh aku meminjam kata-kata Nicolas Saputra dalam film Gie itu, itu adalah kalimat yang mewakili perasaanku saat itu “guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah!”.
          Peristiwa memalukan itu membuat aku bertekat untuk membuktikan bahwa aku tak sebodoh keledai. Aku ingin membuktikan tak selamanya mulut menjadi harimau yang menerkam kepala sendiri. Tahu apa dia soal sastra, Ai! Aku terlalu melambung dengan bakatku mengolah kata. Sombaongkah aku? Aku tidak sombong, aku hanya tidak suka dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan cara aku berfikir. Mulai saat itu aku seperti kehilangan semangat setiap kali berhadapan dengan mata kuliah pak Ilham. Kehilangan semangat itu berdampak pula pada aktifitas menulisku, juga kegiatan online-ku. Facebook aku deaktive-kan. Aku menutup diri, berhenti mempromosikan buku baruku.
          Saat itulah Bang Ardi datang, ketika aku terpaksa mengirimkan tugas kuliah dari akun Yahoo.
          “FB lo knapa Wan?” pesan dari Bang Ardi di kolom YM-ku.
          “Gak knapa-napa”
          “Lo deaktive ya? Penulis kok gak punya FB?”
Heuh! Apa hubungannya penulis dengan FB? Tapi setelah aku pikir-pikir pertanyaan bodoh Bang Ardi ada benarnya. Lalu mengalirlah cerita mengapa aku hengkang dari jejaring itu, sampai ceritaku tentang pak Ilham yang otoriter. Di luar dugaanku. Malam itu Bang Ardi seperti menguliti kebencian dan dendam yang berkarat di otakku. Biji-biji kata bak butir-butir kerikil pijar yang mencairkan bekunya kedodohanku. Unpredictable! Bang Ardi “Mario Teguh” Nugroho. Haha, malam itu dia seperti motivator amatiran yang menceramahiku habis-habisan. Ceritanya mengalir, cerita tentang otoriter pak Ilham yang juga pernah dialaminya, cerita tentang prestasinya dalam lomba marketing, sampai cerita tentang bagaimana lika-likunya bisa menjadi koordinator asisten. Pencitraan buruk yang aku buat soal senioritas perlahan luntur. Pun begitu tentang imej Bang Ardi yang kejam. Ternyata Bang Ardi senior yang berbeda. Begitukah? Entahlah!
***
          Tapi malam ini, tepatnya tak hanya malam ini. Bang Ardi bukan lagi Bang Ardi yang cerdas memotivasi layaknya Mario Teguh. Jangankan untuk membakar semangatku, Bang Ardi sendiri hari ini kehilangan hasrat hidup. Dan kalian tahu kenapa?
          Aku paham betul posisi Bang Ardi saat ini. Kewajiban sebagai mahasiswa yang harus segera dia tuntaskan. Aku pun tahu kawan-kawan satu angkatannya sudah banyak yang telah melegalkan titel ST-nya bahkan sudah ada yang bekerja. Namun lain hal dengan Bang Ardi. Abangku itu masih sibuk berjebaku dengan bab-bab tugas akhirnya.
          Bang Ardi tak pernah lagi online, dan aku pikir itu bagus. Setidaknya itu alasan untuk dia bisa fokus pada skripsinya. Apalagi tadi siang teh Reni teman sesama asistennya telah sidang tugas akhir, tentu itu semakin membuat perasaannya gundah tak karuan. Aku bisa tebak itu. Beberapa kali aku kirimkan SMS untuk menyemangatinya, setidaknya sebagai balas budiku atas kebaikannya telah meruntuhkan dinasti paradigma kolotku soal senioritas dan kepemimpinan. Lebih-lebih dia telah mau berdiskusi mengenai buku ke tiga yang aku terbitkan, Bang Ardi punya andil besar dalam menentukan corak covernya. Beberapa kali juga aku kirimkan artikel motivasi ke wall facebooknya. Tapi respon Bang Ardi hanya dingin.
          Sempat aku tak mau lagi berfikir tentang keberadaan Bang Ardi. Tapi aku rasa itu hal bodoh. Abangku itu kini membutuhkan asupan semangat, aku tahu itu. Sangat tahu.
          “Bang, lo kapan sidang sich? Masa kalah sama teh Reni?”

          Hanya diam. Lalu offline. Arg! Kepedulianku tidak dihargai sama sekali.
Lalu di beranda status Bang Ardi bergondol dengan huruf kapital. “BERJUANG ATAU MENYERAH” Hey! Sebegitu sulitkah baginya menyusun tugas akhir?
*** 
          Aku buka arsip percakapanku dengan Bang Ardi. Kalimat-kalimat penuh nyawa yang pernah dia ucapkan. Aku copas di halaman ms word. Lalu aku kirim ke E-Mail nya.

December 14 at 9:41pm Dedi Setiawan
  • Assalammualaikum wr.wb.
Yth Bang Bang Ardi Nugroho. Bang, buku ke dua gue InsyaAllah akan segera terbit. Gue minta doanya aja. Semoga buku kali ini best seller. SEMANGAT untuk TA lo Bang. Gue doain semoga cepat disahkan jadi ST.. amiiin. : )
Wassalam,
December 14 at 10:42pm Ardi Nugroho
  • Siph... Semangat buat menjadi penulis terkenal. Gue bahagia bisa denger salah satu mahasiswa Untirta menjadi seorang penulis. Apalagi terkenal seperti Andrea Hirata. Gue tunggu ya pas umur gue umur 30 tahun, lo sudah harus terkenal. Gue kan bisa kasih tahu  ke anak gue kalau gue punya teman seorang penulis. *ngarep
December 14 at 11:28pm Dedi Setiawan  
  • Hehe… Dan gue akan bilang sama anak-anak lo, kalau ayah mereka adalah seorang Pahlawan yang ikut membesarkan nama seorang penulis terkenal. Buruan jadi Sarjana, dan segera mengkhitbah teh Asih!!!
December 14 at 11:52pm Ardi Nugroho
o   Haha… Sip… sip. Kalau begitu semangat membuat cerita. Oya sekedar masukan buat nama artisnya* (ini juga klo jd artis). Tetap pakai nama Setiawan Chogah, tapi kata chogah-nya di tandai kutip. Jadi, Setiawan "Chogah". Biar ada brand awareness dari namanya. Sekedar membagi ilmu dari hasil lomba marketing Axioo gue. Hehe… Mudah2an menjadi nama yang terkenal.... AMIN
***
          Aku masih berbaring di antara tumpukan novel dan antologi koleksiku. Di sampingku ponsel masih dalam keadaan on, setelah dari tadi tak berhenti bergetar dengan SMS selamat ulang tahun dari rekan-rekan seangkatan di kampus dan beberapa sahabat sesama penulis.
          Februari sudah berjalan separuh dan Maret sudah di ujung mata.  Itu artinya janji Bang Ardi tinggal setengah bulan lagi. Ah! Aku sudah tidak mau lagi memikirkan Abangku itu, tepatnya senior yang aku anggap sebagai Abang. Walau aku tak memungkiri, andilnya cukup besar dalam karya-karya yang aku tulis. Tentang semangat, tentang perjuangan, tentang keterbukaan, dan tentang persaudaraan.
          Aku ingin menjadi diriku sendiri malam ini, menulis apa saja yang singgah di otakku. Menuangkan ide-ide liar ke dalam kata-kata. Saat mereguk kopi yang masih hangat di samping netbook-ku, aku tersenyum ketika ponselku bergetar dan melihat ada SMS masuk. Bang Ardi; Terima Kasih pak Penulis, skripsi gue udah jadi kok, tinggal disidang. InsyaAllah Senen besok. Doain ya! Hey! Lo niat amat, itu arsip percakapan masih lo simpan? Dasar penulis! Haha…
          Haha! Kau tahu Bang? Aku benar-benar jatuh cinta dengan kata-kata. Terutama kata-kata yang berlompatan dari mulutmu. Cepatlah diwisuda, dan kembalilah mengata-ngataiku! Dan untuk menebus kutukanmu, akan kubuktikan suatu hari nanti, Setiawan "Chogah" itu benar-benar jadi artis (*)
Walantaka; 19-Februari-2011: 05;24am
Baca juga:

Posting Komentar

0 Komentar